Laporan Koalisi NGO: Lembaga Keuangan Alirkan Triliunan Dolar ke Korporasi yang Berisiko Merusak Lingkungan

Siaran Pers

Jakarta, 26 Maret 2024. Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa merilis laporan terbaru yang mengungkap kaitan antara lembaga keuangan dan kerusakan lingkungan hidup. Laporan ini menganalisis data yang disusun lembaga riset Profundo, yang menunjukkan bukti bahwa sejak penandatanganan Perjanjian Paris pada akhir 2015, ada sekitar US$1,257 triliun (€1,156 triliun[1] atau setara Rp19.842 triliun[2]) kredit global mengalir ke grup-grup perusahaan di sektor yang berisiko terhadap ekosistem dan iklim.

Bertajuk “Uni Eropa Membiayai Perusakan Ekosistem” (EU bankrolling ecosystem destruction), laporan yang dirilis Greenpeace International, Friends of the Earth Belanda, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa tersebut menyoroti aliran pendanaan dari lembaga-lembaga keuangan di Uni Eropa. Berdasarkan riset ini, seperlima dari kredit global atau sekitar €256 miliar (setara Rp4.394 triliun[3]) di antaranya berasal dari lembaga-lembaga keuangan di 27 negara anggota Uni Eropa[4].

Unduh Laporan Report EU Membiayai Perusakan Ekosistem EUDR

Pendanaan tersebut mengalir ke 135 perusahaan atau pemain utama di sektor yang berisiko terhadap lingkungan hidup, seperti kedelai, peternakan, kelapa sawit, karet, kayu, dan komoditas lainnya yang berpotensi tinggi merusak ekosistem. Perusahaan-perusahaan besar dari berbagai negara, seperti JBS (Brasil), Cargill (Amerika Serikat), hingga dua grup bisnis besar Indonesia, Royal Golden Eagle dan Sinarmas[5], turut disebut dalam laporan ini sebagai penerima dana dari lembaga keuangan Uni Eropa.

Dengan temuan ini, organisasi masyarakat sipil secara spesifik menyoroti komitmen iklim Uni Eropa. Di satu sisi Uni Eropa memiliki kebijakan anti-deforestasi, tapi di sisi lain lembaga-lembaga keuangan yang berasal dan berbasis di negara-negara anggotanya masih mengalirkan kredit dan berinvestasi ke perusahaan-perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan. Adapun lembaga keuangan di Indonesia juga perlu berefleksi dari laporan ini, mengingat kebijakan keuangan berkelanjutan yang tengah diorkestrasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih jauh dari ideal.

“Uni Eropa dan Indonesia perlu lebih ketat meregulasi lembaga-lembaga keuangan di negara masing-masing agar lebih bertanggung jawab dan tidak ikut membiayai perusakan lingkungan. Hal ini sebenarnya sudah menjadi catatan kami dan Milieudefensie (Friends of the Earth Belanda) pada saat pembahasan draf Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR dulu. Penting bagi Uni Eropa untuk membuktikan komitmen pelindungan iklim mereka,” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

EUDR, yang diadopsi pada Mei 2023, disebut sebagai langkah Uni Eropa untuk mencapai komitmen iklim dan keanekaragaman hayati global mereka. Kebijakan itu bertujuan mengurangi dampak lingkungan dari konsumsi Uni Eropa, dengan mewajibkan korporasi untuk menjamin bahwa produk-produk mereka tak berasal dari deforestasi–yang terjadi setelah Desember 2020. Kendati begitu, beleid itu belum mengatur tentang pendanaan yang mengalir ke perusakan lingkungan. Maka dari itu, organisasi lingkungan dan HAM mendesak Komisi Uni Eropa untuk memperbaiki kebijakan tersebut dengan mengajukan proposal legislasi sebelum Juni 2025.

Poin penting lain yang perlu diperbaiki dari kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa ialah perlindungan hak-hak masyarakat adat dan petani swadaya. Uni Eropa mesti memastikan proses ketertelusuran atau traceability mereka dapat diakses dan berkeadilan untuk para petani swadaya. Adapun menyangkut masyarakat adat, kebijakan EUDR saat ini belum tegas menekan negara-negara produsen untuk menghormati hak-hak masyarakat adat.

Di Indonesia, praktik-praktik industri sawit di masa lalu terbukti merampas lahan masyarakat adat dan menghancurkan hutan. Praktik serupa masih mungkin berlanjut, apalagi jika melihat pemerintah Indonesia yang sangat defensif menyikapi EUDR.

“Temuan laporan ini harus menjadi perhatian khusus gugus tugas EUDR yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa, untuk memastikan aliran dana investasi ini hanya disalurkan untuk mengembangkan pekebun kecil dan rantai pasok yang bebas deforestasi. Di tengah berbagai bencana iklim yang semakin masif, perbankan Uni Eropa jangan lagi mendanai perusahaan yang terlibat perusakan lingkungan. Pemerintah Indonesia juga harus memperkuat komitmen iklimnya dengan memastikan tak ada lagi deforestasi, karena ini besar sekali kontribusinya memperparah krisis iklim,” kata Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

 

Kontak Media:

Arie Rompas, Greenpeace Indonesia, +62 811-5200-822
Uli Arta Siagian, Eknas Walhi, +62 821-8261-9212

 

[1] Konversi US$ ke Euro dalam laporan berdasarkan conversion rate pada 15 Maret 2024.

[2] Nilai rupiah dihitung dari Euro berdasarkan kurs jual Bank Indonesia pada 25 Maret 2024.

[3] Nilai rupiah dihitung dari Euro berdasarkan kurs jual Bank Indonesia pada 25 Maret 2024.

[4] Laporan ini berfokus pada 27 negara anggota Uni Eropa, sehingga yang dirujuk sebagai Uni Eropa dalam laporan maupun siaran pers ini yakni 27 negara anggota tersebut.

[5] Kedua grup perusahaan RGE dan Sinarmas tak membenarkan maupun menampik menerima dana dari lembaga keuangan di Uni Eropa. Namun, mereka mengklaim telah mengadopsi bisnis berkelanjutan dan membantah terlibat dalam deforestasi serta kebakaran hutan dan lahan. Dugaan keterlibatan RGE dengan penyuplai yang membabat hutan dapat dibaca selengkapnya dalam laporan Babat Kalimantan. Adapun dugaan keterkaitan Sinarmas dengan karhutla bisa dibaca dalam riset Karhutla dalam Lima Tahun Terakhir.