Operasi PLTU Captive Merusak Ekologi dan Kehidupan Rakyat di Pulau Sulawesi

Siaran Pers
Aliansi Sulawesi Terbarukan
Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Tengah
Eksekutif Daerah
Walhi Sulawesi Selatan
Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Tenggara

Jakarta, 12 Juni 2023

 

Latar Belakang
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2020 total neraca sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 11.88 miliar ton dan cadangan nikel 90 persen tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara.

Peraturan Presiden RI Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar PSN, terdapat 208 proyek dan 10 Program PSN tahun 2020-2024, Kawasan Industri di Morowalli dan Morowali Utara Sulawesi Tengah, Bantaeng Sulawesi Selatan dan Konawe Sulawesi Tenggara.

Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin yang diberikan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Merupakan kewenangan Pemerintah, dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara untuk memberikan IUP. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa IUP diberikan oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

IUP diberikan kepada Badan usaha, yang dapat berupa Badan Usaha Swasta, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi dan Perseorangan yang dapat berupa orang perseorangan yang merupakan warga Negara Indonesia, perusahaan firma atau perusahaan komanditer.

Pemberian IUP akan dilakukan setelah diperolehnya Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Dalam satu WIUP dimungkinkan untuk diberikan 1 IUP maupun beberapa IUP. Untuk izin smelter dikeluarkan Izin Usaha Industri (IUI) yang kewenangannya diterbitkan Menteri Perindustrian.

Sulawesi Tengah
Di Morowali Utara, terdapat kawasan industri PT Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) dalam kawasan ini terdapat PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) dengan luas 1.907 hektar dan PT Central Omega Resources (COR).

GNI dan COR merupakan 2 smelter pemurnian nikel milik Jiangsu Delong Nickel Industry Co.Ltd investor asal Cina yang beroperasi di Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara yang telah diresmikan Presiden RI Joko Widodo pada 27 Desember 2021 lalu yang digelar di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Guna menggerakan smelter, GNI saat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Captive batubara seluas 712,80 hektar, membendung sungai Lampi tanpa sepengetahuan warga dan pemilik lahan sekitar sungai yang saat ini sewaktu-waktu hujan, air sungai meluap merendami sawah dan pemukiman, tidak hanya itu, udara di dusun 5 Desa Bunta disinyalir diselimuti gas sulfur dioksida (So2) merupakan gas beracun hasil pembakaran batubara PLTU Captive.

Pada 2023, Desa Tanauge, desa pesisir Kecamatan Petasia, sangat berdekatan dengan lokasi aktifitas PT GNI, telah membangun jetty, lokasi pintu masuk mobilisasi pasokan batubara yang diduga merampas lahan warga seluas 65 ha guna perluasan pembangunan jetty tanpa proses kompensasi ganti rugi. Selain pembangunan jetty, nelayan sebagai profesi mayoritas desa ini harus menanggung derita, masifnya mobilisasi kapal tongkang bermuatan batubara membuat nelayan berhenti menangkap ikan di tengah kondisi air laut yang semakin tercemar akibat seringnya tumpuhan batubara, ditambah lagi penjagaan ketat Polisi Air Udara jadi momok menakutkan bagi para nelayan.

Saat ini PT GNI telah membangun 3 unit PLTU Captive batubara terdapat di Desa Tanauge, berkapasitas 300 Mw. PLTU ini hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari pemukiman warga, akibatnya warga sekitar PLTU harus lebih aktif menutup pintu dan jendela rumah agar terhindar debu hitam dari pembakaran batubara milik PT GNI, Setiap hari warga harus membersihkan rumahnya apalagi di puncak penghujung akhir tahun debu batubara masuk ke rumah-rumah warga.

Sulawesi Selatan
Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) dimulai dengan pembentukan Perda Bantaeng Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantaeng Tahun 2012-2032. Kecamatan Pa’jukukang didaulat sebagai kawasan industri besar dengan luas wilayah mencapai 3.128 ha.

KIBA juga ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Permenko 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Permenko 7/2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Berdasarkan data dari Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kabupaten Bantaeng selama rentang 2010 hingga 2017 tercatat 13 perusahaan dengan berbagai bidang usaha.

PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia (HNI) merupakan perusahaan pengolahan dan pemurnian nikel yang beroperasi di KIBA dengan luas 100 ha. Kapasitas tanur atau tungku besar HNI untuk tahap 1 sebanyak 16.500 KVA dengan total nilai investasi mencapai 80 juta USD. Aktivitas industri pemurnian ore nikel menjadi feronikel yang dilakukan oleh HNI telah melahirkan berbagai dampak sosial, lingkungan dan kesehatan kepada masyarakat.

Kebutuhan lahan yang besar telah menyebabkan hilangnya tanah dan kebun masyarakat, Selain itu imbas dari kehilangan tanah telah membatasi akses beternak, HNI memasang pagar setinggi 2,5 meter di lahan yang telah dibelinya dari masyarakat, sehingga hewan ternak yang dulunya dilepas untuk mencari makan kini lokasi tersebut tidak bisa lagi diakses, bahkan pihak dari HNI juga melarang masyarakat masuk untuk dalam kawasan walaupun hanya sekedar mengambil rumput untuk makan hewan ternak mereka.

Dampak lain dari HNI ialah mencemari sungai, pesisir dan laut yang kemudian berimbas ke pundi-pundi perekonomian nelayan dan petani rumput laut.

Dalam laporan investigasi yang dilakukan Walhi Sulsel, aktivitas pengolahan nikel yang dilakukan HNI telah menyebabkan pencemaran berat pada sungai Balla’ Tinggia dan pesisir-laut desa Papanloe dan Desa Baruga. Kontaminasi logam berat kromium heksavalen dari air buangan pabrik HNI telah melampaui baku mutu lingkungan. Berdasarkan hasil pengujian pada 8 titik sampel, ditemukan 2 titik sampel yang memiliki kadar kromium heksavalen tinggi, yakni sebanyak >1 mg/L (ppm) pada badan air sungai Balla’ Tinggia yang bermuara ke laut.

Malangnya, lokasi pengambilan sampel merupakan tempat minum ternak milik warga sekitar. Patut diduga kuat maraknya kasus kematian hewan ternak di sekitaran wilayah tersebut disebabkan oleh racun logam kromium heksavalen. Kategori kontaminan pencemaran air ini sudah tidak lagi direkomendasikan untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup.

Dari pencemaran air tersebut juga dirasakan oleh masyarakat pesisir Kecamatan Pa’jukukang. Gejala yang timbul sejak adanya pabrik menimbulkan kecenderungan penyakit gatal-gatal dan iritasi kulit pada petani rumput laut dan nelayan yang melakukan aktivitas di perairan tersebut.

Tidak berhenti disitu, adanya faktor bioakumulasi logam kromium heksavalen bisa mencapai sistem pencernaan. Bagi masyarakat yang mengkonsumsi hasil laut (kerang, kepiting dan ikan) di area tercemar tersebut berada pada tingkat kerentanan yang cukup tinggi.

Selain itu, kecenderungan air laut yang tercemar mengakibatkan kerugian bagi petani rumput laut dan nelayan. Hal ini dikarenakan dibangunnya pelabuhan tepat di lokasi rumput laut yang digunakan HNI untuk persandaran kapal yang mengangkut material smelter. Dampak dari pembangunan tersebut langsung terasa oleh petani rumput laut yang otomatis kehilangan tempat mereka untuk budidaya rumput laut. Semenjak itu juga pertumbuhan rumput laut di sekitar pelabuhan sudah tidak mendukung lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.

Aktivitas produksi pabrik HNI selama 24 jam selain memproduksi produk nikel, juga memproduksi udara panas. debu, asap dan bau. Sudah hampir enam tahun masyarakat di sana khususnya masyarakat desa Papan Loe merasakan secara langsung pencemaran udara yang diberikan oleh HNI.

HNI menghasilkan debu dari proses sintering yang berdampak pada pencemaran udara. Selain itu debu juga berasal dari aktivitas pembongkaran dan pengangkutan material bahan baku pabrik. Jarak pabrik yang begitu dekat dengan rumah warga yang hanya berjarak kisaran kurang dari 50 meter membuat rumah warga dijangkau oleh partikel debu, yang kemudian menimbulkan keluhan kesehatan serius.

