Akademi Ekologi Walhi: Urgensi dan Visioning Mewujudkan Layer Generasi dengan Perspektif Keadilan Ekologis

Akademi Ekologi Walhi: Urgensi dan Visioning Mewujudkan Layer Generasi dengan Perspektif Keadilan Ekologis

Oleh: Agus Dwi Hastutik
Manajer Hubungan Internasional Eksekutif Nasional Walhi

Kemanusiaan berada di persimpangan jalan. Krisis iklim, ekonomi, dan peradaban manusia bergeser pada skala dan kecepatan yang mengkhawatirkan. Perubahan kebijakan yang menjadi pendorong krisis diperlukan, itu hal yang sudah tidak bisa ditawarkan. Untuk menjawab permasalahan yang sedang terjadi, WALHI datang dengan Akademi Ekologi (AE).

Dalam 40 tahun terakhir, hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik muda dan tua, sudah melalui proses pendidikan ilmu pengetahuan alam dan lingkungan yang disediakan dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Dalam kurun ini juga, Indonesia telah mengalami kemajuan pesat dalam berbagai sisi pembangunan, kapasitas infrastruktur, perkembangan pengetahuan, teknologi dan lainnya. Semua orang yang saat ini mengambil peran penting dari struktur paling bawah hingga puncak di berbagai sektor telah mendapatkan pendidikan ilmu pengetahuan alam. Akan tetapi, kehancuran alam, kerusakan lingkungan dan bencana yang disebabkan oleh ulah manusia, baik itu karena industri ekstraktif maupun lainnya, juga semakin meningkat selama 40 tahun terakhir. Bagaimana ini bisa diselesaikan?

Berkembang dan meningkatnya pengetahuan alam dan lingkungan tidak serta merta berbanding lurus dengan peningkatan perlindungan sumber daya alam (SDA) dan fungsi ekologis serta upaya yang dilakukan untuk merawat keberlanjutan. Hal ini dipengaruhi oleh kesadaran dan kepentingan.

Budaya kebijakan Indonesia terhadap SDA dan lingkungan selalu lahir dan mengikuti keputusan dan kepentingan politik untuk pertumbuhan ekonomi. Setiap petahana yang berkuasa selalu memikirkan pertumbuhan ekonomi sebagai agenda utama mereka. Sehingga, kebijakan yang dilahirkan tidak berdasarkan dari aspirasi, kondisi objektif yang berkembang di masyarakat dan tidak menempatkan aspek perlindungan lingkungan hidup dan ekologis serta ilmu pengetahuan sebagai aspek yang sama pentingnya dengan politik dan ekonomi. Misalnya, kajian ilmiah tentang analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang dilakukan oleh akademisi sebagai salah satu persyaratan administratif untuk industri ekstraktif maupun pembangunan skala besar, hanya dibuat sebagai formalitas dan hanya dijadikan pembenaran oleh pemerintah untuk satu keputusan politik yang salah. Sebagai contoh, pembangunan perkebunan kelapa sawit yang sudah terbukti berkontribusi kepada kerusakan lingkungan (degradasi hutan) dan perampasan hak masyarakat, namun dinyatakan layak untuk dioperasikan karena memiliki kajian AMDAL yang dilakukan oleh akademisi dan dilegitimasi oleh pemerintah.

Corak ekonomi Indonesia yang masih berbasis (mengandalkan) kepada industri ekstraktif inilah yang menjadi akar permasalahan atas krisis lingkungan hidup yang sedang terjadi menjadi salah satu alasan yang melatarbelakangi WALHI untuk melahirkan solusi dan inisiatif yang bersifat holistik terhadap krisis melalui Akademi Ekologi.

Akademi Ekologi Walhi adalah Gerakan Pendidikan Lingkungan Hidup yang bertujuan melahirkan kepemimpinan orang muda dengan menjadikan ilmu pengetahuan yang hidup di masyarakat lokal sebagai pengetahuan bersama untuk mewujudkan keadilan ekologis di Indonesia. Melalui Akademi Ekologi, WALHI berupaya mengarusutamakan “keadilan ekologis” secara sistematis dan komprehensif sebagai cara berpikir di kalangan orang muda Indonesia, sekaligus mendorong dan memfasilitasi partisipasi, inovasi dan tindakan mereka untuk upaya berkelanjutan yang lebih baik dalam mengatasi perubahan iklim dan krisis ekologis.

