Festival Rano Balaesang

To’ Balaesan Bakal Menggelar Festival Rano Balaesang

Merawat Ingatan Perjuangan Petani Balaesang Tanjung Mempertahankan Tanah Warisan Leluhur
Sekira dua pekan lagi masyarakat Desa Rano Balaesang akan menggelar Festival Rano Balaesang. Kegiatan festival bertajuk Hutan Hijau, Danau Lestari, Rakyat Sejahtera yang bakal diselenggarakan selama dua hari (29 Februari – 01 Maret 2020) di Desa Rano Balaesang ini merupakan momentum untuk merawat ingatan perjuangan masyarakat petani Balaesang Tanjung dalam mempertahankan tanah warisan leluhur sebagai hak komunal dari penetrasi kapital korporasi pertambangan emas PT. Cahaya Manunggal Abadi (CMA) yang mengantongi izin eksplorasi biji emas dari pemerintah Kabupaten Donggala.

Dengan mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. CMA yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Donggala Nomor 188.45/0288/DESDM/2010 tertanggal 5 Februari 2010 PT. CMA telah mencaplok dan mengklaim secara sepihak lahan pertanian dan perkebunan warga seluas kurang lebih 5.000 hektar. Didalamnya terdapat Rano (penyebutan danau dalam bahasa To’ Balaesan) seluas 260 hektar. Lokasi izin tersebut mencakup 5 desa di Kecamatan Balaesang Tanjung. Kelima desa tersebut adalah Desa Walandano, Kamonji, Rano Balaesang, Palau, dan Pomulu.

Klaim sepihak dan alih fungsi lahan oleh PT. CMA mendapatkan penolakan dari warga lima desa tersebut. Tak pelak lagi, aktifitas PT. CMA telah memicu ledakan konflik agraria antara pihak perusahaan dan petani. Namun seperti lazimnya negara senantiasa memperlihatkan keberpihakannya kepada korporasi. Selasa 17 Juli 2012 aksi penolakan dari 500-an petani Balaesang Tanjung tidak mendapatkan tanggapan baik dari pemerintah kecamatan dan Pemerintah Kabupaten Donggala. Justru keesokan harinya direspon dengan mendatangkan dua truk aparat kepolisian dari Polres Donggala. Penangkapan dan tragedi berdarah tak dapat dielakkan lagi. Dalam penyisiran di lima desa tersebut aparat menahan 8 orang petani, 5 orang tertembak peluru aparat, satu diantaranya tewas setelah mendapatkan perawatan selama satu hari di Rumah Sakit Bhayangkara Palu.

Atas desakan masyarakat Balaesang Tanjung melalui aksi demonstrasi bersama organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa dengan mendatangi Mapolda Sulteng dan Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah di Kota Palu dengan tuntutan agar pihak kepolisian menghentikan represifitas aparat dan kriminalisasi terhadap petani. Merespon aksi tersebut Kapolda Sulteng Brigjen Dewa Parsana memerintahkan anggotanya untuk mendalami insiden penembakan tersebut. Beberapa hari berselang Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh didampingi tim Komnas HAM perwakilan Sulawesi Tengah melakukan investigasi. Hasil investigasi Komnas HAM menemukan dugaan terjadinya pelanggaran HAM atas peristiwa penembakan dan penangkapan warga.

Tujuh tahun berlalu pasca peristiwa berdarah tersebut belum terlihat tanda-tanda aktifitas lanjutan dari pihak perusahaan. Namun satu hal yang masih menjadi ancaman serius, izin PT. CMA belum juga dicabut oleh pemerintah. Bahkan dalam Peta Pola Ruang Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah, sebagian besar wilayah Kecamatan Balaesang Tanjung sebagian besar masih menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Bilamana izin tersebut belum dicabut, bukan tidak mungkin tragedi serupa akan terjadi di masa yang akan datang. Karena itu desakan masyarakat Balaesang Tanjung untuk mencabut izin PT. CMA semestinya dikabulkan oleh pemerintah.

Menjaga Alam Mempertahankan Eksistensi To’ Balaesan
Dalam berbagai literatur dan hasil penelitian, etnik To’ Balaesan adalah etnik asli yang ada di Desa Rano Balaesang yang mayoritas mendiami tanjung Manimbaya yang membujur keluar di wilayah Pantai Barat Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala. To’ Balaesan merupakan suatu komunitas dengan identitas budaya yang sangat kental dengan bahasa, sistem religi serta fisik yang sedikit berbeda dengan masyarakat sekitar di wilayah Kecamatan Balaesang Tanjung. Etnik To’ Balaesan memiliki sebuah lembaga adat yang disebut Topomaradia yang berfungsi sebagai pengatur dan pengikat masyarakat dalam bertindak dan berprilaku. Hal yang menarik dari etnik ini ialah di tengah era perkembangan zaman yang serba modern dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba canggih serta interaksi dengan etnik pendatang, mereka tetap memiliki ketaatan dalam menjunjung aturan adat-istiadat dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun.

Konsep pengelolaan hutan dan lahan oleh lembaga adat Topomaradia bagi etnik To`Balaesan sangat berperan penting sebagai lembaga yang menjaga dan menegakkan keberlangsungan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal paling bernilai bagi kehidupan dalam ruang lingkup yang terbatas. Dalam pengelolaan hutan, campur tangan lembaga adat sangat diperlukan sebagai pengendali atau pengontrol dalam pengelolaan tersebut sehingga tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dapat menimbulkan sengketa dan konflik di kalangan warga masyarakat[1].

