Stop pembiayaan PLTU Cirebon 2

Pembangunan pltu Cirebon 2 memasuki tahap yang penting karena saat ini pihak pemberi pinjaman sedang menimbang-nimbang memberikan pinjaman atau tidak. Sementara problem dimasyarakat terus berjalan. Kami melakukan protes untuk mencegah para pemberi pinjaman memberikan pinjaman yang akan membuat permasalahan yang ditimbulkan oleh pltu semakin panjang dan komplek, Pembangunan ekspansi pltu Cirebon 2 saat ini sedang memasuki tahap financial closing, dilapangan hampir setiap hari terjadi demonstrasi. Demonstrasi ini dengan berbagai macam tuntutan. Ini menujukan ekspansi pltu menimbulkan masalah dibawah. Pembangunan tahap satu pun masih banyak menyisakan masalah, diantara demonstrasi yang terjadi setiap hari adalah menuntut penuntasan persoalan yang terjadi akibat pembangunan pltu 1 Salah satu masalah yang terjadi yaitu hilangnya mata pencaharian masyarakat akibat pembangunan pltu 1.

Sarjum nelayan di desa kanci kulon sebelum pltu dibangun hampir setiap hari sepanjang tahun memperoleh ikan 1-30 kg/hari (1 kg untuk konsumsi keluarga, sisanya untuk dijual. Setelah pltu hanya kadang-kadang saja bisa memperleh ikan ketika menjaring ikan, lebih sering tidak mendapat apa-apa ketika mencari ikan. Sekarang sarjum bekerja sebagai pekerja konstruksi serabutan. “pembangunan pltu satu telah menurunkan pendapatan kami” ucap sarjum Warpah nelayan lain dengan jaring sebelum pltu melaut 4 hari seminggu sepanjang tahun. Biasanya dia memperoleh ikan kecil sebanyak 5-30 kg per hari dan ikan besar sebanyak 15-60 kg per hari (1 kg untuk konsumsi keluarga, sisanya untuk dijual). Apabila menyudu Udang kecil dengan Sudu (alat) yang dilakukan 2-3 hari seminggu sepanjang tahun akan memperoleh 25-40 kg udah perhari (1 kg untuk konsumsi keluarga, sisanya untuk dijual). Aktifitas lain di pantai biasa mengambil kerang yang bisa dilakukan setiap hari sepanjang tahun biasanya memperoleh 40-100 kilogram kerang per hari (2 kg untuk konsumsi keluarga/kerabat, sisanya untuk dijual).

Sesudah pltu menjadi petani di sawah (2013-) dengan cara  menyewa (menyewa Rp 500,000 per tahun) untuk luas 1,250 m2 dengan hasil paneh 700-1,000 kg/ waktu panen. Diluar musim tanam dia menjadi pekerja konstruksi sewaktu-waktu. “sekarang hidup menjadi lebih sulit, kami tidak mendapatkan apa2 dari pembangunan pltu hanya akibat buruknya saja yang didapat” ucap warpah . Persoalan tersebut tidak menghentikan upaya dari pihak perusahaan untuk memperoleh pendanaan untuk ekspansi pltu Cirebon 2. Jepang sebagai salah satu pemberi dana terbesar untuk pltu batubara di Indonesia tidak terlihat berupaya melakukan upaya menghentikan pembiayaan batubara. Lewat lembaga JBIC dan JICA jepang meneruskan pembiayaan pltu batubara dibawah program 35GW. Dwi Sawung pengkampanye walhi mengatakan “sektor perbankan jepang masih melakukan pembiayaan terhadap energy kotor, mereka tidak peduli akan akibat dari pembangunan pltu batubara terhadap perubahan iklim global dan malah makin mendorong ekspansi pltu batubara” Dalam COP 22 pemerintah memasukan indc Indonesia tetapi WALHI  melihat dalam RPJMN juga terlihat jelas bahwa pemerintah memasang target produksi batubara sebesar 400 juta ton per tahun hingga tahun 2019 dan kemungkinan untuk mendukung pencapaian ketersediaan listrik 35.000 megawatt di Indonesia. Logika ini tentu tidak sejalan dengan penurunan emisi di sektor energi, karena meski target produksi batubara bukan sepenuhnya untuk ekspor tetapi tentu akan meningkatkan penggunaan batubara di dalam negeri yang artinya bahwa emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara akan terus meningkat hingga tahun 2050.

