Hentikan Greenwashing Atas Nama Transisi Energi: Proyek GAIA Akan Memperpanjang Ketergantungan Terhadap Energi Fosil dan Memperburuk Ancaman Terhadap Keselamatan Lingkungan dan Komunitas

Pernyataan Publik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Terhadap
Project Green Ammonia Initiative from Aceh (GAIA)

Pada Pertemuan Tingkat Menteri Asia Zero Emission Community (AZEC) ke-2 di Jakarta, Agustus 2024[1], PT Pupuk Indonesia/ Pupuk Indonesia Holding Co bermitra dengan ITOCHU Corporation dan Toyo Engineering menandatangani perjanjian pengembangan bersama sebuah proyek yang secara resmi disebut Green Ammonia Initiative from Aceh (GAIA). Proyek ini disebut akan berfokus pada produksi amonia hijau dengan memasang elektroliser untuk mendapatkan unsur hidrogen, di pabrik amonia milik PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), anak perusahaan PT Pupuk Indonesia yang berlokasi di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, dan juga akan memasok hidrogen hijau yang diklaim diproduksi dari sumber energi terbarukan.

Sejak April 2025, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) juga telah mempertimbangkan pendanaan untuk proyek GAIA dan mengkategorikan proyek ini sebagai "C", yang dianggap tidak memiliki dampak lingkungan dan sosial[2].

Namun, meskipun Proyek GAIA ini disebut merupakan bagian dari upaya menuju netralitas karbon, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai bahwa proyek ini justru menjauh dari upaya mencapai target iklim yang aman, memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil dan akan semakin menambah kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap keselamatan komunitas.

Pertama, Listrik yang akan digunakan oleh Proyek GAIA didapatkan dari sistem jaringan listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang didominasi oleh pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil. PT Pupuk Indonesia melalui jawabanya terhadap permohonan informasi publik WALHI menyampaikan bahwa Proyek GAIA dirancang untuk menghasilkan hidrogen hijau melalui elektrolisis air dengan menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan dari PLN yang ditunjukkan dengan sertifikat Renewable Energy Certificate (REC) dengan estimasi sebesar 40 MW.

Energi listrik dalam jaringan (grid) berasal dari berbagai sumber seperti batubara, gas, BBM, matahari, dan angin semuanya bermuara pada satu sistem distribusi. Sistem ini mengalirkan campuran energi ke konsumen tanpa membedakan asalnya. Jadi, meski konsumen mendapat sertifikat energi terbarukan dari penyedia tertentu seperti PLN, pada praktiknya listrik yang mereka gunakan berasal dari berbagai macam pembangkit listrik yang beragam - bukan dari sumber murni energi terbarukan. Selain itu, tidak tersedia jaminan atau audit terbuka yang memastikan asal-usul pasokan listrik secara transparan.

Jika kita melihat kapasitas terpasang pembangkit di Provinsi Aceh, maupun di keseluruhan Sumatera, yang tercantum pada Statistik Ketenagalistrikan 2023 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM pada tahun 2024 lalu, kita bisa melihat bahwa dominasi energi fosil masih sangat tinggi. Jika kita mempertimbangkan keseluruhan kapasitas pembangkit di sistem Sumatera, maka kita bisa melihat bahwa 80% pembangkit listriknya berasal dari energi fosil, namun jika kita mempertimbangkan kapasitas terpasang pembangkit hanya di wilayah Provinsi Aceh saja, maka kita bisa melihat bahwa 98% pembangkit listriknya berasal dari energi fosil[3].

Meskipun Proyek GAIA mengklaim akan menggunakan energi terbarukan dengan dasar sertifikat energi terbarukan, tidak akan menghilangkan fakta bahwa listrik yang dialirkan ke Pabrik Amonia ini berasal dari jaringan PLN yang dominan dihasilkan dari pembangkit-pembangkit energi fosil, dan karenanya klaim kehijauan dari produksi hidrogen dan amonia pada tidak memiliki dasar.

Kedua, Amonia yang diproduksi oleh proyek GAIA sebagiannya masih bersumber dari gas fosil dan karenanya tidak bisa diklaim sebagai amonia hijau. Melalui jawabanya terhadap permohonan informasi publik WALHI, PT Pupuk Indonesia menyatakan bahwa Proyek GAIA dirancang untuk memproduksi hybrid green ammonia dengan cara menginjeksikan green hydrogen ke fasilitas eksisting ammonia plant. Amonia tersebut diproduksi melalui kombinasi dua sumber hidrogen, yaitu green hydrogen yang dihasilkan melalui elektrolisis air dengan menggunakan sumber energi terbarukan dan grey hydrogen yang dihasilkan dari pemprosesan gas fosil.