Jauh sebelum ditetapkan menjadi desa sejak dulu To’ Balaesan menyebut nama kampung tua di tepi danau tersebut sebagai Ngapang Rano. Dalam bahasa To’ Balaesan arti kata Ngapang adalah kampung dan kata Rano berarti danau. Sehingga arti kata Ngapang Rano adalah Kampung Danau. Ketika kampung tersebut ditetapkan menjadi desa diberi penamaan Desa Rano Balaesang. Rano yang eksotis memiliki luas sekitar 260 hektar dengan kedalaman diperkirakan mencapai 80 meter. Beberapa anak sungai yang ada di Kecamatan Balaesang bermuara ke Rano. Berbagai macam ikan air tawar  hidup di dalamnya. Salah satunya adalah spesies ikan sidat yang memiliki nilai kandungan gizi yang tinggi. Ikan sidat sudah sangat langka dan jarang ditemukan di perairan darat Sulawesi Tengah. Agar Rano tetap indah dan lestari, To’ Balaesan punya cara unik menjaga keberlangsungan rantai ekosistem di dalamnya yakni dengan melarang perahu menggunakan mesin. Bahkan bantuan perahu bermesin dari Dinas Perikanan Kabupaten Donggala beberapa tahun lalu dikembalikan oleh nelayan Desa Rano Balaesang. Karena warga sejak dulu hingga sekarang masih memegang teguh pesan orang tua mereka untuk tidak memperlakukan alam dengan serakah. Mereka meyakini apa yang tersedia hari ini adalah bekal untuk anak cucu di masa depan.

Demikian pula untuk menjaga kelestarian hutan, To’ Balaesan membatasi penebangan hutan hanya untuk kebutuhan warga, bukan untuk dijual. Mereka juga membuat zona khusus wilayah hutan lindung. Pada wilayah tertentu, warga diperbolehkan mengambil kayu di hutan untuk kebutuhan rumah tangga. Tetapi hanya seperlunya saja dan pada wilayah tertentu. Ini dilakukan sejak lama agar kelestarian hutan tetap terjaga. Demikianlah To’ Balaesan mempertahankan eksistensinya dengan menjaga kelestarian alam. Mereka menyadari saling ketergantungan antara ekosistem alam dengan penghidupan manusia. Bila manusia menjaga alam maka alam juga akan menyediakan sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi manusia.

Desa Rano Balaesang Bangkit dan Berjuang Pulih Dari Bencana
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan pusat gempa bumi 28 September 2018 tepat berada di Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala. Hanya berjarak puluhan kilometer dari Desa Rano Balaesang. Mungkin bisa dibayangkan betapa dahsyat guncangan gempa yang merambat sampai ke desa tersebut. Sontak seketika patahan yang ada di tengah Rano dan patahan di salah satu gunung di Desa Rano Balaesang juga ikut memperlihatkan pergerakannya. Dari pendataan yang dilakukan oleh WALHI Sulawesi Tengah bersama masyarakat terdapat 67 rumah warga yang mengalami rusak berat, termasuk beberapa rumah warga di wilayah pinggiran Danau Rano Balaesang yang berada di lokasi down lift.

Merespon situasi tersebut pemerintah desa, warga Desa Rano Balaesang dan WALHI Sulawesi Tengah kemudian menggalang solidaritas sebagai upaya pemulihan pascabencana. Berkat kerjasama, solidaritas dan kerja gotong royong dengan memanfaatkan potensi lokal, hanya berselang beberapa bulan pascabencana telah terbangun puluhan rumah tumbuh (hunian tetap) berbasis mitigasi bencana di lokasi yang ditetapkan secara partisipatif. Hingga sekarang proses pembangunan rumah tumbuh masih berlangsung. Kini telah terbangun 56 unit rumah tumbuh yang telah ditempati oleh warga korban bencana. Langkah strategis selanjutnya pemerintah desa bersama warga akan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Desa Rano Balaesang berbasis mitigasi bencana yang adil dan berkelanjutan yang nantinya akan diusulkan menjadi Peraturan Desa (Perdes).

Upaya masyarakat Desa Rano Balaesang dalam menggalang solidaritas bahu-membahu untuk bangkit dan pulih dari keterpurukan merupakan pembelajaran penting bagi korban bencana di masa mendatang. Terlebih lagi dalam hal ketersediaan sumber pangan lokal bagi korban bencana. Faktanya dalam situasi terpuruk pascabencana sekalipun masyarakat Desa Rano Balaesang tidak pernah mengalami krisis pangan. Sama sekali berbeda dengan mayoritas korban bencana yang tersebar di wilayah lain di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala yang memiliki ketergantungan sumber pangan dari pasar dan bantuan sosial.

Tak dapat dibayangkan bilamana basis-basis produksi pangan rakyat di Desa Rano Balaesang telah beralih fungsi menjadi wilayah operasi industri ekstraktif pertambangan. Dengan infrastruktur yang cukup terisolasi serta jalur komunikasi yang minim kala itu, maka dapat dipastikan masyarakat Desa Rano Balaesang akan mengalami krisis pangan yang berkepanjangan dan akan sangat sulit untuk pulih dari keterpurukan pascabencana. Karena itu menjadi penting bagi masyarakat Desa Rano Balaesang untuk menjaga dan melestarikan alam sebagai basis produksi wilayah kelora rakyat dalam rangka menjamin ketersediaan pangan dan keberlanjutan sumber penghidupan di masa yang akan mendatang.

 

[1] Ariyanto, Imran Rachman, Bau Toknok dalam Kearifan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan di Desa Rano Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala (Warta Rimba Volume 2, Nomor 2 Desember 2014)