Keamanan Ekologi, Kesehatan, Pangan, Ekonomi dan semua Traktat, Kerjasama Internasional dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia yang berhubungan dengan Lingkungan Hidup harus dibahas dalam debat Capres 2024

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Jakarta, 7 Januari 2024 - Debat Capres Putaran Ketiga dengan tema: Pertahanan, Keamanan, Geopolitik, dan Hubungan Internasional. WALHI menilai tema debat Cawapres kedua bertalian sangat erat dengan isu lingkungan hidup terutama komitmen iklim global, rantai pasok perdagangan sawit, transisi energi dan hilirisasi nikel karena Konsep Keamanan telah terjadi perluasan ruang lingkup yang tidak lagi hanya berfokus pada Keamanan Negara, namun juga keamanan manusia (human security) yang melampaui pendekatan negara-sentris dan militer, yang mencakup: Keamanan Ekonomi, Keamanan Pangan, Keamanan Kesehatan, Keamanan Ekologis/Lingkungan, Keamanan Individu, Keamanan Komunitas dan Keamanan Politik.

Keamanan Ekologis, Kesehatan, Komunitas, Pangan dan Ekonomi:

Menurut WALHI, Pertama, dalam konteks mengenai Keamanan Lingkungan/Ekologis, di Indonesia masyarakat harus berhadapan langsung dengan situasi Kerusakan/degradasi lingkungan, Eksploitasi Sumber Daya Alam, Polusi, Bencana Ekologis (Karhutla, Banjir, Longsor, Pencemaran), Air Bersih dan lainnya baik yang disebabkan oleh kebijakan negara maupun aktor non negara lainnya, situasi tersebut menyebabkan rasa takut di tengah masyarakat dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. berdasarkan catatan WALHI permasalahan-permasalahan tersebut juga berkaitan dengan keamanan Kesehatan dan Komunitas yang terjadi secara berulang dan mengakibatkan rasa takut dan cemas dan menurunnya kualitas kesehatan.

Kedua, pada Keamanan Pangan dan Ekonomi, WALHI menilai kebijakan food estate tidak dapat menjawab persoalan keamanan pangan melainkan mendatangkan permasalahan baru terkait dengan kerusakan lingkungan hidup[1] dan kontradiksi dengan fakta kelaparan Papua yang mengakibatkan 29 orang asli papua harus meninggal dunia pada 2023, bencana kelaparan di Papua merupakan permasalahan kemanusiaan yang berulang karena sudah terjadi sejak 2005 yang menimbulkan korban jiwa 55 orang, Tahun 2006: 15 orang korban jiwa, Tahun 2009: 92 orang korban jiwa, Tahun 2022: 3 orang korban jiwa2, namun sayangnya Negara terkesan meremehkan permasalahan ini dengan eufemisme untuk mengaburkan fakta seperti pernyataan Wapres, Maruf Amin terkait kelaparan di Papua 2023 yang merupakan kekurangan pangan bukan bencana kelaparan[2] dan bahkan Bupati Yahukimo Didimus Yahuli, menyebutkan kematian tersebut dikarenakan Malaria dan ISPA[3].

selanjutnya problem ketimpangan lahan dan penurunan jumlah petani yang disebabkan oleh perampasan tanah oleh negara atau aktor non negara juga harus menjadi perhatian, jika tidak kondisi ini akan melahirkan monopoli yang pada akhirnya melahirkan gap-over produksi pangan sementara kelaparan masih terus terjadi[4], serta dampak ikutan mengenai kerusakan lingkungan hidup.

Komitmen Indonesia di Internasional tentang Lingkungan Hidup:

Dampak perubahan iklim yang cepat terhadap permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan dapat menyebabkan ketidakamanan di tingkat lokal dan internasional. Hal ini dapat menyebabkan kerentanan pasokan pangan, air, energi, dan mata pencaharian, bencana terkait iklim, dan migrasi paksa. Karena itu perubahan iklim akan saling berhubungan dengan keamanan negara, sehingga upaya membangun kerjasama dan stabilisasi pada tingkat nasional dan internasional tidak bisa mengabaikan dampak terkait iklim atau bahayanya terhadap lingkungan.

Sebagai negara yang telah meratifikasi perjanjian paris, komitmen Indonesia dalam upaya mencegah perubahan iklim masih sangat lemah. Meskipun telah memperbarui NDC-nya, Climate Action Tracker (CAT) per Desember 2023, masih mencatat target NDC Indonesia sebagai "Critically Insufficient". Indonesia seharusnya menguatkan target pengurangan emisi sektoral secara proporsional dengan tidak membebankan kontribusi pengurangan emisi hingga sebesar 60 persen pada sektor kehutanan.

WALHI juga menilai beberapa strategi yang dipilih oleh pemerintah selama ini, seperti FOLU Net Sink 2030 rentan ditunggangi kepentingan bisnis. Skema offset semacam ini adalah skema yang gagal dalam pengurangan emisi GRK karena entitas negara dan korporasi tetap dibiarkan melepas emisi dari sumber mereka dengan membeli stok karbon yang masih terjaga di tempat lain. Skema penyeimbangan karbon semacam ini tidak akan mampu menurunkan emisi dan menahan suhu bumi dibawah 1,5 celcius. Alih-alih menurunkan emisi, justru ini akan terus memperpanjang operasi industri ekstraktif dan penggunaan bahan bakar fosil. Perhitungan emisi global mengindikasikan kegagalan skema offset dalam mengurangi emisi pada sumbernya, di mana setiap tahun lebih dari 59 miliar ton CO2e emisi masih terus dilepaskan ke atmosfer.

