Jakarta, 29 Juli 2025. Walhi mencatatan sejak 1 hingga 28 Juli 2025 terdapat sebanyak 20.788 titik api (hotspot) di Indonesia. Secara tingkatan titik api ini terkategorisasi level tinggi dengan jumlah 639 hotspot, level sedang dengan jumlah 19.656 hotspot dan level rendah dengan jumlah 493 hotspot. Ketika di overlay dengan data konsesi HGU sawit dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), Walhi menemukan sebanyak 373 hotspot dengan level tinggi berada di konsesi perkebunan (HGU) atau izin kehutanan (PBPH) milik Korporasi. Sebanyak 231 perusahaan yang di dalam konsesi nya terpantau ada hotspot. Bahkan dari beberapa perusahaan yang terdapat hotspot di konsesinya adalah perusahaan yang juga terbakar pada tahun-tahun sebelumnya.
“Keberulangan karhutla ini adalah bukti ketertundukan negara pada perusahaan pembakar hutan dan lahan. Hingga saat ini pemerintah tidak berani mengevaluasi 969 perusahaan sawit yang puluhan tahun beroperasi di wilayah gambut dan hutan seluas 5,6 juta hektar. Bahkan ada cukup banyak perusahaan yang telah diputus bersalah oleh pengadilan, namun tidak ada proses ekskusi putusan yang jelas dan tidak pernah dicabut izinnya, dan alhasil tahun ini kembali terbakar. Impunitas dan ketertundukan negara ini lah yang menjadi akar persoalan karhutla, selama pemerintah tidak menjawabnya, selama itu juga karhutla akan terus terjadi,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.
Dia juga menambahkan bahwa fakta adanya ratusan perusahaan beroperasi di ekosistem gambut dan hutan ini, serta impunitas yang selalu diberikan pemerintah pada korporasi pembakar hutan adalah bentuk kegagalan UU Kehutanan, sehingga revisi UU Kehutanan saat ini harusnya menjadi momentum untuk mengubah total UU Kehutanan, bukan hanya revisi tambal sulam yang tidak mampu menjangkau persoalan karhutla.
Sumatera Selatan
Hasil Pantuan WALHI Sumatera Selatan, sepanjang Juni 2025 terdapat 85 hotspot berada di konsesi HTI dan HGU milik 16 perusahaan. Bahkan semua perusahaan tersebut selalu terbakar atau terdapat hotspot di dalam konsesi nya dalam setiap tahunnya. 58 hotspot berada di konsesi HTI milik 11 perusahaan, yaitu PT Esa Dinamika di Kab. Muratara (berulang), PT Paramita Mulia Langgeng di Kab Muratara (berulang), PT Bumi Persada Permai di Kab. Muba (berulang), PT Sentosa Bahagia Bersama di Kab. Muba, PT. Tiesco Cahaya Permai di Kab. Muba (berulang), PT. Tiesco Cahaya Permai di Kab. Muba (berulang), PT Wahana Lestari Makmur Sukses di Kab. Muba (berulang), PT MHP di Kab. Musi Banyuasin (berulang), PT MHP di Kab. Musi Rawas (berulang), PT MHP di Kab. Pali (berulang), PT MHP Kab. Lahat (berulang), dan PT MHP di Kab. Muara Enim (berulang). Sedangkan 27 hostpot berada di HGU sawit milik 5 perusahaan, yaitu PT Hasil Musi Lestari di Kab. Musi Rawas, PT London Sumatra di Kab. Muratara (berulang), PT Muara Bibit Lestari di Kab. Musi Rawas (berulang), PT Muara Bibit Lestari di Kab. Musi Rawas (berulang), PT Padang Bolak Jaya di Kab. Lahat (berulang), dan PT Trans Pacific Agro Industri di Kab. Banyu Asin (berulang).
Yuliusman, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan mengatakan“Karhutla adalah kejahatan lingkungan luar biasa (extra ordinari egologycal crime), karena itu dibutuhkan penanganan yang serius dan terukur oleh negara. Penanganannya tidak cukup hanya dengan tindakan apel siaga, water booming, hujan buatan dan penyegelan semu tanpa ada sanksi yang berarti”.
Sumatera Barat
Rentang April hingga Juli 2025 tercatat sebanyak 1.225 titik hotspot di Sumatera Barat pantau citra satelit (NASA SNPP). KARHUTLA ini tersebar di beberapa wilayah di Sumatera barat, diantranya kabupaten Solok, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Pesisir Selatan, Kab. Agam. Gubernur Sumbar dari Tanggal 23 Juli hingga 21 September 2025, resmi menetapkan status Siaga Darurat Karhutla selama 60 hari,berdasarkan SK Gubernur Sumbar No. 360‑416‑2025. Luas karhutla yang terdampak tersebar di 10 kecamatan & 22 nagari. Rincian nya yaitu Kecamatan Pangkalan Koto Baru: 500 ha Kecamatan Harau: 227,48 ha dengan Total luas terbakar: 864,87 hektare. 36 Hotspot ditemukan di konsesi perusahaan yaitu PT. Citalaras Indonesia (7 hotspot), HGU Husdi Gunawan (10 hotspot), PT. Sumatera Jaya Agro Lestari ( 8 Hotspot), PT Sapta Sentosa Jaya Abadi (8 hotspot), dan PT. Sukses Jaya Wood ( 3 hotspot).
“Karhutla di Sumatera Barat selalu terulang di lokasi yang sama, bahkan meluas di beberapa kabupaten lain. Biasanya terjadi beriringan dengan alih fungsi lahan gambut dan hutan menjadi sawit. Ini adalah kejahatan yang sistematis terstruktur dan masif. Seharusnya penegak hukum tak berhenti menangkap pelaku-pelaku kecil. Tapi juga menangkap pemodal, serta pelaku pembiaran tersebut dengan Pidana UU Kehutanan,” kata Tommy Adam, Kepala Divisi Penguatan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Lingkungan WALHI Sumatera Barat.
Kalimantan Selatan
Hingga akhir Juli 2025, terpantau terdapat 120 titik hotspot di wilayah Kalimantan Selatan. Berdasarkan klasifikasi tingkat keparahan, 115 titik tergolong sedang, 4 titik tergolong tinggi, dan 1 titik tergolong rendah. Dari temuan ini, titik hotspot dengan kategori tinggi teridentifikasi berada dalam wilayah konsesi PT Subur Agro Makmur, sebuah perusahaan perkebunan sawit yang sebelumnya juga tercatat berulang kali mengalami insiden kebakaran lahan di wilayah operasionalnya. Rekam jejak kebakaran di area konsesi sawit memang menjadi sorotan penting. Salah satu contohnya, pada tahun 2023, PT Palmina Utama yang juga bergerak di sektor perkebunan sawit, telah dikenai sanksi administratif oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) akibat terbukti lalai dalam pencegahan dan pengendalian karhutla di areal konsesinya.
Sementara itu, pada tahun 2024 hingga pertengahan tahun ini, ancaman karhutla di Kalimantan Selatan masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang masih cukup tinggi di sejumlah wilayah, bahkan beberapa daerah justru masih terdampak banjir. Salah satu wilayah yang terdampak cukup parah adalah Kecamatan Jejangkit, yang hingga kini masih dalam masa pemulihan pasca banjir. Akibat genangan air yang baru mulai surut, sebagian besar petani di daerah tersebut belum dapat memulai musim tanam padi, sehingga mempengaruhi siklus pertanian setempat.
“Situasi ini menggarisbawahi pentingnya mitigasi bencana yang terintegrasi antara kebakaran dan banjir sebagai dua sisi krisis ekologis yang saling berkelindan. Selain menyoroti kelalaian dalam pengelolaan izin konsesi, fakta ini juga menunjukkan bagaimana perubahan iklim dan degradasi ekosistem memperparah kerentanan masyarakat lokal,” kata Raden Rafiq, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan.
Rafiq juga menambahkan bahwa kejadian karhutla yang berulang di wilayah konsesi, serta banjir berkepanjangan di wilayah lain, harus dibaca sebagai manifestasi nyata dari krisis iklim dan krisis tata kelola lingkungan. Pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum, meninjau kembali izin-izin konsesi di wilayah rawan, serta mendorong restorasi ekosistem sebagai bagian dari strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Kalimantan Barat
Sepanjang Mei hingga mendekati akhir Juli 2025, terdapat 8644 hotspot yang terpantau di seluruh wilayah Kalimantan Barat. Walhi Kalbar mencatat titik api ditemukan di seluruh wilayah kabupaten dan kota dengan 5 wilayah tertinggi yaitu Sanggau 1816 hotspot, Mempawah dan Sambas masing-masing 1190 hotspot, Landak 807 hotspot, Ketapang 657 hotspot. Tedapat 2652 hotspot terpantau di sejumlah konsesi perusahaan, dengan hotspot terbanyak berada di konsesi PT. Perkebunan Nusantara XIII (124), PT. PT. Kapuas Palm Industri (108), Sumatera Unggul Makmur (106), PT. Global Kalimantan Makmur (103), Mitra Austral Sejahtera (89), Peniti Sungai Purun (60).
Sementara itu jika dioverlay dengan peta izin PBPH, terdapat 1061 hotspot yang berada pada 54 konsesi. Dengan terbanyak berada di PT. Finantara Intiga (143), PT Duta Andalan Sukses (102), PT Fajar Wana Lestari (88), Inhutani Nanga Pinoh (72), PT. Kanya Resources (71), Mayawana Persada (57), Citra Mulia Inti (43) dan Gambaru Selaras Alam (41).
Kebakaran lahan gambut masih terjadi di tahun 2025, identifikasi hotspot yang berada di kawasan Hidrologis gambut, ditemukan 2353. Hotspot ini berada pada 36 konsesi perkebunan kelapa sawit, dengan terbanyak pada PT Sumatera Unggul Makmur (89), Peniti Sungai Purun (53), Mitra Andalan Sejahtera (18), Muara Sungai Landak (17), Bumi Perkasa Khatulistiwa (16), Sebukit Internusa (14), Buluh Cawang Plantation(13), Condong Garut (8).
“Kebakaran hutan dan lahan sudah agenda peringatan tahunan, sayangnya bukan peringatan yang membanggakan, justru sebagai bentuk kegagalan pemerintah menyelesaikan persoalan. Paska karhutla hebat tahun 2015, pemerintah menyatakan berkomitmen memulihkan kerusakan gambut akibat karhutla serta melindungi gambut yang masih sehat, tapi setiap tahun kebakaran gambut masih terjadi,” kata Andre Illu, Kepala Divisi WKR, Pendidikan dan Pengorganisasian Walhi Kalimantan Barat.
Dia juga menambahkan “penanganan kasus kejahatan lingkungan dalam konteks karhutla, seringkali menyasar individu, tapi jarang menyentuh korporasi. Sementara perlindungan gambut mestinya menyeluruh, meskipun beberapa perusahaan melakukan penataan air di konsesi, namun pembukaan kanal di lahan gambut menyebabkan hidrologis pada KHG menjadi rusak, terutama pada kawasan masyarakat yang terkena dampak. Musim kemarau masih akan panjang, ini baru awal, tapi kota pontianak sudah terkena dampak kabut asap dan kualitas udara yang tidak sehat. Jika tidak ada upaya yang benar-benar serius, negara hanya menegaskan kelalainnya dalam memenuhi hak warga atas lingkungan yang baik dan sehat.”
