WALHI beserta nelayan Desak Pemerintah Indonesia Cabut UU Cipta Kerja dan PP Penangkapan Ikan Terukur 

Siaran Pers bersama
Hari Nelayan 2023

 

Jakarta, 06 April 2023 – Dalam rangka memperingati hari nelayan 2023, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan gerakan nelayan di Indonesia menyampaikan desakan kepada pemerintah Indonesia untuk segera mencabut UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang baru disahkan DPR RI pada pada 31 Maret 2023 lalu. Tak hanya itu, pemerintah didesak untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan terukur. 

UU No. 6 Tahun 2023 memiliki dua problem serius, yaitu problem substansi dan problem metodologi. Keduanya sama sekali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip partisipasi publik yang adil dan transparan. Secara substansi, UU No. 6 Tahun 2023, terutama yang terkait dengan tata kuasa dan tata kelola sumber daya alam di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, merupakan copy paste dari pasal-pasal dalam UU No. 11 Tahun 2020. Semangatnya adalah mengobral sumber daya pesisir dan laut kepada investor, sekaligus meminggirkan nelayan. 

Pasal 26A dapat dijadikan contoh. Pasal ini berbunyi: Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Untuk kepentingan investasi, semangat utama pasal tersebut dapat ditebak: melanggengkan swastanisasi atau liberalisasi penguasaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 3. 

Di dalam UU No. 6 Tahun 2023, masa depan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil menghadapi bahaya besar. Zona inti konservasi laut, menurut Perppu ini, boleh diubah untuk kawasan eksploitasi, khususnya untuk kepentingan proyek strategis nasional (PSN). Lebih jauh, kawasan ekosistem esensial mangrove, baik yang ada di zona konservasi laut, maupun di luar zona konservasi laut, juga dapat diubah untuk melayani proyek tambang panas bumi. 

Problem substansi lainnya dalam UU No. 6 Tahun 2023 adalah percepatan pelaksanaan proyek untuk kepentingan industri ekstraktif. Hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat pesisir dan kelestarian pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Saat ini, pembangunan industri tambang nikel untuk kendaraan listrik, misalnya, telah terbukti menghancurkan pulau kecil, mencemari laut, dan menurunkan jumlah nelayan.  

Tidak hanya itu, industri ekstraktif juga semakin meluas terutama pada sektor minyak dan gas, seperti yang terjadi di sepanjang pesisir Bali hingga Jawa Timur. Proyek eksploitasi baik di hulu maupun di hilir semakin dipercepat untuk memenuhi kebutuhan energi fosil, seperti memperluas terminal LNG dan mempercepat eksploitasi offshore. Hal ini dikhawatirkan merusak biodiversitas ekosistem, eksistensi pulau-pulau kecil, tentu juga keberlanjutan hidup nelayan tradisional.

Dari sisi metodologi, dalam penerbitan UU No. 6 Tahun 2023 tidak ada keterbukaan informasi serta bentuk partisipasi dari masyarakat pesisir yang bermakna (meaningfull participation). Tak ada satupun kelompok nelayan atau perempuan nelayan yang tahu seperti apa wujud regulasi tersebut dan tentunya sangat mustahil dapat terlibat atau dimintai pandangan dalam perumusannya. Pada titik ini, UU tersebut sama saja dengan UU No. 11 Tahun 2020 yang diputus inkonstitusional bersyarat oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 91 Tahun 2021.  

Liberalisasi Sektor Perikanan

Tak hanya itu, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) Pada 6 Maret 2023. Hal paling berbahaya dari kebijakan ini adalah mendorong liberalisasi sumber daya perikanan sekaligus memaksa nelayan-nelayan skala kecil di Indonesia untuk berkompetisi dengan industri perikanan skala besar di lautan Indonesia.  

Penerbitan PP PIT menggambarkan hilangnya politik pengakuan pemerintah terhadap budaya bahari masyarakat Indonesia yang telah dipraktikkan oleh nelayan untuk mengelola sumber daya perikanan, secara arif dan berkelanjutan dari masa ke masa. Lebih jauh, PP PIT akan semakin melegalisasi eksploitasi sumber daya pesisir dan laut serta mempercepat perusakan terhadap pesisir dan laut di Indonesia, tempat pangan laut diproduksi secara berkelanjutan sejak dulu hingga kini.

Ruang produksi pangan laut memang terus terancam oleh kebijakan pemerintah. WALHI mencatat, sebanyak 747.363 keluarga nelayan di Indonesia terdampak oleh proyek reklamasi yang tersebar di berbagai wilayah pesisir di Indonesia. Sampai tahun 2040, pemerintah Indonesia merencanakan wilayah reklamasi lebih dari 3,5 juta hektar.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga mendorong ekspansi proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang menyebabkan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan di Indonesia kehilangan ruang hidupnya. Sampai tahun 2040, pemerintah telah merencanakan proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil seluas 12.985.477 hektar.