Jika PT Pupuk Indonesia tetap memproduksi amonia yang mereka gunakan untuk pupuk, dan juga memproduksi amonia abu-abu di pabrik amonia yang ada, dengan skala sebesar saat ini, sambil juga memproduksi amonia hibrida untuk proyek GAIA, maka penggunaan gas fosil bisa jadi justru akan meningkat.

Pernyataan bahwa Proyek GAIA masih akan menggunakan grey hydrogen dari pemprosesan gas fosil menunjukkan bahwa proyek ini tidak benar-benar proyek hijau dan terbarukan. Publik perlu waspada terhadap potensi greenwashing, di mana proyek-proyek energi diklaim ramah lingkungan padahal masih bergantung pada sistem lama yang menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan.

Kenyataan bahwa Proyek GAIA masih akan menggunakan listrik dari jaringan PLN yang masih bercampur dengan sumber-sumber pembangkit listrik berbasis energi fosil dan juga bahwa dalam proses produksinya Proyek GAIA masih akan menggunakan sumber dari pemprosesan gas fosil menunjukkan bahwa proyek ini bisa meningkatkan konsumsi dan penggunaan gas, serta memperpanjang umur penggunaan energi fosil di Indonesia.

Ketiga, Proyek GAIA dilaksanakan dengan mengabaikan transparansi dan partisipasi bermakna dari masyarakat di sekitar tapak proyek. Berdasarkan pantauan WALHI Aceh, komunitas lokal di sekitar tapak proyek belum menerima penjelasan yang utuh tentang dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari Proyek GAIA. Bahkan, kelompok masyarakat sipil yang selama ini aktif dalam advokasi isu lingkungan tidak mendapatkan informasi yang memadai mengenai perencanaan dan proses yang tengah berjalan dari Proyek GAIA. Meskipun terdapat siaran pers[4] dari PIM bersama induknya, PT Pupuk Indonesia, siaran pers tersebut hanya mengumumkan proyek ini sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi dan transisi menuju energi bersih namun tidak memberi penjelasan terhadap dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang mungkin ditimbulkan dari proyek tersebut.

Transparansi dan partisipasi bermakna dari masyarakat merupakan komponen esensial dalam setiap proyek pembangunan yang berdampak langsung terhadap lingkungan dan masyarakat. Ketika informasi terkait proyek tidak dibuka secara luas, dan ruang diskusi tidak diberikan kepada masyarakat terdampak, maka yang terjadi adalah marginalisasi suara-suara lokal yang seharusnya menjadi pusat pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Keempat, Proyek GAIA akan berpotensi memperpanjang dan memperburuk ancaman terhadap keselamatan komunitas dan kelestarian lingkungan di sekitar wilayah proyek. Proyek GAIA disebut akan dijalankan pada pabrik amonia milik Pupuk Iskandar Muda (PIM), anak perusahaan PT Pupuk Indonesia yang berlokasi di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Menurut catatan WALHI Aceh, sebagaimana yang ditampilkan pada lampiran, dalam rentang waktu 2010 hingga 2025, tercatat sembilan kali insiden paparan gas amonia dari PT Pupuk Iskandar Muda di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, yang menyebabkan sekitar 2.000 warga terdampak. Korban tersebar di Desa Tambon Baroh, Tambon Tunong, dan Uteun Geulinggang, dengan gejala umum berupa mual, muntah, pusing, sesak napas, dan pingsan. Dari jumlah tersebut, puluhan warga—termasuk anak-anak, perempuan, balita, dan lansia—harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit, terutama saat insiden besar terjadi pada April 2010, Maret 2015, dan Januari 2023. Sebagian besar kebocoran gas disebabkan oleh kerusakan katup, kebocoran pipa, atau gangguan teknis di unit produksi amonia. Pola berulang ini menunjukkan lemahnya sistem pengamanan industri dan tingginya risiko yang harus ditanggung oleh warga sekitar. Dalam pengamatan WALHI Aceh, hingga sekarang belum ada tanggungjawab yang memadai dan sistematis yang diberikan oleh pihak perusahaan pada kejadian-kejadian kebocoran gas amonia.

