WALHI dan Akademisi Menilai ada Bluewashing dalam Regulasi Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut

Siaran Pers Bersama
Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN)
Eksekutif Nasional WALHI
Akademisi Kelautan dan Perikanan

Jakarta, 25 Oktober 2023 – Setelah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pada 15 Mei lalu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin, menyatakan bahwa penerbitan Permen KP Nomor 33 Tahun 2023 membuktikan Pemerintah Indonesia tidak mau mempedulikan aspirasi masyarakat pesisir di seluruh Indonesia, khususnya nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil, perempuan nelayan, serta pelaku perikanan rakyat yang telah sedang dan akan dirugikan oleh penambangan pasir laut, apalagi setelah terbitnya PP 26 Tahun 2023.

Lebih jauh, ia menilai bahwa penerbitan Permen KP Nomor 33 Tahun 2023 semakin mengokohkan peran dan posisi pemerintah Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan pengusaha besar di sektor tambang pasir laut. “Dengan terbitnya Permen KP Nomor 33 Tahun 2023, setelah terbitnya PP Nomor 26 Tahun 2023 menegaskan kepentingan Pemerintah untuk memberikan karpet merah bagi Perusahaan skala besar yang akan mengeksploitasi pasir laut di Indonesia dari Sabang sampai Merauke,” urainya.

Parid menjelaskan bahwa regulasi Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang memberikan karpet merah untuk aktivitas tambang pasir laut tidak lain merupakan bentuk bluewashing. Dengan kata lain, Pemerintah mengklaim bahwa melalui PP No. 26 Tahun 2023 dan Permen KP No. 33 Tahun 2023 akan melindungi pesisir dan laut serta menjaga kesehatan laut, tetapi sesunguhnya regulasi ini akan semakin menghancurkan ekosistem pesisir dan laut serta merugikan kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia.

Hal tersebut, kata Parid tergambar dalam Pasal 2 Permen KP No. 33 Tahun 2023 yang menyebut pengelolaan hasil sedimentasi di laut dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut; dan mengoptimalkan Hasil Sedimentasi di Laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.  

“Namun, jika dilanjutkan membaca pasal-pasal selanjutnya, terutama pasal 19 sampai dengan selanjutnya, akan terlihat tujuan asli dari regulasi ini, yaitu memberikan karpet merah untuk pengusaha skala besar. Kami mendesak Pemerintah untuk segera mencabut PP 26 Tahun 2023 dan Permen KP 33 Tahun 2023,” ungkapnya.

Respon Akademisi
Muhamad Karim, akademisi Universitas Trilogi Jakarta sekaligus penulis buku-buku kelautan dan perikanan, menyatakan terbitnya Permen KP Nomor 33 Tahun 2023 sejatinya hanya melegitimasi eksploitasi pasir laut di seluruh perairan Indonesia.  Pemerintah menerbitkan kebijakan ini tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat pesisir, pulau kecil dan nelayan tradisional yang pasti akan terdampak oleh kebijakan ini.

Ia juga menyebut Pemerintah tidak akan mampu memulihkan dampak ekologi dan sosial ekonomi akibat penambangan pasir laut. “Penambangan yang terjadi dua dekade silam saja hingga kini dampaknya belum pulih di Kepulauan Riau,” tegas Karim.

Secara ekonomi politik, keluarnya Permen KP No 33 Tahun 2023 kian mempertegas tindakan pemerintah melakukan perampasan ruang dan sumberdaya kelautan (ocean grabbing). Kebijakan semacam ini akan melegitimasi terjadinya tren komodifikasi dan pengambil-alihan sumber daya pesisir dan laut yang mendorong ketidakadilan pembangunan. Perampasan ruang laut ini terjadi di tengah kepungan berbagai krisis (ekologi, pangan, iklim, air) dan ketidakadilan sosial-ekonomi di pesisir dan pulau kecil.   

Jika hal ini dibiarkan, kemiskinan struktural akan semakin menjadi-jadi. Lalu krisis ekologi di wilayah pesisir dan pulau kecil akan semakin langgeng. “Saya mendesak pemerintah mencabut kedua aturan tersebut jika mau menyelamatkan masyarakat pesisir beserta sumber daya yang menjadi sumber kehidupannya,” kata Karim.

Respon Nelayan
Merespon terbitnya Permen KP No. 33 Tahun 2023, Amin Abdullah, Nelayan di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat menegaskan bahwa regulasi ini akan semakin memperburuk kehidupan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil, khususnya di NTB. Ia merujuk pada praktik penambangan pasir laut di perairan Lombok Timur untuk melayani kepentingan reklamasi di Teluk Benoa Bali beberapa tahun lalu.  

Kehancuran perairan Lombok Timur akibat tambang pasir laut, Menurut Amin, yang bertemu dengan krisis iklim, membuat kehidupan nelayan kini semakin sulit. Salah satu dampak pertambangan pasir laut dan krisis iklim di kawasannya adalah banyak nelayan tradisional di Lombok Timur harus melaut semakin jauh untuk menangkap ikan sampai ke perairan Sumba. “Situasi di lapangan semakin buruk. Nelayan harus menghadapi krisis iklim pada satu sisi. Di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan dampak pertambangan pasir laut yang dulu pernah dialokasikan untuk reklamasi Teluk Benoa,” tegasnya.

Dalam catatan Amin yang merupakan Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), Permen KP No. 33 Tahun 2023 dan juga PP 26 Tahun 2023 adalah kebijakan yang kontraproduktif dengan upaya-upaya pemulihan dan perlindungan kawasan pesisir dan laut serta pulau-pulau kecil yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat pesisir di tingkat tapak.

“Bagi kami, jika pemerintah mau melindungi pesisir dan laut, kebijakan yang harus didorong bukan penambangan pasir laut, tetapi kebijakan yang memulihkan tiga ekosistem penting, yaitu ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, yang menempatkan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, sebagai pilar utama,” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi,
email: [email protected]