Akademi Ekologi menjadi rumah/ruang untuk ruh perlawanan atas penjajahan pengetahuan. Akademi Ekologi dibangun untuk meningkatkan daya debat dan daya sanggah masyarakat terhadap penyepelean pengetahuan tradisional lingkungan mereka yang telah dikembangkan selama turun-temurun, pengetahuan dan kearifan tradisional ini dapat dijadikan pengetahuan universal bila dipertemukan dengan metodologi secara akademis. Sehingga ketika mereka dihadapkan dengan para akademisi di ruang debat, masyarakat tidak ditempatkan sebagai pihak yang tidak mengetahui apapun untuk menyatakan layak atau tidak terhadap sebuah proyek pembangunan yang mengancam hidup mereka.

Saat ini dunia sedang dihadapkan dengan krisis lingkungan, ekonomi dan peradaban. Tiga masalah utama yang harus kita jawab, tetapi harus disadari bahwa kapasitas bangsa Indonesia terhadap masalah tersebut belum sampai. Jangankan menjawab krisisnya bentuk krisisnya sendiri itu kita belum definisikan.

Alasan lain yang mendasari WALHI membangun Akademi Ekologi adalah untuk melahirkan keadilan ekologis itu sendiri. Keadilan ekologis antara manusia dengan ruang hidupnya, antara manusia generasi sekarang dengan generasi masa depan. Indonesia, meskipun menjadi salah satu negara dengan kekayaan SDA dan beragam masih untuk menyatukan jurang ketidakadilan yang dialami oleh masyarakatnya. Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah penghasil batu bara terbesar di Indonesia, namun hingga sekarang masih banyak masyarakat yang menderita karena dampak yang diakibatkan oleh dampak pertambangan seperti pencemaran dan perampasan lahan. Batu bara dihalalkan oleh peraturan negara untuk menjawab kebutuhan mendasar atas energi. Tetapi orang-orang yang hidup di lingkar tambang, bahkan tidak menikmati secuil pun hasil dari kekayaan alam mereka. Bahkan berdasarkan data ESDM, 306 desa di Kalimantan Utara yang berada di sekitar lingkar tambang masih belum teraliri listrik hingga sekarang.

“Keadilan ekologis itu baru bisa diwujudkan, pertama kalau krisis ekologis itu sudah bisa diidentifikasi. Yang kedua, di Akademi Ekologi, kita harus mampu merumuskan jawaban dari krisis ekologis itu sendiri.” Zenzi Suhadi, Direktur WALHI Nasional Eksekutif.

Selama tiga abad lebih dari abad 16, paling tidak empat negara besar di Eropa, Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda berperang merebutkan rempah-rempah di Indonesia. Empat negara tersebut mendapatkan banyak keuntungan dari berdagang rempah dari Indonesia. Akan tetapi, pasca Indonesia merdeka di tahun 1945, rempah-rempah yang pernah memiliki masa kejayaannya, yang menjadi komoditas utama untuk pangan dunia, kemudian ditinggalkan.

Belanda menjual Manhattan di Amerika Serikat untuk Pulau Run di Maluku untuk pala, menjual Singapura untuk Bengkulu untuk lada kepada Inggris. Begitu penting dan berharganya rempah bagi mereka, tetapi justru ditinggalkan oleh Indonesia setelah mendapatkan kemerdekaannya.

