Tumpang Pitu Menuntut Keadilan

Krisis Ekologi: Catatan Terkini Kasus Tumpang Pitu Dua puluh tahun pasca tumbangnya rejim otoritarian Orde Baru, ruang hidup rakyat hampir di seluruh kepulauan Nusantara terlihat terus semakin menciut. Kawasan-kawasan penting yang menjadi jantung ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi rakyat telah berubah menjadi pusat-pusat akumulasi kapital dalam berbagai bentuk (perkebunan, pertambangan, properti, infrastruktur, dsb). Dampaknya, penyingkiran, perampasan, intimidasi, dan represi terhadap rakyat dan ruang hidupnya terus meningkat tajam. Potret kebrutalan yang demikian salah satunya dapat terlihat secara jelas di Jawa Timur. Dalam catatan akhir tahun Walhi Jatim 2016, misalnya, didapatkan satu temuan yang cukup mencengangkan terkait bagaimana industri pertambangan sangat mendominasi dalam pencaplokan ruang hidup rakyat dalam kurun waktu 4 tahun belakangan (2012-2016). Dalam temuan tersebut dengan merujuk pada data Korsup KPK (Kordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk pertambangan Mineral dan Batubara, didapatkan keterangan bahwa luas lahan pertambangan di Jawa Timur mengalami peningkatan yang cukup ekstrim, yaitu dari 86.904 hektar pada tahun 2012 menjadi 551.649 hektar pada tahun 2016. Angka ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 4 tahun telah terjadi peningkatan luas lahan pertambangan sebanyak 535 persen. Dan jika angka ini dikonversi dengan luas keseluruhan wilayah daratan provinsi Jawa Timur yang berjumlah 4.792.200 hektar, maka dapat disimpulkan sementara bahwa 11,5 persen luas daratan Jawa Timur kini telah beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan. Angka ini belum ditambahkan dengan angka pencaplokan wilayah pesisir dan lautan Jawa Timur yang juga sama-sama dikuasai oleh industri migas. Walhi Jatim mencatat, saat ini terdapat 63 Wilayah Kerja Pertambangan dengan pembagian 31 Wilayah Kerja Pertambangan berstatus eksploitasi atau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama), dan 32 Wilayah Kerja Pertambangan berstatus eksplorasi. Tak heran apabila kini laju krisis sosial-ekologis dan konflik agraria tak hanya meluas di daratan, namun juga terus meningkat di kawasan pesisir, ataupun pulau-pulau kecil, khususnya bagian pesisir Utara maupun Selatan Jawa Timur, yang mencakup kepulauan Madura dan sekitarnya. Meluasnya industri ekstraktif di pesisir selatan Jawa Timur ini, terus memicu laju krisis sosial-ekologis semakin meningkat tajam dalam bentuk yang kompleks dan rumit. Hal ini salah satunya dapat kita temui dalam kasus perjuangan warga Sumberagung dan sekitarnya melawan industri pertambangan di Gunung Tumpang Pitu-Banyuwangi. Sejak beroperasinya kegiatan industri pertambangan di gunung Tumpang Pitu-Banyuwangi, yang dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI) dari sejak tahun 2012, beragam krisis sosial-ekologis dan sejumlah persoalan keselamatan ruang hidup rakyat dapat terlihat di Desa Sumberagung, dan 4 desa tetangga sekitarnya, di wilayah kecamatan Pesanggaran. Salah satu diantaranya yang masih membekas cukup kuat dalam benak warga desa Sumberagung dan sekitarnya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam. Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga telah menimbulkan beberapa persoalan penting lainnya, yakni telah membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan baru-baru ini, karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir desa Sumberagung dan sekitarnya. Dan sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka. Begitu juga dengan beberapa sumur milik warga diduga mulai tercemar dan terasa kecut karena penurunan kualitas lingkungan. Hal ini belum ditambahkan dengan sejumlah peningkatan pencemaran dan polusi tanah, udara, suara yang juga cukup signifikan. Bagi nelayan Desa Sumberagung, Banyuwangi, keberadaan gunung Tumpang Pitu memiliki setidaknya dua peran penting. Pertama, Gunung Tumpang Pitu adalah ‘tetenger’ bagi mereka saat melaut. Setiap pagi, ketika mereka berada di laut lepas, titik yang mereka cari untuk menentukan arah adalah pulau Nusa Barong di sebelah Barat, Gunung Agung di sebelah Timur dan Gunung Tumpang Pitu ditengah-tengahnya. Jika Gunung Tumpang Pitu menghilang maka bisa dipastikan, mereka akan kehilangan salah satu tetenger daratan yang menjadi acuan arah.   Kedua, Gunung Tumpang Pitu adalah benteng bagi perkampungan komunitas nelayan yang tinggal di pesisir teluk Pancer dari ancaman angin Tenggara yang terkenal ganas pada musim-musim tertentu. Selain itu ia juga berfungsi sebagai benteng utama terhadap bahaya ancaman gelombang badai tsunami. Sebagaimana pernah dicatat, pada tahun 1994, gelombang tsunami telah menyapu kawasan pesisir Pancer dan merenggut nyawa sebanyak 200 orang. Bagi warga, saat itu keberadaan Gunung Tumpang Pitu, dikatakan mampu meminimalisasi jumlah angka korban, sehingga cukup dipastikan jika Tumpang Pitu menghilang, ancaman ini akan berpotensi besar dalam merenggut jumlah korban yang lebih banyak pada masa mendatang.   Gunung Tumpang Pitu merupakan kawasan penting bagi penduduk Sumberagung dan desa-desa sekitarnya. Selain berfungsi sebagai pusat mata air yang mampu mencukupi kebutuhan pertanian dan konsumsi rumah tangga, di sanalah sebagian besar penduduk, khususnya kaum perempuan, mencari beberapa tanaman obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara turun temurun. Namun, pasca beroperasinya PT. BSI dan PT. DSI, yang keduanya adalah anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold Tbk, relasi antara warga dan gunung Tumpang Pitu menjadi terputus. Apalagi sejak ditetapkannya kawasan pertambangan Tumpang Pitu menjadi Objek Vital Nasional pada 2016 melalui SK Menteri Nomor: 631 K/30/MEM/2016. Melihat kondisi terkini, akibat terus meluasnya kegiatan indutri pertambangan di gunung Tumpang Pitu, selain telah berdampak secara serius terhadap penurunan kualitas lingkungan juga memicu penurunan pendapatan ekonomi kelompok nelayan, petani dan pegiat pariwisata rakyat Desa Sumberagung dan sekitarnya.