Surat Protes WALHI kepada JBIC: Hentikan Pendanaan Proyek GAIA di Aceh yang Mendorong Penggunaan Solusi Palsu, Memperkuat Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil, dan Melanggengkan Ketidakadilan bagi Masyarakat

19 Desember 2025

Kepada
Bapak Nobumitsu Hayashi, Gubernur, Japan Bank for International Cooperation (JBIC)

 

Surat Protes WALHI kepada JBIC: Hentikan Pendanaan Proyek GAIA di Aceh yang Mendorong Penggunaan Solusi Palsu, Memperkuat Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil, dan Melanggengkan Ketidakadilan bagi Masyarakat

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menyampaikan protes resmi atas pertimbangan pendanaan JBIC terhadap Proyek Green Ammonia Initiative from Aceh (GAIA) yang dilaksanakan oleh PT Pupuk Indonesia melalui anak perusahaannya, PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), bekerja sama dengan ITOCHU Corporation dan Toyo Engineering. Kami menilai bahwa keputusan JBIC untuk mengkategorikan proyek ini sebagai Kategori C, di bawah pedoman lingkungan resminya, JBIC Guidelines for Confirmation of Environmental and Social Considerations (Pedoman JBIC) yang dianggap tidak memiliki dampak lingkungan dan sosial signifikan, tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan dan berpotensi menimbulkan konsekuensi serius bagi masyarakat serta lingkungan di sekitar lokasi proyek.

Kami juga mencatat bahwa dalam pertemuan dengan WALHI pada 11 September 2025, JBIC menyatakan bahwa pertimbangan pembiayaan mereka hanya mencakup aspek produksi hidrogen melalui pemasangan elektroliser, dan tidak sampai pada produksi amonia. Namun, hidrogen yang dihasilkan melalui pembiayaan JBIC tetap akan digunakan dalam proses produksi amonia di PT PIM. Hal ini menimbulkan celah akuntabilitas yang serius, karena meskipun JBIC berusaha membatasi tanggung jawabnya secara administratif, dampak sosial dan lingkungan dari penggunaan hidrogen tersebut tetap melekat pada keseluruhan rantai produksi amonia. Dengan kata lain, JBIC tetap berkontribusi pada proyek yang berisiko memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan menimbulkan ancaman bagi keselamatan komunitas lokal.

Rekam jejak PT PIM menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2010 hingga 2025 telah terjadi sembilan (9) kali insiden kebocoran amonia yang mengakibatkan sekitar 2.000 warga terdampak dengan gejala kesehatan yang serius, mulai dari sesak napas, mual, muntah, hingga pingsan, bahkan sebagian harus dirawat intensif di rumah sakit. Fakta ini membuktikan bahwa risiko terhadap keselamatan komunitas sangat nyata dan tidak bisa diabaikan. Dalam Laporan Assessment Dampak Produksi PT PIM di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe yang disusun oleh WALHI Aceh ditemukan bahwa sistem peringatan dini yang ada di PT PIM tidak berfungsi efektif, sirene yang digunakan membingungkan karena bercampur dengan rutinitas pabrik, prosedur evakuasi tidak disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, dan penanganan darurat lebih banyak bergantung pada inisiatif warga sendiri. Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan ibu hamil menghadapi risiko kesehatan yang lebih berat tanpa perlindungan memadai.

Dampak ekonomi terhadap masyarakat pesisir juga sangat nyata. Nelayan kecil kehilangan akses pantai akibat alih fungsi kawasan menjadi zona industri, tradisi pukat darat punah, dan dugaan pencemaran laut dari limbah cair perusahaan menurunkan hasil tangkapan. Hilangnya rumpon ikan membuat biaya melaut meningkat, sementara kompensasi yang diberikan perusahaan tidak sebanding dengan kerugian yang dialami. Pertumbuhan ekonomi yang muncul dari keberadaan perusahaan tidak merata, karena tidak semua warga memperoleh kesempatan bekerja di pabrik atau mendapatkan manfaat langsung dari CSR. Ketergantungan masyarakat pada bantuan perusahaan pun meningkat, sementara di sisi lain terdapat potensi kerugian ekonomi akibat dampak lingkungan yang dirasakan kelompok lain, terutama para nelayan kecil.

Kondisi ini menunjukkan lemahnya manajemen risiko industri kimia di kawasan tersebut dan memperlihatkan bahwa klaim minim dampak yang menjadi dasar klasifikasi JBIC tidak memiliki landasan faktual. Mengingat Proyek GAIA tetap memanfaatkan fasilitas pabrik amonia yang telah ada, maka sesuai dengan Pedoman JBIC, diperlukan penerapan langkah-langkah untuk meminimalkan serta mengurangi potensi dampak yang ditimbulkan. Langkah-langkah tersebut mencakup penyediaan sistem peringatan dini, penyusunan rencana evakuasi, serta pengembangan mekanisme pengaduan yang efektif. Seluruh upaya tersebut semestinya dilaksanakan melalui proses konsultasi yang bermakna dengan masyarakat setempat yang terdampak, dengan perhatian khusus terhadap kelompok sosial yang rentan. Namun demikian, hingga saat ini langkah-langkah tersebut belum diimplementasikan dalam Proyek GAIA. Dengan demikian, Proyek GAIA telah gagal untuk mematuhi Pedoman JBIC.

