Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru-baru ini mengumumkan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk empat dari lima perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Nurham. Meski demikian, pemerintah masih membiarkan PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk, untuk tetap beroperasi dengan luas wilayah 13.136 hektar.
“Kebijakan ini patut dipertanyakan. Meskipun pencabutan empat izin tambang merupakan langkah yang positif, kenyataan bahwa PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi di pulau kecil menunjukkan sikap setengah hati pemerintah dalam melindungi ekosistem Raja Ampat. Seharusnya, berdasarkan regulasi yang ada, tidak boleh ada aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil yang berpotensi merusak lingkungan.” terang Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye WALHI.
Pertama-tama yang harus dipahami adalah, bahwa pertambangan di pulau-pulau kecil merupakan ancaman bagi ekologi dan kehidupan masyarakat. Pulau-pulau kecil memiliki daya dukung dan daya tampung lingkungan yang sangat terbatas. Operasi pertambangan tidak hanya menghancurkan ekosistem darat tetapi juga mengancam kehidupan bawah laut yang menjadi sumber ekonomi dan pangan bagi masyarakat setempat. Pulau Gag, misalnya, telah mengalami degradasi ekosistem akibat operasi pertambangan.
Dalam laporan Ekspedisi Tanah Papua 2021 dari Kompas, warga melaporkan bahwa ikan-ikan yang dulu berlimpah di sekitar Pulau Gag kini menghilang. Wilayah pesisir yang dulu disebut sebagai “sarang ikan” kini berubah menjadi dermaga bongkar muat material nikel. Debu dari aktivitas tambang juga membawa dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Angin kencang yang bertiup ke pemukiman, membuat debu beterbangan dan menyebabkan warga mengalami gangguan pernapasan. Keluhan lain yang muncul adalah kekhawatiran penyakit kulit akibat pencemaran air laut. Sementara itu, Pulau Kawe, yang luasnya kurang dari 50 kilometer persegi, juga menghadapi ancaman serupa. Pulau ini berdekatan dengan kawasan Suaka Alam Perairan Waigeo Sebelah Barat—rumah bagi ekosistem laut yang kaya. Aktivitas pertambangan lama-kelamaan akan menggerus keberadaan Pulau Kawe, yang seharusnya dilindungi karena posisinya yang strategis dalam ekosistem Raja Ampat.
Seluruh problem yang tengah terjadi ini muncul akibat regulasi yang tidak ditegakkan. Jika merujuk pada peraturan yang ada, pertambangan di pulau-pulau kecil seharusnya tidak terjadi. Sekalipun pemerintah berdalih bahwa Pulau Gag tidak masuk dalam Kawasan Geopark Raja Ampat, namun aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT. Gag Nikel disana tetap melanggar ketentuan UU Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Karena Pulau Gag masuk dalam kategori Pulau Kecil, kegiatan penambangan bukan kegiatan yang diprioritaskan, serta dilarang sebagaimana Pasal 1 angka 3, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf K.
Selain itu terdapat beberapa preseden Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang secara jelas menegaskan bahwa kegiatan penambangan di pulau kecil dilarang karena merupakan “bentuk kegiatan yang menimbulkan ancaman sangat berbahaya (abnormally dangerous activities) yang berdampak serius serta kerusakannya tidak dapat dipulihkan” sebagaimana Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 P/HUM/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023.
oleh karenanya kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT Gag Nikel haruslah dikatakan sebagai kegiatan yang bertentangan dengan UU dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Lingkungan Hidup wabil khusus wilayah pesisir dan Pulau-pulau kecil. Selain itu Indonesia merupakan negara yang sangat rentan peristiwa ekstrim yang diakibatkan perubahan iklim, maka kegiatan penambangan di pulau kecil akan sangat berdampak buruk kelangsungan pulau kecil itu sendiri serta masyarakat yang bermukim.
“Kekhawatiran kami, jika aktivitas PT. Gag Nikel dibiarkan berlanjut maka pembongkaran gunung, penggalian lubang-lubang tambang di Pulau Gag ini akan semakin masif. Masyarakat adat Papua pemilik Hak Ulayat akan dipaksa mengungsi ke tanah besar, masyarakat adat akan kehilangan wilayah adatnya, terutama anak cucu generasi selanjutnya akan kehilangan identitas, kampung halaman, budaya lokal dan keindahan kekayaan alam Papua” jelas Maikel Peuki, Direktur WALHI Papua.
Untuk itu, WALHI menuntut Pemerintah untuk melakukan review menyeluruh terhadap semua izin tambang di pulau-pulau kecil, bukan hanya mencabut sebagian kecil izin saja. Dalam catatan WALHI, masih terdapat setidaknya 248 izin pertambangan yang beroperasi di 43 pulau kecil di Indonesia. Apabila ini dibiarkan, maka dalam jangka panjang, ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat lokal akan semakin terancam serta menambah catatan pulau-pulau kecil Indonesia yang tenggelam atau hilang.
Pulau-pulau kecil memiliki daya dukung dan daya tampung yang jauh lebih terbatas dibandingkan pulau besar. Kegiatan industri ekstraktif seperti pertambangan dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), apalagi jika dibarengi dengan hilangnya kekayaan biodiversitas. Jika pemerintah serius dalam menerapkan prinsip pencegahan bahaya lingkungan, maka langkah pertama yang harus diambil adalah menghentikan seluruh aktivitas tambang di pulau-pulau kecil dan memastikan regulasi ditegakkan tanpa pengecualian. Langkah ini bukan sekadar keharusan ekologis, tetapi juga bentuk keadilan bagi masyarakat pesisir yang telah lama menjadi korban eksploitasi lingkungan. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga memastikan keberlanjutan ekosistem bagi generasi mendatang.
Kontak Media:
Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI
Maike Primus, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua