Penulis:
Fanny Tri Jambore, Wahyu Eka Styawan, Hendrikus Adam, Umbu Wulang T.P
Keengganan Indonesia untuk lepas dari ketergantungan bahan bakar fosil membuat transisi energi negara ini bergerak ke arah yang semu. Hingga 2023, bauran energi nasional masih didominasi oleh penggunaan energi fosil dengan persentase mencapai 86%. Ketergantungan itu kerap kali dimaklumi dengan alasan ketersediaan 99,2 miliar ton sumber daya batu bara, tingginya biaya dekarbonisasi, minimnya investasi, hingga rendahnya biaya listrik yang bersumber dari batu bara.
Secara historis, lonjakan produksi batu bara di Indonesia dipercaya sebagai respon terhadap krisis keuangan Asia pada tahun 1997. Selain itu, pada tahun 2003, Indonesia mulai beralih dari negara pengekspor minyak menjadi negara importir minyak. Hal ini disebabkan oleh turunnya pangsa pasar minyak dan gas domestik dari 10% pada tahun 2000 menjadi sekitar 2,5% pada tahun 2021. Krisis finansial juga menyebabkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak mampu mempertahankan arus kas, membayar utang, atau mengamankan pendanaan untuk investasi yang direncanakan.
Eksploitasi batu bara di Indonesia pada gilirannya berdampak terhadap kerusakan ekologis. Berdasarkan catatan WALHI, luas tambang batu bara di Indonesia mencapai 5,9 juta hektare, dengan 2 juta hektare di antaranya berada di tutupan hutan. Dampak penggunaan lahan tersebut telah melepas emisi sebesar 349 juta ton CO2e. Sementara itu, menurut catatan Agen Energi Internasional (IEA), pada tahun 2021, total emisi sektor energi Indonesia menghasilkan 600 juta ton CO2e, dan menjadikan negara ini sebagai penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia.
Bukannya berhenti dan beralih pada energi terbarukan, pemerintah bersikeras menolak untuk sadar. Sebab, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, pemerintah masih mengizinkan pembangunan 13,8 GW PLTU baru. Ditambah, aturan mengenai rencana percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, serta larangan pengembangan PLTU baru dalam Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2022, yang masih mencantumkan sejumlah pengecualian.
Indonesia menpunyai potensi energi terbarukan yang terbilang besar. Potensi tersebut, pada tahun 2022, setidaknya teridentifikasi sebesar 3.687 GW. Di antaranya, bersumber dari laut (63 GW), panas bumi (23 GW), bioenergi (57 GW), bayu (155 GW), hidro (95 GW), dan yang terbesar adalah surya (3.294 GW). Dari jumlah tersebut, hanya 12,6 GW yang dimanfaatkan, atau sekitar 0,30% dari total potensi yang teridentifikasi.
Dalam praktiknya, tidak hanya abai dalam mengembangkan energi terbarukan, tetapi kehadiran negara justru memporak-porandakan pemanfaatan energi terbarukan yang telah dibangun oleh komunitas masyarakat. Sebuah studi yang dilakukan Energy Sector Management Assistance Program (ESMAP) menyatakan, bahwa sejak 1990 lebih dari 1.300 jaringan listrik berskala kecil (mini grid) yang didanai oleh pemerintah telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Akan tetapi, hingga 2017, pemerintah mendapati 150 desa meninggalkan jaringan listrik skala kecil karena kehadiran PLN, dan hanya tersisa 6 persen dari jaringan listrik skala kecil yang beroperasi setelah jaringan listrik utama (PLN) hadir.
Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Disccusion/FGD) yang diselenggarakan WALHI juga mendokumentasikan masalah pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas. Di sejumlah daerah, seperti Seloliman (Mojokerto, Jawa Timur), Dusun Silit (Sintang, Kalimantan Barat), dan Kamanggih (Sumba, Nusa Tenggara Timur), masyarakat setempat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dengan kapasitas 25-45 KW yang dapat menyediakan penerangan bagi 4 desa. Meski begitu, komunitas masyarakat juga merasakan ancaman dari keberlanjutan PLTMH. Salah satunya, akibat kehadiran PLN. Bahkan, hanya dengan pemasangan tiang yang belum dialiri listrik saja, warga sudah membayangkan akhir dari keberlanjutan energi berbasis komunitas tersebut. Dari 3 lokasi yang disebut, hanya masyarakat di Kamanggih yang bersedia untuk menjual listriknya kepada PLN. Sisanya, khawatir jika teknologi yang mereka bangun nantinya menjadi barang rongsokan.
Penulisan buku ini menggunakan metode naratif sebagaimana dijelaskan oleh Christine Bold (2012) dalam karyanya Reporting Narrative Research. Pendekatan ini menekankan pada penggunaan teknik bercerita untuk menyajikan informasi secara kronologis, dengan menampilkan pengalaman masyarakat sebagai inti dari laporan. Dengan demikian, laporan ini tidak hanya menyampaikan fakta dan data, tetapi juga menggambarkan bagaimana masyarakat mengalami, memahami, dan merespon praktik energi terbarukan berbasis komunitas. Pada dasarnya proses penulisan ini mencoba menarasikan ulang apa yang telah diceritakan oleh narasumber melalui pengalamannya atau kesehariannya. Kemudian cerita-cerita dari narasumber tersebut dirangkai dan terhubung satu sama lainnya untuk menunjukkan sebuah fenomena dalam hal ini adalah cerita tentang upaya membangun dan mengaplikasikan praktik baik Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam skala lokal.