Riau
Sejak Januari s/d Juli 2025 sekitar 1.000 ha hutan dan lahan di Riau telah terbakar. Hal ini yang kemudian menyebabkan status bencana Riau meningkat dari tahun sebelumnya menjadi tanggap darurat karhutla. Berdasarkan hasil analisis spasial WALHI Riau melalui satelit Aqua dan Terra dengan confidence level di atas 70% menunjukkan sepanjang periode 1 Mei s/d 24 Juli 2025 terdapat 310 titik panas yang tersebar di 9 kabupaten/kota Provinsi Riau dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir menempati urutan teratas. Hasil analisis ini juga memperlihatkan titik api berada dalam areal kerja 8 perusahaan perkebunan kayu dan kelapa sawit yaitu PT Perawang Sukses Perkasa, PT Citra Buana Inti Fajar, PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Selaras Abadi Utama, PT Diamond Raya Timber, CV Bhakti Praja Mulia, PT Ruas Utama Jaya, dan PT Jatim Jaya Perkasa. Lebih parahnya, perusahaan yang telah dijatuhi hukuman pidana, PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) kembali terbakar di tahun ini.
Setidaknya dari titik api yang ditemukan di konsesi perusahaan di atas, PT RAPP (APRIL&Partner), PT SRL (APRIL&Partner), dan PT DRT (Barito Grup) adalah perusahaan yang juga terbakar pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan PT Jatim Jaya Perkasa (Wilmar Grup) telah diputus bersalah melakukan perbuatan melawan hukum terkait kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup dan kebakaran hutan dan lahan berdasar putusan Mahkamah Agung kembali ditemukan titik api dalam areal kerjanya. Selain itu, hasil analisis media WALHI Riau juga menemukan Perusahaan Milik Asing (PMA) asal Malaysia, PT Adei Plantation Industry (KLK Grup) kembali terbakar. Perusahaan ini telah dua kali dijatuhi hukuman pidana atas kasus yang sama, yaitu pada tahun 2016 dan 2020.
“Kami mendesak penegak hukum menetapkan perusahaan yang areal kerjanya terbakar sebagai tersangka karhutla. Kemudian penegakan hukum juga harus paralel dengan evaluasi perizinan. Bahkan perusahaan yang berulang kali menjadi pelaku karhutla dan memiliki catatan pelanggaran lingkungan hidup lainnya sudah layak dicabut perizinannya,” ujar Boy Jerry Even Sembering Direktur Eksekutif WALHI Riau.
Aceh
Total hotspot di Aceh sebanyak 235 titik, dimana 11 persen atau 26 titik terpantau berada dalam konsesi Hak Guna Usaha (HGU) 5 perusahaan yaitu PTPN (18 hotspot), PT Beutami sebanyak (2 hotspot), PT Karya Tanah Subur (1 hotspot), PT Setya Agung (1 hotspot), dan PT Watu Gede Utama (4 hotspot).
“Hasil temuan kami, sangat ironis, justru titik panas paling banyak muncul di lahan milik negara sendiri. PTPN, sebagai perusahaan plat merah, semestinya jadi teladan pengelolaan lahan, bukan penyumbang risiko karhutla. Ketika PTPN, perusahaan milik negara, abai menjaga konsesinya dari kebakaran, pesan yang tersisa adalah negara lalai menjaga hutan dan lahan miliknya sendiri,” kata Kadiv Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal.
Parahnya, hotspot level tinggi (High) itu berada di perusahaan plat merah sebanyak 5 kejadian. Seharusnya sebagai pemegang HGU milik pemerintah berkewajiban menjaga lahannya dari kebakaran. Jika titik panas terus muncul di sana, maka ini bukan kelalaian biasa, ini potensi kejahatan lingkungan oleh perusahaan milik negara.
“Harusnya perusahaan plat merah itu harus menjadi contoh untuk pemegang konsesi HGU lainnya untuk menjaga atau mengendalikan Karhutla, bukan malah mereka yang banyak terjadi Karhutla. Kalau kejadian seperti ini, perusahaan negara ini tidak hanya lalai, tapi patut diperiksa dan diproses hukum,” tegasnya.
Hotspot paling banyak berada di kawasan Areal Peruntukan Lain (APL) atau non kawasan hutan sebanyak 136 hotspot. Hutan dengan fungsi lindung, produksi dan konservasi juga terdapat hotspot di dalamnya, dengan masing-masing sebanyak 37 hotspot, 43 hotspot dan 19 hotspot.
