PLTSa Putri Cempo Surakarta: Proyek yang Dipaksakan

Riset Persepsi Publik pembangunan PLTSa Putri Cempo

PLTSa Putri Cempo Surakarta: Proyek yang Dipaksakan

Selasa 22 Maret 2022, WALHI Jawa tengah bersama dengan Yayasan Gita Pertiwi, Lembaga Masyarakat Indonesia Hijau (LMIH), MALIMPA UMS, Specta UIN Surakarta, Mahacita Institut Islam Mamba'ul 'Ulum Surakarta, dan MITAPASA IAIN Salatiga melakukan audiensi di kantor DPRD Kota Surakarta terkait pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Putri Cempo. Audiensi dihadiri oleh pimpinan dan anggota Komisi III (Bidang Pembangunan) DPRD Kota Surakarta. Agenda audiensi adalah pemaparan hasil riset persepsi publik terhadap pembangunan PLTSa Putri Cempo dan penyampaian aspirasi kritis dari berbagai aspek pada proyek pembangunan PLTSa Putri Cempo. Riset persepsi publik dilakukan oleh WALHI Jawa Tengah bersama dengan organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dari berbagai kampus di Kota Surakarta dan sekitarnya.

Solusi pengelolaan sampah, lihat: TerminalSampah

Berdasarkan hasil riset tersebut, WALHI Jawa Tengah memberikan lima rekomendasi kepada pemerintah kota Surakarta dan DPRD Kota Surakarta untuk: 1) Mengimplementasikan konsep zero waste di Kota Surakarta sebagai upaya pengurangan dan penanganan sampah dari sumber agar tidak bergantung pada solusi tunggal penanganan sampah di hilir; 2) Memberikan informasi yang transparan terkait proyek PLTSa Putri Cempo seperti dampak lingkungan, ekonomi dan kesehatan yang ditimbulkan kepada masyarakat serta aspek finansial; 3) Melibatkan partisipasi masyarakat terdampak dan organisasi masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan pada setiap tahap proyek PLTSa Putri Cempo; 4) Memastikan keberlanjutan mata pencaharian pemulung pasca PLTSa Putri Cempo beroperasi; dan 5) Memastikan operasi PLTSa Putri Cempo tidak melepaskan emisi di atas ambang baku mutu dan mematuhi kaidah pengelolaan limbah, terutama B3 secara ketat.

WALHI Jawa Tengah dan Yayasan Gita Pertiwi yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyatakan sikap tetap menolak proyek PLTSa Putri Cempo. Proyek ini baik dari segi pembiayaan maupun teknis, berlawanan dengan prinsip pengelolaan sampah sebagai sumber daya material secara berkelanjutan.

Saat ini Kota Surakarta sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Sampah dan sedang dilakukan revisi untuk menambahkan aturan mengenai pelarangan penggunaan plastik sekali pakai. Keberadaan PLTSa Putri Cempo tentu bertentangan dengan semangat pengurangan sampah tersebut. PLTSa memerlukan jumlah sampah yang besar untuk diolah dan dikonversikan menjadi listrik, sementara Perda tersebut mendorong upaya signifikan dalam pengurangan sampah.

PLTSa Putri Cempo direncanakan menggunakan metode gasifikasi yang termasuk dalam teknologi termal. Terdapat potensi pelepasan emosi dioksin dan furan yang bersifat karsinogenik serta menghasilkan limbah padat berupa fly ash dan bottom ash (FABA). Residu hasil pembakaran ini termasuk limbah B3 yang membutuhkan penanganan khusus lebih lanjut agar tidak mencemari lingkungan. Sementara menurut Komisi III DPRD Kota Surakarta, abu terbang dan abu kerak (FABA) sisa pembakaran sampah akan diolah secara langsung menjadi bahan paving tanpa mempertimbangkan aspek kekhususan penanganan limbah B3.

Selain penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan, proses penyusunan dokumen lingkungan proyek tersebut belum selesai dan masih dalam tahap revisi, meskipun PLTSa Putri Cempo ditargetkan akan selesai pada April 2022. Seharusnya dokumen kajian lingkungan harus diselesaikan terlebih dahulu agar dapat menjadi bahan bacaan potensi. Ketiadaan dokumen lingkungan memperlihatkan pemerintah kota Surakarta abai terhadap potensi dampak yang ditimbulkan dari proyek berskala besar.

