Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Tuntut Pemerintah Jepang Hentikan Inisiatif AZEC Yang Penuh Upaya “Greenwashing”


Siaran Pers

WALHI, JATAM, KRUHA, CELIOS

Pada 2 Mei 2025, Kelompok masyarakat sipil di Indonesia yang terdiri dari WALHI, JATAM, KRuHA, dan CELIOS melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Jepang Untuk Indonesia di Jakarta guna menyampaikan keprihatinan mereka terhadap inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) yang dipimpin Jepang yang terus didorong implementasinya di Indonesia. Aksi ini adalah respon terhadap rencana kunjungan mantan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, yang bertindak sebagai Utusan Khusus Perdana Menteri dan Penasihat Utama Asosiasi Parlemen AZEC, yang akan memimpin delegasi anggota parlemen Jepang untuk mengunjungi Indonesia dengan salah satu misi khususnya untuk mempromosikan AZEC pada 3-5 Mei 2025. Meskipun pemerintah Jepang selalu menyebut inisiatif ini merupakan bagian dari upaya menuju netralitas karbon dengan menciptakan kemitraan yang luas untuk mencapai tujuan tersebut, namun bagi kelompok masyarakat sipil di Indonesia, inisiatif ini tidak lebih dari sekadar upaya greenwashing yang diberi label sebagai dekarbonisasi.

Masyarakat sipil di Indonesia menilai AZEC bisa menjadi ancaman bagi lingkungan hidup, masyarakat, bahkan bagi proses demokratisasi di Indonesia karena kurangnya transparansi, keterbukaan informasi, serta partisipasi publik yang bermakna. Inisiatif ini juga dinilai akan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil, menawarkan solusi palsu yang berisiko bagi keberlanjutan lingkungan serta komunitas. Selain itu, AZEC berpotensi mempercepat perampasan lahan, meningkatkan deforestasi, dan menciptakan beban ekonomi dan fiskal (kesulitan utang) yang dapat merugikan Indonesia dalam jangka panjang.

Menurut Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), proyek, perjanjian, dan kerja sama dalam AZEC berpotensi memberikan dampak besar bagi masyarakat Indonesia. Namun, hingga saat ini, keputusan untuk menyetujui berbagai inisiatif yang tercantum dalam dokumen AZEC belum pernah dilakukan melalui konsultasi terbuka dengan komunitas lokal di wilayah pelaksanaan proyek maupun dengan kelompok masyarakat sipil di Indonesia, terutama karena AZEC dapat mendorong perampasan tanah serta mempercepat deforestasi di Indonesia, contohnya, melalui proyek-proyek REDD serta eksploitasi mineral kritis yang diperlukan dalam produksi baterai dan industri kendaraan listrik, yang turut didukung oleh AZEC. Dimana dalam praktiknya di Indonesia, pertambangan mineral kritis justru mempercepat deforestasi hutan hujan yang berfungsi sebagai penyerap karbon. Dari data pertambangan pada 2023, WALHI memperkirakan 1,3 juta hektar konsesi tambang mineral kritis di Indonesia, terletak dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, yang dapat memicu meningkatnya angka deforestasi dan kerusakan hutan.

Ketiadaan informasi yang memadai, transparansi, maupun partisipasi bermakna dari masyarakat dalam persetujuan terhadap proyek-proyek, perjanjian, dan kerja sama AZEC  menyebabkan Pemerintah Jepang dan Indonesia gagal mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, serta hak asasi manusia yang dapat muncul dan berpengaruh pada masyarakat luas. Oleh karena itu implementasi AZEC harus dihentikan karena tidak sejalan dengan kepentingan publik.” terang Fanny Tri Jambore lebih lanjut.