Kelapa sawit, yang bukan tanaman endemik Indonesia, pertama kali dibawa ke Indonesia pada tahun 1908. Di tahun 1987, melalui proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR) oleh Bank Dunia, perkebunan kelapa sawit skala besar pertama kali dibuka di Indonesia. Di tahun 2014, perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit yang telah mencapai 14 juta hektar telah menyebabkan deforestasi, konflik dengan komunitas, serta pengeringan ekosistem gambut yang berakibat kepada kebakaran hutan dan bencana asap. Sebelum Indonesia menjadi penghasil CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia, Indonesia telah mandiri dengan minyak kelapa, yang merupakan tanaman nusantara selama lebih dari 100 tahun dari 1800-1900-an. Minyak kelapa yang diproduksi dari sentra minyak masyarakat yang tersebar di pelosok nusantara menjadi sumber ekonomi rakyat, yang menopang kehidupan masyarakat dan tidak merusak alam. Bahkan kopra dan minyak kelapa juga sempat memiliki masa kejayaannya ketika diekspor ke beberapa negara maju seperti di Eropa dan Amerika. Rempah-rempah dan minyak kelapa adalah komoditas asli nusantara yang telah menopang ekonomi Indonesia yang kemudian tersingkirkan karena kelatahan Indonesia yang kemudian beralih ke ekonomi yang sifatnya ekstraktif.

Sebagai negara tropis, kepulauan terbesar di dunia dan terletak di ring of fire, Indonesia memiliki ciri dan karakteristik sendiri tentang bagaimana terciptanya peradaban di Indonesia. Indonesia sudah memiliki ‘takdirnya’ sendiri, dengan tanaman yang tumbuh secara alami di negara tropis, corak ekonomi yang disesuaikan dengan lanskap setiap wilayah. Akan tetapi, selama dua puluh tahun terakhir, Indonesia harus membayar biaya besar untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh industri ekstraktif yang di uluk-ulukan.

“Kita sudah ditakdirkan untuk hidup bersama, tumbuh bersama, dan memanfaatkan tanaman, apapun yang tumbuh di negara tropis. Kalau sekarang banyak bencana asap karena kebakaran hutan industri ekstraktif, itu karena kita mengingkari takdir kita dalam bahasa spiritual. Para pengurus negara mengingkari takdir, sebagai negara tropis yang ditanam justru bukan tanaman yang berasal dari negara tropis.” Tambah Zenzi.

Latar belakang dari kesalahan cara pandang pembangunan ekonomi di Indonesia yang berbasis ekstraktif dan eksploitatif, apabila ditarik ke belakang juga diawali dari abad 16 ketika negara-negara barat datang dengan ‘penemuan mereka’. Di awal abad 16, filsafat penempatan pengetahuan oleh orang di barat, seperti Aristotle dengan gagasannya dimaterialkan sebelum digunakan untuk hidup orang banyak.

Awal kerusakan lingkungan diawali dengan perubahan komoditi ekonomi Indonesia yang beragam dari rempah ke komoditi ekstraktif dan tumbuhan yang tumbuh dari luar Indonesia. Sedangkan kerusakan peradaban di Indonesia diawali dengan perbedaan falsafah (cara hidup) dan penempatan pengetahuan, antara masyarakat Nusantara dengan sistem ekonomi yang bersifat eksploitatif yang menempatkan penemuan terhadap sesuatu sebagai kepemilikan dan dimaterialkan, untuk menjadi kebutuhan dari orang banyak. Sedangkan masyarakat di timur, menempatkan penemuan dan pengetahuan, dan kemampuan adaptasi terhadap alam dijadikan sebagai pedoman dan cara hidup bersama. Sebagai contoh, di Nusa Tenggara Timur, kain tenun merupakan identitas masyarakat. Akan tetapi, cara menenun, corak yang kaya dan beragam, dan bahkan pewarna alami yang masyarakat temukan menjadi kepemilikan bersama sehingga tidak ada orang maupun yang mengklaim bahwa jenis tenun tertentu atau corak tenun tertentu adalah milik mereka.

Akademi Ekologi secara filosofis dibangun meneruskan tradisi dan kekayaan pengetahuan lokal yang ada di Nusantara. WALHI tidak menempatkan Akademi Ekologi sebagai alat komersialisasi pengetahuan. Penemuan-penemuan yang nantinya dijadikan bahan pengetahuan yang disebarkan untuk pedoman bagi petani dan masyarakat.

