Grapas: Menyambut Hari Hak Asasi Manusia Internasional, Menegaskan Penolakan Terhadap Pembangunan PLT Geotermal di Padarincang, Banten

Siaran Pers

Grapas: Menyambut Hari Hak Asasi Manusia Internasional, Menegaskan Penolakan Terhadap Pembangunan PLT Geotermal di Padarincang, Banten

Padarincang, Banten - 10 Desember 2023

Pada momen penting Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama Gerakan Perempuan SAPAR (GRAPAS) menyuarakan kembali penolakan keras terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLT Geotermal) di wilayah Padarincang, Banten.

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI dalam orasi yang disampaikan pada Panggung Rakyat Hari HAM yang digelar GRAPAS, menekankan, perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia seharusnya dilakukan pada 3 dimensi: Hak untuk hidup aman, Hak atas sumber kehidupan, Hak untuk mengembangkan kehidupan. Dalam beberapa dekade terakhir, negara terlibat dalam perampasan ketiga hak tersebut. Ini terjadi, karena para pemimpin bangsa tidak lagi dibesarkan dengan pemahaman terhadap persoalan rakyat.

Hari ini kita melakukan istighosah dan menggelar panggung rakyat untuk memperingati hari jadinya GRAPAS sekaligus memperingati Hari HAM Internasional. Lewat panggung ini, rakyat di Padarincang ingin mengabarkan bahwa, hak mereka yang azasi terhadap sumber-sumber penghidupan, untuk mengembangkan kehidupannya, akan terus diperjuangkan. Suatu hari nanti, suara perempuan Padarincang mesti dipekikan di depan pintu istana. Mengingatkan penguasa, bahwa negeri ini dideklarasikan tahun 1945, memegang amanah yang tertuang pada pasal 33 Undang-Undang Dasar “Bumi, air, tanah dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.

Perlawanan masyarakat Padarincang dalam menolak pembangunan PLT Geotermal sudah memasuki tahun yang kedelapan. Masyarakat meyakini, membuat lubang sampai ke perut bumi untuk mengeluarkan energi panas akan merusak ekosistem alam, menyebabkan kekurangan air, dan mengganggu mata pencaharian utama penduduk yang sebagian besar adalah petani.

Eha Suhaeni, perwakilan GRAPAS menegaskan, “Di sini, perempuan berdiri sejajar dengan laki-laki dalam berjuang mempertahankan hak hidup. Dalam rangka memperingati Hari HAM Internasional, kami menggelar istighosah dan panggung rakyat untuk menunjukkan bahwa perampasan sumber-sumber penghidupan adalah pelanggaran HAM serius. Pada kesempatan ini kami juga berdoa untuk keselamatan warga Palestina, dan menyampaikan solidaritas yang kuat atas hak hidup warga Palestina yang terus dilanggar”

Masyarakat Padarincang telah berupaya keras, dari unjuk rasa, dialog dengan pemerintah, mengusir alat-alat berat hingga menyegel lokasi proyek. Namun, hingga saat ini pembangunan PLT Geotermal Padarincang sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) belum dibatalkan secara resmi oleh pemerintah.

Proyek ini pada awalnya ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Kaldera Danau Banten melalui keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 0026K/30/MEM/2009 pada 15 Januari 2009. PT Sintesa Banten Geothermal ditunjuk sebagai pelaksana proyek ini oleh pemerintah.

GRAPAS yang juga bagian dari Syarekat Perjuangan Rakyat Padarincang (SAPAR), tetap kukuh menolak PLT Geotermal. Komitmen ini ditegaskan sebagai upaya melindungi lingkungan hidup, masyarakat, dan mempertahankan sumberdaya alam yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Padarincang.

Dalam kesempatan yang sama Zenzi menyampaikan, "Penguasa yang saat ini memegang amanah untuk meregulasi pengelolaan sumber-sumber penghidupan rakyat, tidak tumbuh bersama persoalan rakyat. Mereka berkuasa, memerintah, membuat Undang-Undang, mengeluarkan kebijakan bukan atas dasar pemahaman terhadap persoalan rakyat. Ibarat kereta, negara melaju dengan cepat di luar lintasan, bahkan di luar rel. Perubahan begitu cepat, pembangunan begitu cepat, tapi tidak menuju pada kesejahteraan rakyat."