Di tengah semakin menurunnya daya dukung dan daya tampung laut yang menyimpan banyak kekayaan, termasuk pangan serta sebagai salah satu benteng melawan perubahan iklim. Dengan semakin meluasnya eksploitasi, maka akan mendorong kerentanan kawasan pesisir terutama pulau-pulau kecil dan semakin mengancam masa depan nelayan tradisional khususnya. Apalagi hingga sampai hari ini hak nelayan tradisional belum diakui, seperti hak mendapatkan perlindungan melalui zona tangkap nelayan tradisional, hingga zona lindung kawasan pesisir pulau-pulau kecil, seperti di sepanjang Papua, Maluku Utara, NTB, NTT, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta sampai Aceh.

Ke mana Poros Maritim Dunia?

Terbitnya UU No. 6 Tahun 2023 dan PP PIT patut dipertanyakan oleh masyarakat Indonesia. Pasalnya, dalam kampanye Pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2014 lalu, Joko Widodo mengkampanyekan poros maritim dunia (PMD) sebagai jargon unggulannya.

Setelah memenangkan Pemilu, Joko widodo mengulang penjelasan PMD pada Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN di Myanmar pada 13 November 2014. Diantara pilar terpenting PMD adalah menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.  

Menjelang berakhirnya periode kedua pemerintahannya, masyarakat Indonesia patut bertanya, kemana janji poros maritim itu kini akan berlabuh? Pertanyaan ini penting disampaikan mengingat keadilan dan keberlanjutan sumber daya pesisir dan laut kita hanya sebatas retorika. Percayakah kita kepada orang yang mengajak bergerak menuju laut sementara ia berbelok mengarah ke darat? 

Tak hanya itu, terbitnya UU No. 6 Tahun 2023 dan PP PIT patut dipertanyakan karena pemerintah sebenarnya telah diberikan mandat untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan, sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. 

Undang-undang tersebut mewajibkan pemerintah untuk menyusun skema perlindungan nelayan, di antaranya menyediakan prasarana usaha perikanan dan kemudahan mendapatkan prasarana usaha perikanan, memberikan jaminan kepastian usaha, memberikan jaminan risiko penangkapan ikan dalam bentuk asuransi nelayan, menghapus praktik ekonomi biaya tinggi, mengendalikan impor komoditas perikanan, serta jaminan keamanan dan keselamatan. 

Selain itu, UU tersebut mewajibkan pemerintah untuk menyusun skema pemberdayaan dalam sejumlah bentuk, diantaranya pendidikan dan pelatihan; penyuluhan dan pendampingan; kemitraan usaha; kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; serta penguatan kelembagaan nelayan.

Namun, setelah tujuh tahun UU Nomor 7 Tahun 2016 disahkan, pemerintah belum juga menjalankan mandat utama dalam UU tersebut. Pemerintah malah mengambil langkah lain yang berbahaya, yaitu menerbitkan PP Penangkapan Ikan terukur. 

Padahal untuk menyokong keberlanjutan pesisir dan laut, diperlukan usaha sistematis dan bersandarkan realitas dengan upaya pemulihan kawasan. Apalagi prediksi ke depan, laut adalah salah satu penyumbang cadangan pangan. Tentu dapat dibayangkan jika eksploitasi terus dilakukan, pangan menurun di daratan dan lautan, ketahanan dan kedaulatan pangan kita terancam.

Desakan Kepada Pemerintah 

Atas dasar itu, WALHI bersama dengan nelayan menyerukan desakan kepada pemerintah sejumlah hal berikut: 

  1. Mencabut UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. 
  2. Mencabut Peraturan Pemerintah Nomor. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
  3. Menjalankan mandat UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
  4. Mengevaluasi semua proyek-proyek ekstraktif yang ada di wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil, seperti reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi ekofasis, dan lain sebagainya, yang merampas ruang hidup nelayan dan merusak ekosistem laut. 
  5.  Menetapkan zona tangkap nelayan tradisional di pulau-pulau kecil.
  6. Menetapkan zona lindung ekosistem esensial di pulau-pulau kecil.
  7. Berkomitmen untuk melawan perubahan iklim dan ketidakamanan pangan dengan menerapkan kebijakan berbasis pada pemulihan pesisir dan laut.

 

Informasi selanjutnya 

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur (082145835417)
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI (081247454623)
Amin Abdullah, Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) (081805785720)
Amri Nuryadin, Direktur WALHI NTB (081237572124)
Maikel Primus Peuki, Direktur WALHI Papua (082248000233- [email protected])