Perluas Konsolidasi, Pulihkan Demokrasi untuk Keadilan Ekologis; Siaran Pers 40 Tahun WALHI

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Perluas Konsolidasi, Pulihkan Demokrasi untuk Keadilan Ekologis

Jakarta, 10 Oktober 2020 – Pada 15 Oktober 2020, WALHI genap berusia empat puluh tahun. Sayangnya, jelang hari lahir ke-40 ini, WALHI dan seluruh komponen masyarakat sipil diberi sebuah hadiah yang bernama pengkhianatan, pengesahan RUU Cipta Kerja. Produk hukum yang lahir atas inisiatif Presiden Joko Widodo. Pengesahan RUU yang lebih dikenal sebagai omnibus law ini semakin mendorong rakyat dalam jurang krisis kemanusiaan yang jauh lebih dalam. Pernyataan Jokowi yang menyebut Indonesia dalam krisis -“negara ini berada pada titik kritis bahaya kemanusiaan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup” – pada Pemilu 2014, yang diikuti dengan janji memulihkannya terbukti hanya sekedar bual. Janji yang diutarakan sekedar untuk mendulang suara dan memenangkan kontestasi Pemilu.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyebut memasuki usia ke-40 tahun, WALHI mendapat pekerjaan rumah yang luar biasa sulit, pengkhianatan sistematis penguasa. Pengesahan RUU Cipta Kerja membuktikan sikap Istana dan Parlemen untuk berpihak pada pengusaha dan berlawan pada rakyat. Demokrasi kerakyatan ala Indonesia dirampas dan diganti dengan sistem demokrasi kapitalistik.

Alarm pandemi Covid-19 yang seharusnya melahirkan kesadaran baru tentang mara bahaya akibat keserakahan eksploitasi lingkungan hidup, seperti penyakit zoonosis diabaikan penguasa. Atas nama investasi, para Penguasa menutup hati berkonspirasi melahirkan produk hukum yang melanggengkan laju kerusakan lingkungan hidup.

Demokrasi yang sedang dibajak harus diselamatkan. Penumpang gelap dalam wadah negara yang sering disebut oligarki, atau yang Zizek sebut sebagai makro parasit harus dibersihkan. Bagi WALHI cara pertama untuk pulihkan Indonesia hanya dapat dilakukan dengan cara memperluas konsolidasi rakyat.

“Saat ini, penjatuhan mosi tidak percaya harus diperluas, rakyat harus disadarkan dan dibuat terang bahwa istana dan parlemen-lah sumber masalah utama di negara ini. Bayangkan saja, negara ini lebih senang melindungi pengusaha tambang pasir, dibandingkan nelayan Kodingareng di Sulawesi Selatan. Negara lebih senang melindungi korporasi sawit dan kehutanan yang merampas tanah, hutan bahkan mengkriminalisasi masyarakat adat yang berjuang mempertahankan haknya,” sebut Nur Hidayati.

Merujuk kondisi saat ini, maka WALHI menjadikan peringatan usia keempat puluhnya sebagai sarana konsolidasi rakyat. Tujuannya memenangkan kembali demokrasi dan mewujudkan Indonesia yang adil dan lestari. Keadilan ekologis diyakini WALHI sebagai perekat konsolidasi ini, yang mana keadilan tidak sekedar didapat oleh manusia Indonesia, tapi termasuk seluruh komponen ekologis yang ada didalamnya.

“Ruang konsolidasi kali ini akan kami lakukan secara virtual, selama 40 jam dari tanggal 10 sampai dengan 15 Oktober 2020. Selama enam hari melalui kanal youtube dan media sosial, WALHI secara langsung membuka ruang diskusi dan menyajikan berbagai sajian informatif dan edukatif terkait sejarah gerakan lingkungan hidup dan kemanusian,” tutup Melva Harahap, Ketua Panitia Hari Jadi WALHI keempat puluh.

Narahubung:
Melva Harahap (081264430707)