WALHI mencontohkan Proyek Waste to Energy (WTE) Legok Nangka di Kabupaten Bandung bermasalah terkait transparansi dalam pemilihan teknologi incinerator dan terpilihnya konsorsium Jepang, Sumitomo-Hitachi Zosen, dengan keterlibatan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dapat memengaruhi keputusan tersebut. Proyek lain seperti PLTPB Muara Laboh di Sumatera Barat juga minim keterlibatan komunitas terdampak, menyebabkan petani mengalami gagal panen dan warga sekitar menghadapi dampak langsung tanpa konsultasi yang memadai.

Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menyoroti bahwa AZEC mendorong teknologi dan pendekatan seperti CCUS, co-firing dengan hidrogen, amonia, biomassa, serta LNG yang mengindikasikan bahwa AZEC berusaha mempertahankan penggunaan energi fosil. Menurut JATAM, langkah ini menghadirkan berbagai ancaman bagi lingkungan dan komunitas, dengan banyaknya laporan mengenai dampak negatif penggunaan energi fosil di Indonesia. Oleh karena itu, memperpanjang penggunaan energi fosil berarti memperpanjang penderitaan masyarakat.

"AZEC yang akan dijalankan di Indonesia secara terang-terangan mendukung pendekatan serta teknologi yang memperpanjang ketergantungan pada energi fosil. Dengan demikian, inisiatif ini tidak dapat diharapkan berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca yang diperlukan untuk mencapai target suhu global 1,5°C sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Paris, sehingga tidak membantu upaya memerangi perubahan iklim." Tutur AlFarhat Kasman, Pengkampanye JATAM

Proyek dan kerja sama dalam AZEC menunjukkan upaya untuk mempertahankan penggunaan energi fosil, seperti yang terjadi di Paiton, Jawa Timur. Pembangkit listrik tenaga batu bara di kawasan tersebut telah beroperasi selama beberapa dekade dan seharusnya segera dihentikan karena dampak serius terhadap kesehatan masyarakat, serta mata pencaharian petani dan nelayan. Namun, dibawah AZEC, operasionalnya terus didorong, termasuk melalui inisiatif PT PLN Nusantara Power (PLN-NP) dan Mitsubishi Heavy Industries yang mengembangkan pembakaran biomassa bersama batu bara, serta kerja sama PLN-NP dan Toshiba Energy Systems & Solutions Corporation (TESS) dalam mempromosikan teknologi penangkapan karbon. Upaya mendorong teknologi penangkapan karbon pada energi fosil juga terlihat pada kerjasama  Pertamina, Japan Organization for Metals and Energy Security (JOGMEC), dan Japan Petroleum Exploration Corporation (JAPEX) untuk melakukan uji injeksi CO2 di ladang minyak Sukowati di Indonesia, serta rencana Chubu Electric Power Co. dan BP Berau Ltd., terus melanjutkan proyek penyimpanan karbon yang ditangkap dan dikirim dari Jepang di area proyek LNG Tangguh di Papua. 

Penolakan terhadap inisiatif AZEC juga didasarkan pada penggunaan solusi palsu yang berisiko bagi keselamatan lingkungan serta komunitas, sekaligus berpotensi menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRuHA) menegaskan bahwa proyek-proyek besar yang menyebabkan konflik lingkungan dan pelanggaran HAM tidak seharusnya dilanjutkan hanya demi ambisi dekarbonisasi.

"Salah satu proyek yang mendapatkan dukungan dalam AZEC untuk diterapkan di Indonesia adalah Geothermal atau Panas Bumi. Selama ini regulasi terkait geothermal setelah diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja masih bersifat eksploitatif, sehingga berpotensi memperburuk konflik agraria dan meningkatkan risiko kriminalisasi terhadap masyarakat” tutur Sigit Karyadi, Juru Kampanye KRUHA

Beberapa contoh seperti proyek Geothermal Muara Laboh yang merupakan investasi INPEX dan Sumitomo Corporation dan didanai oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) serta Nippon Export and Investment Insurance (NEXI) telah menyebabkan gagal panen bagi petani akibat kerusakan irigasi. Selain itu, kedekatan lokasi pembangkit dengan kawasan pertanian dan pemukiman masyarakat—hanya berjarak 250-500 meter—menimbulkan risiko pencemaran lingkungan dalam jangka pendek maupun panjang. Hal serupa terjadi pada PLTP Sarulla, yang diinvestasikan oleh ITOCHU Corporation, Kyushu Electric Power, dan INPEX dengan pendanaan dari JBIC. Proyek ini mengakibatkan penurunan pendapatan petani akibat kerusakan tanaman serta saluran air. Selain itu, proses pembebasan lahan dilakukan tanpa nilai kompensasi yang setimpal, mengabaikan keberadaan tanaman masyarakat yang telah tumbuh di lahan tersebut.