Selama proses penulisan, terdapat tiga lokasi yang menjadi fokus riset yakni pertama PLTMH Kalimaron yang terletak di Dukuh Janjing, Desa Seloliman, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Lokasi yang kedua, PLTMH Kampung Silit yang terletak di Dusun Silit di Desa Nanga Pari, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Terakhir, lokasi ketiga yakni PLTMH Kamanggih yang terletak di Desa Kamanggih dan Desa Kambata Bundung terletak di Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Selama proses penulisan, para penulis melakukan wawancara mendalam kepada komunitas dengan mengunjungi secara langsung. Terlibat dalam pertemuan kampung, kemudian melakukan secara langsung observasi lapangan untuk mengetahui praktik serta kerja PLTMH. Kemudian dari hasil temuan dirangkai menjadi catatan yang kemudian dianalisis menjadi sebuat narasi tentang praktik energi terbarukan berbasis komunitas.
Selengkapnya, silahkan unduh dokumen berikut:
Energi Rakyat: Belajar Pengelolaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas di Indonesia
----- ----- -----
People Power:
Learning From Community-Based Renewable Energy In Indonesia
Author:
Fanny Tri Jambore, Wahyu Eka Styawan, Hendrikus Adam, Umbu Wulang T. P
Reluctance to break free from fossil fuel addiction has caused Indonesia's energy transition to move in a superficial direction. As of 2023, the national energy mix is still dominated by fossil energy, accounting for 86%. This dependence is often justified by the availability of 99.2 billion tons of coal resources, the high cost of decarbonization, minimal investment, and the low cost of coal-based electricity.
Historically, the surge in coal production is believed to be a response to the Asian financial crisis in 1997. Additionally, in 2003, Indonesia transitioned from being an oil exporter to an importer. The market share of oil and gas dropped from 10% in 2000 to around 2.5% in 2021. The financial crisis also left PLN unable to maintain cash flow, pay debts, or secure funding for planned investments.
The exploitation of coal in Indonesia, in turn, causes ecological damage. According to WALHI, the area of coal mines in Indonesia reaches 5.9 million hectares, including 2 million hectares in forest cover. The impact of this land use ultimately releases emissions of 349 million tons of CO2e. Meanwhile, according to the International Energy Agency (IEA), in 2021, total emissions from the energy sector reached 600 million tons of CO2e, making Indonesia the ninth-largest emitter in the world.
Instead of repenting and transitioning to renewable energy, the government stubbornly refuses to ‘sober up.’ In the 2021-2030 Electricity Supply Business Plan (RUPTL), the government still permits the construction of 13.8 GW of new coal-fired power plants . Additionally, regulations related to the accelerated termination of coal-fired power plants and the prohibition of new coal-fired power plant development, in Presidential Regulation No. 112 of 2022, still contain several exceptions.
Indonesia has significant renewable energy potential. In 2022, at least 3,687 GW of renewable energy potential was identified, sourced from the sea (63 GW), geothermal (23 GW), bioenergy (57 GW), wind (155 GW), hydro (95 GW), and the largest, solar (3,294 GW). However, only 12.6 GW, or about 0.30% of the total identified potential, has been utilized.
In practice, not only is there a lack of effort to develop renewable energy, but the presence of the state has also disrupted the utilization of renewable energy built by community groups. A study conducted by the Energy Sector Management Assistance Program (ESMAP) noted that since 1990, more than 1,300 small-scale electricity networks (mini grids) funded by the government have been utilized by communities. By 2017, they found that 150 villages had abandoned small-scale electricity networks due to the presence of PLN, and only 6 percent of small-scale electricity networks remained operational after the main electricity grid (PLN) arrived.
A focus group discussion (FGD) organized by WALHI also documented issues in the development of community-based renewable energy. In several areas, such as Seloliman (Mojokerto, East Java), Dusun Silit (Sintang, West Kalimantan), and Kamanggih (Sumba, East Nusa Tenggara), local communities built micro-hydro power plants (PLTMH) with capacities of 25-45 kW that could provide lighting for four villages. However, these community groups also felt the threat to the sustainability of PLTMH, one of which was due to the presence of PLN. Even with the installation of poles that had not yet been electrified, residents already imagined the end of community-based energy sustainability. Of the three locations mentioned, only the community in Kamanggih was willing to sell their electricity to PLN. The rest were concerned that the technology they had built would become obsolete.
This writing is not just a series of stories about how electricity can be brought to remote corners of the nation. It is a story of hope, of ordinary people who dare to step forward amid inequality, and of how communities can become the engine of change when the state has not yet fully arrived. Behind every wire and micro-hydro turbine, there is collaboration, there are tears, and there is an unyielding spirit.
We learn from Seloliman Village, Kamanggih, and Silit Hamlet—that energy is not just a technical matter. It’s not just about how much power can be generated. More than that, energy is about a more dignified life—about children who can study at night, women who can weave and sell their crafts, about cleaner air, and rivers that remain clear and flowing.
Click for download full document:
People Power: Learning From Community-Based Renewable Energy In Indonesia