Walhi melihat NDC yang dimasukkan pemerintah tidak sejalan dengan kenyataan pembangunan yang terjadi dilapangan. Angka didalam ndc hanya diatas kertas saja sementara pada prakteknya emisi karbon yang dihasilkan terus meningkat. Penggunaan teknologi yang diklaim clean coal juga tidak akan menyebabkan emisi karbon berkurang. PLTU Cirebon 2 berada di kecamatan Astanajapura dan Pangenan kapasitas yang akan dibangun sebesar 1000mw, hamper dua kali lipat dari pltu Cirebon 1 yang berkapasitas 660MW. PLTU Cirebon dimiliki oleh indika energy yang juga memiliki beberapa tambang batubara di Kalimantan timur.  PLTU Cirebon 2 menggunakan lahan kementrian lingkungan hidup dan kehutanan dengan cara menyewa lahan selama 40 tahun, lahan tersebut diperoleh oleh KLHK dari masyarakat dengan cara pemaksaan dan kekerasan ditahun 1986. Lahan tersebut selama ini digunakan untuk pertanian sawah dan ladang garam. Nara hubung: d sawung pengkampanye urban dan energy walhi (08156104606)

________________________________________________________________________________

Stop Financing Cirebon 2 Coal Fired Power Plant Construction of Cirebon coal fired power plant 2 on the crucial stage, now the lender is thinking they will be lend on not. In the other hand in the society there are still had a lot of problem. We protesting to prevent the lender give the money that made the problem became more complexs and longer. Despite of community resistance, the expansion of the Cirebon 2 coal fired power plant nears financial close. Members of the local community have staged daily rallies, which indicates that there are unresolved social issues on the ground that should not be ignored by investors of this problematic project. Even the first Cirebon plant has left trails of destruction and destitution that have remain unresolved until today. Maybe insert more info regarding the objection letter? One of the main problems caused by the presence of the Cirebon coal fired power plant (as stated in the objection letter)  is the loss of livelihood.

Sarjum, a fisherman in the village of Kanci Kulon used to reach up to 30kg of catch every day throughout the year. His haul rapidly was rapidly diminished as soon as the first power plant was up and operating. Sarjum is now forced to take up casual work as a construction worker. “ Coal fired power plant had decreased our income” said sarjum Another fisherman, Warpah, suffers from a similar fate. As a fisherman he would catch a haul of small fish in his net in the scale of 5-30 kg a day and a haul of big fish in the scale of 15-60 a day. Using a shrimp harvester, he would harvest 25-40kg a day on every other day of the week. Other sources of his livelihood include daily harvesting mussels on the beach, for which he would get 40-100kg a day. Yet, after the power plant was built in 2013, he was forced to abandon his livelihood on the coast and switch to rice farming by renting a small plot for IDR 500,000 a year with a yearly harvest that was merely valued 700-1,000 per kg. Outside of planting season, he would seek casual work in construction. “Our life more hard now, we didn’t get anything good from the coal fired power plant we only got the bad impact of coal fired power plant” warpah said.

These lasting damages to local livelihoods have not been recognized by the project company, PT CEPR. Furthermore, the project company continues to seek financing to expand the project into Cirebon 2 coal fired power plant. Japan continues finance coal in Indonesia through JBIC and JICA. Both agencies continues to support coal based energy in the Indonesian plan to expand its power generating capacity under the 35,000 MW plan. Dwi sawung walhi campaigner say ” Japan banking sector still funded dirty energy, they are did’t care about the effect of coal fired power plant to climate change. Japanese bank promoted expanded of coal fired power plant” The Indonesian government has pledged greenhouse gas emission cuts as part of its commitment to the Paris Agreement and intends to submit its Intended Nationally Determined Contribution (INDC) at the COP 22 in Marrakech, Morocco.

However, WALHI has identified that Indonesia’s development plan (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional – RPJMN) has set a coal production target of 400 million per year until 2019, presumably to supply coal to the new coal fired power plants currently being built under the 35,000 MW plan. Therefore, this target contradicts the INDC, which has prescribed signiicant emission cuts in all sectors of the economy, including the energy sector. Indonesia economic trajectory only means that emissions from burning coal will continue to increase rapidly all the way to 2050. Walhi energy and urban campaigner Dwi Sawung (62 8156104606) [email protected]