Data ini mengindikasikan bahwa kebakaran tidak hanya terjadi di area terbuka atau tidak dijaga, tetapi juga telah merambah ke kawasan hutan lindung, konservasi, bahkan taman nasional. “Sebaran titik panas di zona-zona yang seharusnya dilindungi ini menjadi alarm keras bagi otoritas kehutanan dan penegak hukum untuk memperkuat pengawasan dan penindakan,” jelasnya. Lemahnya kontrol di APL dan HGU mengindikasikan celah besar dalam pengawasan pemanfaatan lahan. Jika dibiarkan, potensi kebakaran hutan dapat meluas, mengancam kehidupan masyarakat, keanekaragaman hayati, serta memperparah krisis iklim.
Sementara Karhutla di Aceh sepanjang 2024 tercatat mencapai 7.257,35 hektar, menjadikannya sebagai kejadian terburuk dalam lima tahun terakhir. Angka ini melonjak lebih dari empat kali lipat dibandingkan 2023 yang hanya seluas 1.936,86 hektar. Ledakan Karhutla tersebut menempatkan Aceh pada peringkat keempat tertinggi di Sumatera pada 2024, dan peringkat ke-12 di Indonesia.
Memasuki 2025, hingga akhir Juli, luas karhutla di Aceh memang tercatat menurun menjadi 354 hektar. Namun secara peringkat, Aceh justru naik ke posisi ketiga di Sumatera, dan peringkat ke-8 secara nasional. Artinya, meskipun luasan kebakaran menurun, tingkat kerawanan dan penyebaran hotspot tetap tinggi.
“Penurunan luas bukan berarti persoalan selesai. Jika hotspot masih muncul setiap pekan dan menyasar kawasan lindung hingga konsesi negara, maka itu bukan keberhasilan, melainkan kegagalan yang ditunda,” tegasnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Aceh masih berada dalam bayang-bayang krisis ekologi yang serius. Tingginya kasus karhutla tahun lalu serta konsistensi munculnya hotspot tahun ini menjadi indikator bahwa sistem pencegahan dan pengawasan kebakaran belum berjalan efektif.
Kalimantan Tengah
Dari hasil analisis WALHI Kalimantan Tengah menggunakan analisis VIIRS NOAA pada periode 1 Juli – 28 Juli 2025, tercatat sebanyak 446 titik hotspot tersebar di 14 kota/Kabupaten di kalimantan Tengah, paling besar titik hotspot ada di Lamandau (75), Gunung Mas (66), Katingan (56), Kapuas (52), dan Kotawaringin Timur (46).
Temuan titik hotspot pada konsesi perkebunan sawit terindikasi sebanyak 119 titik panas yang tersebar di 51 konsesi. Diantaranya ada 6 perusahaan yang terjadi karhutla berulang baik di dalam dan areal luar sekitar konsesinya pada tahun 2015, 2019, 2023, dan 2024 yakni PT Maju Aneka Sawit, PT Borneo Subur Prima, PT Rimba Sawit Utama Planindo, PT Borneo Eka Sawit Tangguh, dan PT Katingan Mujur Sejahtera.
Kemudian temuan hotspot pada (IUPHHK-HT) izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman sebanyak 34 titik yang tersebar di 14 konsesi hutan tanaman industri dengan PT Ramang Agro Lestari memiliki titik hotspot sebanyak 8 hotspot dan terindikasi kejadian karhutla berulang pada tahun 2019 dan 2023.
Janang Firman P–Manager Advokasi, Kajian dan Kampanye WALHI Kalteng mengatakan “analisis kami menunjukkan bahwa kerentanan Karhutla di Kalimantan Tengah cukup tinggi, terutama di area konsesi perkebunan dan Hutan Tanaman Industri. Pemerintah perlu segera menetapkan kebijakan mitigasi dan pemetaan area rawan untuk skema antisipasi dan penanganan intensif. Negara tidak boleh lalai, mengingat Karhutla kerap terjadi tiap tahun, seperti pada 2015, 2019, dan 2023. Potensi kebakaran tahun ini juga besar. Penegakan hukum pun harus adil, tanpa tebang pilih—rakyat kecil jangan terus menjadi korban, sementara korporasi luput dari sanksi tegas.”