Proyek GAIA, yang diklaim menjadi bagian dari upaya transisi menuju energi bersih di Indonesia, justru menyisakan banyak tanda tanya tentang validitas klaim kehijauan, komitmen terhadap keselamatan komunitas, dan integritas proses partisipatifnya. Ketergantungan pada jaringan listrik yang mayoritas masih berbasis fosil, penggunaan gas fosil sebagai bagian dari komponen produksi, absennya transparansi terhadap masyarakat terdampak, serta tingginya risiko terhadap keselamatan komunitas di sekitar lokasi pabrik amonia dari dampak kebocoran amonia, menunjukkan bahwa Proyek GAIA adalah upaya greenwashing, dan salah satu solusi palsu yang dengan agresif didorong melalui AZEC[5].  

Situasi ini akan semakin mengkhawatirkan karena selain di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang menjadi semacam pilot project untuk pengembangan hidrogen hijau dan amonia hijau, Pupuk Indonesia bersama anak perusahaan juga sedang melakukan pengembangan proyek hidrogen hijau dan amonia hijau di fasilitas anak perusahaan, yaitu Pupuk Kaltim, Pupuk Kujang, Petrokimia Gresik, dan Pupuk Sriwidjaja Palembang. Apabila proyek yang berlangsung tetap bergantung pada energi fosil baik pada kebutuhan ketenagalistrikan maupun dalam proses produksi, minim keterbukaan terhadap masyarakat terdampak, serta mengabaikan aspek keselamatan komunitas, maka pengembangan proyek hidrogen hijau dan amonia hijau ke berbagai lokasi-lokasi lain akan berpotensi memperluas dampak negatif dan memperbesar risiko kerusakan lingkungan serta sosial. 

Jika transisi energi akan benar-benar membawa perubahan sistemik, maka proyek seperti GAIA harus tunduk pada prinsip keadilan ekologis, keterbukaan informasi, dan keterlibatan aktif masyarakat sebagai aktor utama. Tanpa itu semua, proyek ini hanya akan memperpanjang dan memperburuk ketimpangan dan ancaman terhadap keselamatan lingkungan serta kehidupan komunitas lokal, bukan menjadi langkah maju menuju masa depan yang berkelanjutan.

Karena itu WALHI menyerukan kepada korporasi, investor, dan pendanaan pada Proyek GAIA,  untuk menghentikan proyek ini karena tidak memenuhi prinsip keadilan ekologis, keterbukaan informasi, serta demokrasi, sehingga proyek ini tidak lebih adalah bentuk greenwashing yang memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil, membahayakan keselamatan komunitas, dan mengabaikan hak-hak masyarakat atas partisipasi dan transparansi dalam pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.

Penandatangan Pernyataan

  1. Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) / Friends Of The Earth Indonesia
  2. Eksekutif Daerah WALHI Aceh

 

Kontak:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI/Friends of the Earth Indonesia)
Alamat: Jl. Tegal Parang Utara No 14, Jakarta Selatan 12790. INDONESIA
Email: [email protected]
Tel: +62-21-79193363

 

Lampiran:
Kejadian kebocoran amonia di PT Pupuk Iskandar Muda yang telah dicatat oleh WALHI Aceh:

No

Tanggal Kejadian

Keterangan

1

28 April 2010

Diperkirakan sebanyak 975 warga Desa Tambon Tunong dan dua desa lainnya di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, tumbang akibat terhirup gas amonia yang keluar dari PT Pupuk Iskandar Muda. Akibat dari terpaparnya gas tersebut, masyarakat mengalami muntah-muntah, sesak nafas dan ada juga sebagian yang pingsan. Bahkan 12 warga harus dirawat intensif di Rumah Sakit Kesrem Lhokseumawe karena mengalami gangguan pernapasan akut.

2

22 September 2011   

 

Sekitar 90 warga Desa Tambon Baroh Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, harus dibawa ke Rumah Sakit PIM, karena terhirup gas amonia dan menyebabkan sesak napas. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 19.30 WIB dan amonia itu terlepas karena diduga ada persoalan di katupnya.

3

30 September 2011   

 

Seratusan warga Desa Tambon Baroh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, dilarikan ke rumah sakit PIM karena terhirup gas amonia dan ada sekitar puluhan warga yang harus diberikan oksigen tambahan karena tumbang saat lari. Lepasnya gas amonia itu, disebabkan karena katup pada pabrik amonia unit I terbuka.