Pendekatan lain seperti ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, dengan situasi pembangkit listrik masih didominasi oleh energi fosil dan ratusan ribu hektar kawasan ekosistem esensial telah dan akan mengalami kehancuran akibat pertambangan nikel. Maka proyek kendaraan listrik bukanlah agenda transisi energi yang berkeadilan. Saat ini 80 persen pembangkit listrik masih berbasis energi fosil, sehingga emisi yang akan dihasilkan, terutama untuk pengisian baterai kendaraan listrik masih sangat tinggi.

Indonesia telah kehilangan banyak ekosistem penting akibat pemberian konsesi pertambangan nikel yang menjadi bahan baku utama industri baterai kendaraan listrik. Diperkirakan 1 juta hektar lahan di Indonesia telah diberikan untuk izin pertambangan nikel. Lebih dari 700.000 hektar diantaranya berada dalam kawasan hutan. Jika keseluruhan kawasan yang diberikan izin pertambangan nikel dilakukan perubahan fungsi lahan, diperkirakan ada pelepasan emisi sebesar 83 juta ton CO2e. Belum lagi berbagai kecelakaan industri yang terjadi berulang-ulang pada kawasan industri nikel menunjukkan bahwa keselamatan rakyat dan pekerja masih tidak dipedulikan oleh pemerintah.

Terkait kerjasama dan pendanaan transisi energi yang disebut pemerintah akan digunakan dalam penciptaan pasar karbon yang efektif dan berkeadilan, investasi transisi energi dan pendanaan untuk aksi iklim. WALHI mengingatkan kembali bahwa seluruh mekanisme yang telah dan akan dikembangkan harus memastikan transisi energi tidak jatuh pada jebakan solusi palsu. Solusi yang kurang efektif menurunkan emisi, memperpanjang umur penggunaan bahan bakar fosil, merusak lingkungan dan merampas hak masyarakat.

Solusi palsu transisi energi di Indonesia nampak mulai dari penggunaan sumber energi yang jelas tidak terbarukan dan berisiko tinggi seperti batubara cair, gasifikasi batubara, nuklir, serta hidrogen dan amonia yang diproduksi dari bahan bakar fosil fosil. Solusi palsu lain berupa pembangunan proyek energi yang dalam pengelolaan tidak ramah lingkungan, merampas wilayah kelola rakyat, melanggar HAM, dan secara daur hidup tidak memberikan perbaikan yang signifikan terhadap penurunan karbon.

Dalam konteks EUDR atau undang-undang bebas deforestasi di Eropa, pemerintah Indonesia bersikukuh untuk menolak undang-undang tersebut, bahkan mempertimbangkan untuk melakukan gugatan, jika EU tidak mempertimbangkan usulan Indonesia serta 14 negara lainnya untuk membatalkan EUDR. Pemerintah beralasan bahwa pemberlakukan EUDR oleh EU akan mendiskriminasi petani Indonesia, terkhususnya petani sawit. Faktanya, ada atau tidaknya EUDR, petani di Indonesia, khususnya petani sawit telah terdiskriminasi oleh kebijakan nasional yang ada saat ini.

Pemerintah Indonesia seharusnya menjadikan EUDR ini sebagai momentum untuk memperbaiki tata kelola sawit, memastikan sawit tidak lagi menjadi driver deforestasi, dan menyelesaikan konflik-konflik yang saat ini terjadi antara korporasi dan rakyat, dengan dukungan EU. Dukungan EU ini harus diletakkan sebagai salah satu pertanggungjawaban EU sebagai negara konsumen yang selama ini mendorong terjadinya deforestasi hutan, kerusakan lingkungan, dan konflik agraria di Indonesia akibat ekspansi perkebunan sawit, untuk memenuhi kebutuhan pangan, energi, kosmetik, masyarakat di EU.

oleh karena itu, WALHI mendesak para kandidat (Cawapres) untuk membahas isu lingkungan dalam debat kedua ini secara komprehensif.

Narahubung:

  1. Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun, [email protected]
  2. Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut [email protected]
  3. Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur, [email protected]
  4. Fanny Tri Jambore Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi, [email protected]
  5. Abdul Ghofar, Manajer Kampanye Polusi dan Urban, [email protected]
  6. Zenzi Suhadi, Direktur WALHI Nasional, [email protected]

 

[1] Tempo.co: Walhi Kritik Food Estate: Tidak Sentuh Akar Persoalan, tersedia pada: https://nasional.tempo.co/read/1800008/walhi-kritik-food-estate-tidak-sentuh-akar-persoalan 2 Katadata.co,id: Papua dan Bencana Kelaparan yang Terus Berputar, tersedia pada: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/10/27/papua-dan-bencana-kelaparan-yang-terus-berputar

[2] bbc.com: Mengaburkan makna 'bencana kelaparan’ di Papua, peneliti sebut 'upaya pemerintah menyelamatkan muka’, tersedia pada: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cgepjye828zo

[3] Republika.co.id: Bupati Bantah Ada Bencana Kelaparan di Yahukimo, tersedia pada: https://news.republika.co.id/berita/s34yu6409/bupati-bantah-ada-bencana-kelaparan-di-yahukimo

[4] Wahyu Perdana, Ekonomi Politik Pangan: Antara Kedaulatan Pangan, Ketahanan Pangan dan Human Security, hlm 129, dalam Al-Araf dkk: Keamanan Manusia: Konsepsi, Implementasi dan Perbandingan Negara Lain, Centra Initiative & Imparsial, 2022.