Debu dan udara kotor ini mesti dihadapi warga sekitar. Ketika musim kemarau, peralatan dapur, meja makan, kursi, lantai, hingga dalam kamar penuh dengan debu dari aktivitas perusahaan. Pencemaran udara selalu menyasar orang tua dan anak-anak. Salah seorang balita di dusun Mawang yang baru berumur 1 tahun telah mengalami masa-masa sulit terkait kondisi kesehatan. Menurut pengakuan dokter, penyakit yang mereka alami disebabkan oleh asap dan debu pabrik di depan rumahnya.

Hasniah, salah satu korban kini mengidap komplikasi penyakit di sekujur tubuhnya, menurut hasil pemeriksaan dokter, Hasniah mengidap penyakit kolestrol, asam urat, darah tinggi, batuk kering berdahak hingga sesak nafas. Selain dirinya, Adik dan Cucunya juga menjadi korban pencemaran udara yang menimbulkan berbagai masalah kesehatan.

Semenjak kehadiran HNI, masalah kekeringan sumur kemudian menghampiri masyarakat. Satu-satunya sumber air dari sumur-sumur yang biasa digunakan untuk keperluan dasar mereka mengalami kekeringan. Awalnya masyarakat beranggapan mustahil jika mereka kekurangan air. Rata-rata sumur di dua dusun tersebut memiliki kedalam 20-25 meter dan berumur 20–40 tahun selama itu sumur mereka tidak pernah mengalami kekeringan. Bahkan, sumur bor mesjid yang memiliki kedalaman sekitar 40 meter yang juga awalnya dianggap warga memiliki air juga mengalami kekeringan.

Air selain sebagai kebutuhan dasar, juga menjadi penentu sumber pencarian para pembuat batu bata. Dalam bahasa lokal, pekerjaan sebagai pembuat batu bata ini disebut sebagai bantilang. Di desa Papanloe dari 7 dusun semua dusun memiliki bantilang di antaranya Kayu loe, Ballatinggia, Mawang, Papan loe, Bungung rua, Sapamayo dan Bungung pandang.

Dalam proses pembuatan batu bata memerlukan bahan baku, bahan baku utama dalam proses pembuatannya yaitu tanah liat, air, dan kayu. Bahan baku pendukung yang digunakan seperti sekam, masyarakat desa Papan Loe menyebutnya awang. Dari catatan kami, semenjak tiga tahun terakhir, beberapa bantilang di dusun Balla Tinggia dan dusun Mawang mulai berhenti berproduksi. Penyebabnya, air sebagai salah satu bahan baku utama dalam pembuatan bata di dua dusun tersebut telah hilang.

Di lain sisi, terhitung sejak 2021, HNI menyalurkan air bersih di Desa Papanloe melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR). Namun air yang dibagikan sangatlah terbatas, akibatnya memunculkan konflik baru. Pertengkaran untuk mendapatkan air tak jarang terjadi antar warga.

KIBA dengan gembar-gembornya menjadi industri strategis nyatanya telah memberikan sebuah gambaran yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh warga. Hingga tahun 2023 ditargetkan ada 5 smelter yang beroperasi dengan target produksi sebesar 320.000 metrik ton/tahun.

Merujuk pada AMDAL, KIBA dari tahun 2019 hingga 2037 diproyeksikan akan terus meningkatkan operasinya. Tahun 2023 proyeksi produksi KIBA mencapai 900.000 metrik ton/tahun.

Aktivitas HNI di KIBA harus dihentikan, proyek industri nikel yang masih dalam tahap pengembangan ini bahkan telah memberikan banyak masalah ke masyarakat. Air yang menjadi sumber esensial direnggut, sungai pesisir dan laut diracuni oleh oleh pabrik, udara bersih yang menjadi hak masyarakat juga dirampas.

Sulawesi Tenggara
Polusi masih dianggap sebagai ancaman terbesar bagi umat manusia. Hal ini karena penggunaan energi kotor masih mendominasi, terutama penggunaan energi kotor batubara. Batubara dipilih karena selain mudah terbakar, harganya pun sangat murah. Sehingga banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan untuk memasok energi lsitrik sebagai penunjang operasional perusahaan.