4

18 Desember 2011    

 

Akibat pipa penyaluran gas ke unit produksi amonia bocor dan terbakar, maka ratusan warga kembali dilarikan ke Rumah Sakit akibat terhirup gas beracun tersebut dan 12 warga harus dirawat secara intensif.

5

27 Maret 2015

Terdapat sekitar 400 warga di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara mengalami keracunan akibat terhirup gas amonia PT Pupuk Iskandar Muda, secara umum korbannya adalah anak-anak dan perempuan. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 14.00 WIB dan apabila dirincikan untuk Desa Tambon Baron maka ada 371 warga yang tumbang dan Desa Tambon Tunong ada 29 warga yang tumbang akibat terhirup gas amonia perusahaan pupuk itu.

6

12 November 2016    

 

Puluhan warga Desa Tambon Baroh dan Tambon Tunong, Kecamatan Dewantara Aceh Utara, kembali dilarikan kerumah sakit, akibat terhirup gas amonia milik perusahaan PT Pupuk Iskandar Muda. Kala itu warga sedang berada di rumahnya masing-masing dan tiba-tiba mencium bau gas amonia dan tidak lama kemudian warga mengalami pusing, mual-mual, muntah dan bahkan ada yang sampai tumbang.

7

15 November 2018

Sebanyak 33 warga yang tinggal di sekitar areal Perusahaan PT Pupuk Iskandar Muda mengalami gejala pusing, mual, muntah-muntah dan sesak nafas, akibat terhirup gas amonia dari perusahaan itu. Bahkan tujuh warga Desa Tambon Baroh, Kecamatan Dewantara Aceh Utara, terpaksa dilarikan ke rumah sakit.

8

6 Januari 2023           

Bau menyengat yang diduga berasal dari paparan amonia di area PT Pupuk Iskandar Muda menyebabkan sejumlah warga Dusun 1 Desa Tambon Baroh mengalami mual dan pusing, dan dilarikan ke RS Prime. Kebocoran gas amonia yang terjadi sekitar pukul 17.00 WIB mengakibatkan lebih dari seratus warga dari Desa Tambon Baroh, Tambon Tunong, dan Uteun Geulinggang mengalami sesak napas dan muntah-muntah, termasuk balita hingga lansia. Beberapa korban juga menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit PT Arun Lhokseumawe.

9

6 Januari 2025           

Sebanyak 10 warga Desa Tambon Baroh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, mengalami mual dan muntah setelah diduga terpapar bau amonia dari PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM). Para korban segera dilarikan ke Rumah Sakit PT PIM, yang merupakan anak perusahaan PT Pupuk Indonesia di Krueng Geukuh, Kabupaten Aceh Utara.

----- ----- -----

[1] Pupuk Indonesia Kembangkan Proyek Amonia Hijau Hybrid Pertama Di Dunia. https://pupuk-indonesia.com/media-info/detail/570/pupuk-indonesia-kembangkan-proyek-amonia-hijau-hybrid-pertama-di-dunia

[2] Production of Green Hydrogen and Ammonia. https://www.jbic.go.jp/en/business-areas/environment/projects/page_00481.html

[3] Statistik Ketenagalistrikan 2023. https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/e6394-buku-statistik-ketenagalistrikan-2023-esdm-revised.pdf

[4] https://pim.co.id/pojok-media/press-release/dukung-program-dekarbonisasi-yang-diinisiasi-pemerintah-pt-pupuk-iskandar-muda-segera-implementasikan-green-dan-blue-ammonia (2022); https://pim.co.id/pojok-media/press-release/penandatanganan-mou-pembangunan-pabrik-green-hydrogen-di-imia (2023); https://pim.co.id/pojok-media/press-release/green-ammonia-project-site-visit-to-propose-location (2024)

Siaran pers yang diterbitkan PT Pupuk Iskandar Muda hanya menyebut dampak positif dari proyek GAIA, dan tidak menjelaskan resiko maupun potensi dampak negatif yang bisa muncul

[5] Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Tuntut Pemerintah Jepang Hentikan Inisiatif AZEC Yang Penuh Upaya Greenwashing.. https://www.walhi.or.id/koalisi-masyarakat-sipil-indonesia-tuntut-pemerintah-jepang-hentikan-inisiatif-azec-yang-penuh-upaya-greenwashing

 

----- ----- -----

Versi PDF bisa dibaca di bawah ini:
Pernyataan Publik WALHI (Bahasa Indonesia)
Pernyataan Publik WALHI (English)
Pernyataan Publik WALHI (Japanese)