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "Tidaklah seseorang akan sangat kaya, kecuali sudah terjadi perampasan terhadap hak orang lain.” Tambah Zenzi.

Pada kesempatan orasi tersebut, Zenzi juga menegaskan, "Indonesia ini sangat kaya. Gunung, hutan, sungai, laut, dan gugusan pulau-pulau membuat negeri ini memiliki biodiversity terbesar di dunia. Kalau kita mau membangun rumah untuk 270 juta rakyat Indonesia, kita cuma butuh 4 juta hektare. Hari ini sudah 100 juta hektare hutan Indonesia habis dibabat. Namun 60% rakyat Indonesia belum punya rumah. Kenapa? Karena haknya dirampas oleh sekelompok kecil orang yang jumlahnya hanya setara 1% dari total penduduk negeri ini. Kelompok 1% itu merampok dan menumpuk kekayaan di tangannya."

"Saya bangga, bersyukur, dan terharu bisa berdiri di sini. Merasakan semangat dan komitmen dari rakyat yang berani menyatakan tanah tempatnya lahir dan hidup turun temurun adalah sebagai pemiliknya. Di tempat lain ratusan juta hektare tanah dan hutan telah dicuri oleh maling yang berjumlah 1 %. Pertanyaannya, kenapa maling 1% itu leluasa mencuri?" Tanya Zenzi.

Menurutnya, maling bisa masuk dan mencuri pada satu rumah karena dua hal; satu, karena rumah itu ditinggalkan. Kedua, karena penghuninya tidak berani berteriak, karena takut pada malingnya. Padarincang sampai pada hari ini masih aman dari pencurian dan perampokan, bukan karena kekuasaan tidak mengerahkan kekuatannya. Tapi warga Padarincang masih aman karena pemiliknya yaitu warga Padarincang itu sendiri, berani berteriak melawan siapapun yang mau mencuri haknya.

Orang-orang Padarincang berhasil mengusir Danone, menahan pembangunan pembangkit listrik Geotermal. Memastikan tanah, air, hutan, sungai, kekayaan dan daya dukung alam untuk diwariskan dengan aman pada generasi selanjutnya. Dalam perjuangan yang terus berlangsung di tempat ini, mempertahankan hak, menegakkan hak asasi, saya ingin menyampaikan, kalau suatu hari nanti ada risiko perjuangan yang harus mempertaruhkan nyawa, tolong kabarkan pada saya, saya akan datang bergabung dalam barisan terdepan.

Lebih lanjut perempuan sepuh berusia 60 tahun yang biasa disapa ustadzah Umi Eha, juga menyoroti dampak sosial dan agama yang tak terhindarkan akibat rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLT Geotermal) di wilayahnya. Menurut Umi Eha, Padarincang bukan sekadar kawasan geografis, melainkan juga pusat pendidikan agama dengan kehadiran banyak santri dan ulama.

Pendidikan agama adalah pondasi kehidupan masyarakat Padarincang. Santri, ulama, dan masyarakat secara luas memanfaatkan sumber daya alam untuk memastikan ketersediaan air yang menjadi kebutuhan utama dalam lingkup kehidupan agama.

"Kekurangan air bukan hanya berarti persoalan fisik, tapi akan menciptakan krisis sosial yang menyeluruh. Santri, ulama, dan masyarakat bergantung pada ketersediaan air untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, termasuk dalam menjalankan ibadah dan menyelenggarakan pendidikan agama," tambahnya dengan nada prihatin.

Dalam semua kekhawatiran yang disampaikannya, Eha Suhaeni menekankan bahwa upaya menolak proyek PLT Geotermal bukanlah semata-mata soal lingkungan, tetapi juga tentang harmonisasi kehidupan, kerukunan, agama, pendidikan dan keselarasan hidup masyarakat Padarincang yang telah terbentuk selama bertahun-tahun. Demikian pula penolakan PSN dan perampasan tanah lainnya di seluruh tanah air, bukanlah semata-mata soal ekonomi, melainkan juga soal identitas, nilai-nilai, keyakinan dan tanggung jawab pada generasi selanjutnya.

 

Narahubung:
Sandi Pulungan, +62 813-8039-9658, Public Engagement (PE) WALHI