Krisis ekologi, perbedaan penempatan pengetahuan, dan eksploitasi SDA telah merusak tujuh hal penting yang dilahirkan oleh masyarakat nusantara berabad-abad lalu. Proses masyarakat beradaptasi dengan lanskap mengenali ekosistem yang berbeda telah melahirkan peradabannya sendiri. Namun ironisnya, hasil dari peradaban yang terbentuk dalam bahasa, pakaian, pertanian, ternak, perikanan, makanan tradisional, rumah, musim dan tanggalan, dan pengetahuan yang telah lama menjadi pedoman hidup masyarakat, memiliki corak yang berbeda dan pengetahuan yang melekat di sana, telah mengalami kerusakan karena orientasi pembangunan yang tidak menempatkan aspek ekologis, budaya, sosial pada tingkat yang sama.

Melalui Akademi Ekologi, WALHI berusaha untuk menjawab krisis terhadap tujuh sendi peradaban yang telah rusak dengan melakukan empat pendekatan.

  1. Akademi Ekologi untuk menjadi rumah/ruang pengkaderan aktivis lingkungan. Akademi Ekologi akan dibangun di 28 provinsi di Indonesia di setiap WALHI daerah. Harapannya seluruh kader yang mengikuti proses pendidikan WALHI, ketika mereka sudah selesai mengikuti pendidikan WALHI memiliki cara pikir, cara pandang dan untuk penyelamatan SDA dan perspektif ekologis.
  2. Akademi Ekologi dibangun untuk mencetak layer generasi di Indonesia yang memiliki perspektif ekologi. Untuk menjawab keadilan antar generasi dan budaya kebijakan di Indonesia yang mengedepankan kepentingan politik, pendekatan yang dilakukan melalui pendidikan formal. Akademi Ekologi yang akan dibangun di setiap provinsi harus dibangun di tempat yang mudah diakses orang dan menargetkan sekolah-sekolah. Oleh karena itu, target untuk mencetak generasi lingkungan yang memiliki perspektif ekologi yang memiliki tindakan dan kepedulian terhadap alam dalam waktu dekat akan terwujud.
  3. Akademi Ekologi sebagai laboratorium alam. Pendidikan ilmu pengetahuan alam telah dilakukan kepada generasi kita dari tingkat sekolah dasar, SMP hingga SMA, tetapi pengetahuan dan teori yang diajarkan dalam pendidikan formal menghadapi jurang yang dalam dengan realita alam sehingga pengetahuan teoritik yang didapatkan tidak berkembang menjadi ilmu dan kesadaran. Akademi Ekologi akan menjadi ruang untuk penelitian, tempat pengawetan, tempat generasi mudah membuat master plan/blue print untuk menjawab suatu persoalan krisis. Selain itu, Akademi Ekologi ini juga akan berfungsi untuk memenuhi hak-hak orang-orang di kota yang dirampas akses ekologisnya karena pembangunan yang terkonsentrasi ke kota yang berakibat pemisahan manusia dengan ekologi asalnya, serta pertumbuhan generasi yang tercabut dari alam dan kulturnya.
  4. Akademi Ekologi sebagai Short Course. Untuk memberikan perspektif kepada pihak-pihak yang mempunyai pengaruh, sebagai kandidat yang ingin maju ke pemilihan untuk meningkatkan kredit mereka tentang lingkungan hidup.

WALHI melihat kedepan, Akademi Ekologi dapat melahirkan tiga hal penting untuk perkembangan pengetahuan alam dan kesadaran terhadap lingkungan kepada generasi muda. Yang pertama adalah Akademi Ekologi sebagai rumah untuk melahirkan sumber inovasi terhadap permasalahan yang tidak dijawab oleh pemerintah. Yang kedua Akademi Ekologi sebagai rumah untuk perumusan solusi dari krisis bersifat global dan multi dimensi dan yang terakhir adalah Akademi Ekologi sebagai trendsetter terhadap paradigma pengelolaan SDA dan kultur itu sendiri.

“Kedepan, Akademi Ekologi akan menjadi gerakan kesadaran terhadap lingkungan, gerakan perubahan kultur manusia terhadap lingkungan. Untuk menjadikan Akademi Ekologi bisa menjadi sebuah gerakan, dia tidak boleh eksklusif hanya dimiliki oleh satu pihak atau kelompok tapi Akademi Ekologi harus dijadikan adalah milik kita bersama.” Tutup Zenzi.