Jambi
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali menjadi ancaman serius di Provinsi Jambi. Berdasarkan hasil pemantauan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi melalui sistem Fire Information for Resource Management System (FIRMS) milik NASA menggunakan sensor VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) pada satelit Suomi NPP (N21) tercatat sebanyak 578 titik panas (hotspot) selama periode Juli 2025. Dari jumlah tersebut, 114 titik panas berada dalam kawasan konsesi 33 perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan 66 titik lainnya tersebar di konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) 8 perusahaan. Fakta ini kembali menegaskan bahwa karhutla bukan semata terjadi karena aktivitas masyarakat, tetapi dominan berlangsung di area yang dikelola oleh korporasi besar pemegang izin konsesi.
WALHI Jambi menemukan bahwa HGU perusahaan sawit yang memiliki titik panas tertinggi antara lain: Ex. PT Bahari Gembira Ria: 21 titik, PT Ari Kirana Lestari: 11 titik, PT Muaro Kahuripan Indonesia: 17 titik dengan Fire Radiative Power (FRP) tertinggi sebesar 40,13 dan tingkat kepercayaan tinggi, yang mengindikasikan kuat adanya kebakaran aktif. Hal ini terkonfirmasi oleh masyarakat jaringan WALHI Jambi di lapangan bahwa terjadi kebakaran di wilayah tersebut dengan perkiraan luasan 270 Ha. PT Dharma Tanjung Sawita: 8 titik, PT Tujuh Kaki Dian: 7 titik. Selain itu, puluhan perusahaan lainnya tercatat memiliki titik panas meskipun dalam jumlah lebih kecil. Ini mengindikasikan bahwa karhutla terjadi secara sistemik dan berulang di berbagai korporasi.
Sementara dalam sektor kehutanan (PBPH), pemantauan WALHI Jambi menemukan: PT Wira Karya Sakti (WKS): 33 titik panas, mayoritas terjadi berulang di lokasi yang sama, dan nilai FRP sebesar 14,29 di Kabupaten Batanghari, PT Limbah Kayu Utama: 12 titik panas, dengan FRP 23,39, juga pada level kepercayaan tinggi, Perusahaan lain seperti PT Alam Bukit Tiga Puluh, PT Hijau Artha Nusa, PT Malaka Agro Perkasa, dan lainnya turut teridentifikasi sebagai lokasi hotspot. Sebaran titik-titik panas ini menunjukkan kelalaian atau bahkan indikasi kesengajaan dalam pengelolaan lahan yang berujung pada kebakaran.
Direktur Eksekutif WALHI Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa temuan ini mencerminkan kegagalan struktural negara dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap korporasi yang terus mengulangi pelanggaran lingkungan. “Setiap tahun kita mendapati pola yang sama: kebakaran terjadi di wilayah yang itu-itu saja, milik korporasi yang sama, dan hingga kini tidak ada penindakan serius. korporasi melanggar, dan rakyat yang harus menanggung sesaknya asap dan rusaknya lingkungan. Kami menegaskan bahwa karhutla adalah kejahatan ekologis yang tidak boleh dimaklumi”.
Temuan ini menunjukkan kegagalan sistematis dalam pengawasan dan penegakan hukum atas aktivitas korporasi di sektor perkebunan dan kehutanan. Pemerintah Provinsi Jambi dan aparat penegak hukum tidak bisa terus abai melihat berulangnya karhutla di area konsesi yang sama, apalagi dengan tingkat kepercayaan data yang tinggi dari sistem pemantauan. Kami mendesak agar korporasi yang wilayah konsesinya terindikasi terbakar segera diperiksa dan ditindak tegas, termasuk pencabutan izin jika terbukti lalai atau sengaja membakar. Ini bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga soal hak hidup rakyat yang terancam oleh asap dan kehancuran ekologis,” tegas Oscar Anugrah.
----------------------------selesai---------------------