Dalam audiensi tersebut, Ketua Komisi III DPRD Kota Surakarta mengatakan bahwa kerja sama antara Pemkot Surakarta dengan PT Solo Citra Metro Plasma Power (SCMPP) sebagai pengelola PLTSa Putri Cempo tidak memerlukan persetujuan dari DPRD. Skema pembiayaan di PLTSa Putri Cempo diklaim tidak akan menggunakan tipping fee yang bersumber dari APBD. Hal ini diakui oleh Komisi III DPRD Surakarta mengakibatkan berkurangnya fungsi pengawasan DPRD terhadap pembangunan proyek PLTSa.

Skema pembiayaan PLTSa Putri Cempo adalah Project Finance oleh China Construction Bank (CCB). CCB telah menggelontorkan anggaran pada tahap pertama sebesar USD 16 juta atau sekitar 70 persen dari total kebutuhan USD 23 juta. Sementara untuk total anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan PLTSa Putri Cempo hingga tahap kedua sebesar USD 50 juta atau sekitar IDR 718 Miliar.

Kota Surakarta mengklaim menjadi satu-satunya kota yang tidak menggunakan tipping fee dalam pengelolaan PLTSa. Menurut WALHI, klaim tanpa tipping fee tersebut sangat janggal. WALHI mempertanyakan sumber pengembalian biaya investasi (Return of Investment) dan keuntungan yang akan diperoleh PT. SCMPP apabila tanpa skema tipping fee. Jika tanpa tipping fee, pemasukan hanya akan didapatkan dari harga pembelian listrik sesuai Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) sebesar USD 13,35 sen atau IDR 1.800 per Kwh. Artinya dari total kapasitas pembangkit pada fase operasi awal sebesar 2 MW, akan ada pembelian listrik sebesar 30 milyar rupiah per tahun dengan syarat pembangkit beroperasi selama 24 jam dan setahun penuh (365 hari). Butuh waktu lebih dari 25 tahun operasi penuh setiap hari dalam setahun dengan angka hitungan kasar guna mengembalikan investasi dari pembangunan PLTSa dengan skema PJBL tanpa tipping fee. Hal tersebut pun belum mempertimbangkan aspek lain seperti inflasi dan bunga.

Dalam aspek pelibatan publik, pembangunan PLTSa Putri Cempo ini juga sangat rendah partisipasi sehingga masih banyak masyarakat yang kurang mengetahui dengan jelas bagaimana proyek ini akan berjalan. Potensi kehilangan mata pencaharian sebagai pemulung juga belum tersosialisasikan dengan baik sehingga menyebabkan simpang siur informasi diantara masyarakat sekitar TPA Putri Cempo.

Pada aspek kebijakan, dasar dari PLTSa Putri Cempo ini mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018. Perpres tersebut dianggap sebagai pengganti dari Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah. Perpres baru tersebut memiliki substansi atau muatan material yang sama dari Perpres 18/2016 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Perpres tersebut digugat oleh Koalisi Tolak Bakar Sampah Nasional yang terdiri dari enam organisasi yaitu WALHI, Bali Fokus (sekarang Nexus3 Foundation), Gita Pertiwi, YPBB, KRUHA dan ICEL serta 15 individu yang mewakili masyarakat dari 7 tujuh kota.

Melihat hasil pertemuan yang masih sangat minim keterbukaan informasi terkait proyek PLTSa dari aspek kesehatan, lingkungan, finansial hingga sosial, maka WALHI Jawa Tengah bersama LMIH, Gita Pertiwi dan organisasi lingkungan mendesak dilaksanakannya pertemuan lanjutan dengan stakeholder lain seperti Pemkot Surakarta, DPRD Surakarta dan PT SCMPP.

Narahubung:
Fahmi Bastian: 0857 3737 1848 (Direktur WALHI Jawa Tengah)
Nur Colis: 0831 1735 9378 (WALHI Jawa Tengah)