Salah satu perusahaan yang menggunakan energi kotor batubara dalam memasok kebutuhan listriknya adalah PT Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Stell (OSS) yang terletak di kawasan industri Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

PT VDNI mulai beroperasi sejak 2014 dan membangun pabrik pemurnian di tahun 2017, yang kemudian resmi beroperasi pada tahun 2019. Terletak di Morosi, Konawe dengan total luas lahan 700 ha. Kapasitas produksi perusahaan ini dalam setiap tahun mampu memproduksi sebanyak 800 Ribu Ton Nikel Pig Iron (NPI) dengan kadar 10-12%. Dalam menunjang Operasionalnya, VDNI juga membangun delapan unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dengan total kapasitas sebanyak 530 MW dan mampu mengkonsumsi batubara sebanyak 180.000 ton per tahun.

Konsumsi batubara yang cukup besar tersebut berkontribusi pada menurunnya kualitas lingkungan sekitarnya. Akibatnya, produksi lahan pertanian masyarakat terus mengalami penurunan setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil wawancara lapangan tim Walhi Sultra bersama masyarakat Morosi, pembakaran batubara yang dilakukan tanpa henti, menyisakan abu hitam yang kemudian bercampur dengan udara lalu menyebar ke lahan-lahan pertanian masyarakat. Akibatnya kualitas air tanah menjadi tidak produktif lagi. Karena buangan hasil sisa pembakaran batubara mengandung zat Sulfur Oksida (SO2) yang menyebabkan keracunan pada tanaman tumbuh.

Selain masalah pada produktivitas pertanian, abu batubara juga berkontribusi pada masalah kesehatan masyarakat sekitar. Dari wawancara, tim Walhi Sultra bersama salah seorang petugas kesehatan puskesmas Morosi, bahwa sejak adanya pabrik pengolahan nikel di Morosi, angka penderita Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) terus mengalami peningkatan.

PT Obsidian Stainless Stell (OSS) yang terletak di Desa Tani Indah, Kabupaten Konawe ini, dianggap sebagai salah satu perusahaan pemurnian besar di Asia. Menduduki lahan seluas 800 ha dengan total kapasitas produksi sebesar 3 juta metrik ton per tahun. Perusahaan ini mulai dibangun sejak 2015 dan mulai beroperasi di tahun 2018. Dalam menunjang operasionalnya, PT OSS membangun PLTU dengan kapasitas 1.820 MW yang menyebabkan pencemaran lingkungan di sekitar lokasi perusahaan.

Data yang berhasil dihimpun oleh Walhi Sultra, sejak operasionalnya perusahaan ini berkontribusi besar pada kerusakan lahan tambak di Desa Labota, Tani Indah, Lilimbue dan Kapoiala baru. Ketiga desa tersebut, merupakan kawasan basah dengan komoditas unggulan seperti kepiting, Udang dan Bandeng. Tak tanggung-tanggung, di tahun 2018, Badan Pusat Statistik pernah mencatat bahwa hasil produksi perikanan budidaya kabupaten Konawe mencapai 40.356 ton. Namun angkat itu terus menurun di tahun-tahun berikutnya seiring dengan masifnya aktivitas perusahaan di kawasan Morosi.

Selain berdampak pada masyarakat di wilayah administrasi Kabupaten Konawe, aktivitas PT OSS juga memberi dampak pada masyarakat Kabupaten Konawe Utara. Terutama di Desa Morosi dan Lambuluo.

Karena lokasi perusahan yang berada di batas administrasi Kabupaten Konawe dan Konawe Utara, limbah pembakaran batubara yang bercampur udara, menyebar ke pemukiman masyarakat dan mempengaruhi kualitas lingkungan masyarakat. Akibatnya, saat ini berdasarkan pada wawancara tim Walhi dengan pemerintah dan masyarakat Desa Lambuluo juga Desa Motui, telah banyak masyarakat meninggalkan rumah.

Selain karena masalah kualitas udara, perpindahan juga disebabkan oleh hilangnya pekerjaan masyarakat setempat. Di mana, mayoritas masyarakat sebelumnya merupakan petani tambak terpaksa harus mencari pekerjaan lain karena tambak tidak lagi mampu berproduksi di tengah gempuran abu batubara.

Atas kondisi tersebut di atas, Aliansi Sulawesi Terbarukan, menyerukan :

  1. Hentikan operasi PLTU Captive penggunaan batubara di seluruh kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
  2. Segera pulihkan kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
  3. Segera berikan ganti rugi bagi petani, nelayan dan rakyat yang bermukim di sekitar kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.


Narahubung:
Public Engagement WALHI: +62 811-5501-980