Proyek lain yang didukung oleh AZEC seperti Waste to Energy (WTE), akan menggunakan incinerator untuk membakar berbagai jenis sampah, termasuk sampah organik dan plastik berbahan bakar fosil, yang tetap akan menghasilkan emisi gas rumah kaca. Proyek solusi palsu lainnya seperti rencana proyek hidrogen dan amoniak hijau yang akan dijalankan melalui Pupuk Iskandar Muda, di Aceh, anak usaha Pupuk Indonesia bekerjasama dengan korporasi besar Jepang, ITOCHU dan Toyo Engineering masih menyisakan banyak permasalahan, karena selama ini ancaman kebocoran amoniak pada area Pupuk Iskandar Muda masih terjadi dan menjadi problem kesehatan bagi masyarakat sekitar.

Sementara itu CELIOS menggaris bawahi meningkatnya beban ekonomi dan fiskal akibat implementasi AZEC di Indonesia. Proyek-proyek yang didukung AZEC seperti transisi energi menggunakan gas, geothermal, co-firing biomass, teknologi CCS/CCUS, dan hidrogen hijau menghasilkan dampak negatif pada ekonomi Indonesia dalam simulasi ekonomi yang memperhitungkan biaya lingkungan dan kesehatan. Kondisi ini terjadi di tengah beban fiskal Indonesia yang akan bertambah akibat peningkatan klaim BPJS Kesehatan akibat dampak kesehatan dan penambahan subsidi energi karena kebijakan transisi ke gas, sehingga semakin meningkatkan kesulitan pembayaran utang jatuh tempo yang dalam tiga tahun ke depan akan mencapai Rp2.406 triliun.  

"Selain dari skema pinjaman AZEC, peningkatan risiko debt distress Indonesia akan berasal dari penambahan biaya kesehatan atau klaim BPJS Kesehatan di Indonesia hingga Rp1.545,9-1.705,9 triliun hanya dari penambahan PLTG 22 GW CO2.  Peningkatan subsidi listrik akibat transisi ke gas bumi juga akan meningkatkan beban fiskal akibat kebijakan stabilitas biaya energi primer. Apalagi ternyata simulasi dampak ekonominya secara makro juga negatif. Terbaru, simulasi dampak ekonomi penambahan PLTG 22GW di Indonesia akan menyebabkan output ekonomi minus hingga Rp 941,4 triliun dan penurunan serapan kerja 6,7 juta orang dalam proyeksi sampai tahun 2040. " jelas Jaya Darmawan, peneliti CELIOS.

Oleh karena itu, Kelompok masyarakat sipil di Indonesia yang terdiri dari WALHI, JATAM, KRUHA, dan CELIOS menyerukan kembali kepada pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia untuk membatalkan inisiatif AZEC yang memperpanjang penggunaan energi fosil, menggunakan solusi palsu yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas, serta menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dan meminta pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia  bekerja sama serta mendukung dekarbonisasi/transisi energi yang cepat, adil, dan merata dengan cara yang dapat memastikan partisipasi bermakna dari masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia.

 

Narahubung:

Fanny Tri Jambore (Kepala Divisi Kampanye WALHI) - 083857642883

AlFarhat Kasman (Pengkampanye JATAM) - 085298306009

Sigit Karyadi (Pengkampanye KRUHA) - 081318835393

Jaya Darmawan (Peneliti CELIOS) - 081223040651