Selain itu, klaim bahwa proyek GAIA akan menghasilkan hidrogen hijau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Listrik yang digunakan berasal dari jaringan PLN Aceh yang hingga kini masih 98 persen berbasis energi fosil, sehingga hidrogen yang diproduksi tidak benar-benar hijau. Sertifikat Renewable Energy Certificate (REC) yang dijadikan dasar klaim tidak menjamin pasokan energi terbarukan yang nyata, melainkan sekadar instrumen administratif yang menutupi kenyataan bahwa proyek ini memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil. Lebih jauh lagi, pabrik amonia yang telah ada tetap menggunakan grey hydrogen dari gas fosil dalam proses produksi amonia, sehingga produk yang dihasilkan hanyalah amonia hibrida yang masih bergantung pada energi fosil. Dalam konteks tersebut, meskipun Proyek GAIA mengklaim dirinya sebagai proyek “hijau” melalui perolehan sertifikasi internasional, perlu dipahami bahwa klaim “hijau” tersebut hanyalah sebatas kedok semata, sebagaimana fakta-fakta yang telah diuraikan di atas. Dengan kata lain, Proyek GAIA berisiko meremehkan besaran emisi gas rumah kaca, padahal seharusnya memperhitungkan emisi aktual serta dampaknya terhadap perubahan iklim, yang juga wajib dikonfirmasi oleh JBIC sesuai dengan Pedoman yang berlaku.

Lebih jauh lagi, Laporan Assessment Dampak Produksi PT PIM di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe yang disusun oleh WALHI Aceh juga menunjukkan bahwa proyek GAIA dilaksanakan tanpa transparansi dan partisipasi bermakna dari masyarakat yang tinggal di wilayah yang paling dekat dengan tapak pabrik PT PIM, seperti Desa Tambon Tunong, Tambon Baroh, Paloh Gadeng, Blang Neleung Mameh, dan Keude Krueng Geukueh di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Hingga kini, warga di kampung-kampung tersebut tidak pernah menerima penjelasan resmi mengenai rencana pembangunan GAIA, padahal mereka adalah komunitas yang paling rentan terdampak oleh risiko kebocoran amonia maupun dampak lingkungan lainnya. Pemerintah daerah Aceh Utara pun tidak mendapatkan informasi resmi, melainkan hanya mengetahui rencana pembangunan melalui pemberitaan media. Dalam wawancara WALHI Aceh dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Aceh Utara, perwakilan Bappeda Aceh Utara menyampaikan bahwa mereka sama sekali belum mendapatkan pengetahuan yang cukup terkait rencana pengembangan ammonia hijau di fasilitas milik PT PIM. Hal ini jelas melanggar prinsip partisipasi bermakna dan hak atas informasi yang seharusnya menjadi dasar dalam setiap proyek pembangunan yang berdampak langsung terhadap masyarakat, serta menunjukkan bahwa Project GAIA tidak berhasil menjamin terpenuhinya "Penerimaan Sosial" sebagaimana dipersyaratkan dalam Pedoman JBIC.

Dengan mempertimbangkan seluruh fakta tersebut, kami menegaskan bahwa keputusan JBIC untuk tetap mempertimbangkan pendanaan terhadap Proyek GAIA menunjukkan bahwa JBIC tidak memiliki komitmen terhadap keberlanjutan dan keadilan ekologis. Proyek ini bukanlah transisi energi sejati, melainkan bentuk greenwashing dan sebuah solusi palsu yang berisiko memperpanjang ketergantungan pada energi fosil, memperburuk ancaman terhadap keselamatan komunitas, serta mengabaikan hak-hak masyarakat atas partisipasi dan transparansi. Kami mendesak JBIC untuk menghentikan pertimbangan pendanaan terhadap proyek GAIA yang tidak berhasil mematuhi pedoman yang telah ditetapkan oleh JBIC sendiri. Hal ini terlihat dari tidak adanya partisipasi bermakna masyarakat terdampak dan organisasi masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan.

Kami mengharapkan perhatian dan tanggapan secepatnya dari JBIC.

Penandatangan:

  1. Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/Friends Of The Earth Indonesia.
  2. Eksekutif Daerah WALHI Aceh

Kontak:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI/Friends of the Earth Indonesia)
Alamat: Jl. Tegal Parang Utara No 14, Jakarta Selatan 12790. INDONESIA
Email: [email protected]

Lampiran:
Laporan Assessment Dampak Produksi PT PIM di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe, oleh WALHI Aceh, November 2025 (Bahasa Indonesia)

Anda bisa membaca surat ini dalam format PDF:

Bahasa Indonesia

English

Japanese