Tambang dan Pabrik Semen Manggarai Timur : Siapa Untung Siapa Buntung?

Diskusi Mama Bi’an (Malam Jumat Bicara Alam NTT) bersama WALHI NTT Seri 18 Juni 2019 mengangkat topik tentang rencana pembangunan tambang batu gamping sekaligus pabrik Semen di kampung Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda Manggarai Timur. Diskusi ini menghadirkan para pemerhati lingkungan, mahasiswa, serta masyarakat terdampak untuk melihat sejauh mana dampak yang akan ditimbulkan oleh tambang ini bagi lingkungan dan masyarakat petani di lokasi lingkar tambang.

WALHI NTT dalam pengantarnya, menyampaikan bahwa keberadaan dari tambang dan pabrik semen di Kampung Luwuk Manggarai Timur akan mengancam satu-satunya ekoregion perbukitan karst di Pulau Flores dimana karst itu telah disahkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan surat Nomor  SK.8/Menlhk/Setjen/PLA.3/1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia. Jika tambang dan pabrik semen ini dibangun, suplai air bersih bagi masyarakat akan terganggu.

Maximus Rembung, perwakilan masyarakat terdampak, menyatakan bahwa sebelumnya aktivitas pertambangan mangan oleh PT Istindo Mitra Perdana yang pernah beroperasi di desanya yang masih satu lokasi dengan tambang batu gamping ini menyebabkan debit air berkurang dan sawah-sawah berhenti produksi selama tiga tahun. Oleh karena itu Maximus sangat menolak kehadiran tambang ini. Apalagi ia menambahkan bahwa lahan perkebunan dan pertanian warga semakin sempit. Menyempitnya wilayah kelola masyarakat Luwuk-Lingko Lolok akan membuat masyarakat mengalami kesulitan dalam hal ekonomi sebab mata pencaharian masyarakat sebagian besar adalah petani. Harapannya, kedepan pemerintah Kabupaten maupun Gubernur meninjau kembali rencana pembangunan tambang dan pabrik semen oleh PT.Istindo Mitra Manggarai (IMM) dan PT Singa Merah. Bila perlu ijinnya dicabut karena akan merusak lingkungan dan membuat masyarakat melarat.

Dari pihak mahasiswa, dalam hal ini Hendrikus Mandela selaku Ketua PMKRI Ruteng, menyatakan menolak keberadaan tambang dan pabrik semen di Manggrai Timur. Alasannya, tambang galian c sebelumnya saja pemerintah kabupaten belum mampu menanganinya apalagi tambang yang direncanakan dengan skala besar ini. Selain itu, Heri juga menyampaikan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus semen sehingga keberadaan tambang batu gamping untuk bahan baku semen bukan hal yang urgent untuk saat ini. Senada dengan Hendrikus, Soeratman dari Aliansi Pemuda Reo Tolak Tambang juga menyatakan sikap menolak. Dirinya menilai Pemerintah Daerah Manggarai Timur dalam hal ini Bupati Agas terlalu terburu-buru untuk menerima investasi tambang ini. Harus ada kajian lebih lanjut terkait Rancangan Tata Ruang Wilayah untuk wilayah tambang tersebut. Aliansi Pemuda Reo Tolak tambang juga meminta agar Bupati Agas dapat mengakomodir suara-suara masyarakat sebab hasil temuan lapangan menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk ijin mendirikan tambang tersebut, masyarakat tidak dilibatkan.

Flory Santosa, perwakilan Diaspora Manggarai Raya yang hadir sebagai salah satu narasumber dalam diskusi tersebut menambahkan bahwa alih-alih mementingkan investor pertambangan, Pemda Manggarai Timur harusnya lebih mementingkan ketersediaan air bagi ternak-ternak dan ladang persawahan milik warga. Kemudian yang kedua adalah meyediakan infrastruktur agar warga mudah mengakses pasar untuk memasarkan hasil pertanian dan peternakan.  Hal ini agar sesuai dengan RPJMD milik Gubernur Sendiri yakni pembangunan yang berbasis masyarakat. Flory sendiri berpendapat bahwa tambang batu gamping dan pabrik semen ini akan sangat merugikan masyarakat dan juga tidak menguntungkan bagi Pemda. Pemda jangan bermimpi untu menjadikan tambang dan pabrik semen ini sebagai solusi bagi peningkatan PAD Manggarai Timur. 8 Juta Ton Semen Per Tahun menghasilkan 48 Miliar bagi PAD hanya omong kosong. Ia mencontohkan perusahaan semen di Jawa Timur yang menghasilkan 12 juta Ton semen per tahun hanya memberi 12 Miliar bagi  PAD Jawa Timur.

Pater Simon Suban Tukan, tokoh agama dari JPIC SVD Ruteng menegaskan bahwa pihaknya mendukung apa yang diperjuangkan oleh masyarakat dan kelompok-kelompok tertentu dalam menolak hadirnya tambang dan pabrik semen di Manggarai Timur. Selain secara ekologis dan geologis, Ia menekankan bahwa keberadaan tambang dan pabrik semen tersebut juga berpengaruh secara sosial. Belum beroperasi saja, perpecahan dan konflik di antara masyarakat sudah terjadi. Selain itu budaya masyarakat yang secara adat sangat terkait dengan tanahnya juga akan mengalami kemerosotan. Berkaca pada aktivitas tambang mangan yang sebelumnya juga dilakukan oleh PT Istindo Mitra Perdana yang berdampak banyak pada kesehatan masyarakat seperti ISPA, gangguan syaraf dan lever, Pater Simon juga menyatakan bahwa tambang dan pabrik semen ini juga akan menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat. Apalagi lokasi penambangan sangat dekat dengan pemukiman masyarakat yang cukup padat. Diakhir penyampaiannya, Pater Simon meminta kepada Pemerintah khususnya Pemda Kabupaten Manggarai Timur untuk lebih mengutamakan konsep pembangunan yang berdasar pada lokalitas masyarakat yakni pertanian dan peternakan.

Melky Nahar, Koordinator Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAM), menyorot daya rusak terkait eksisnya tambang batu gamping dan pabrik semen di Manggarai Timur ini. Pertama, persoalan tanah yang terjadi tidak hanya ada alih-fungsi lahan dari perkebunan dan pertanian menjadi pertambangan, tetapi juga adanya potensi pencemaran tanah. Kedua persoalan pencemaran air. Warga Lingko Lolok sendiri masih mengandalkan air sumur sehingga ketika tambang dan pabrik semen ini beroperasi, sumber air akan tercemar bahkan bisa hilang. Potensi pencemaran ini tidak hanya akan dialami oleh masyarakat di Luwuk dan Lingko Lolok tetapi juga warga di sekitar yang mengakses air dari sumber yang sama

Potensi kerusakan yang kemudian adalah di wilayah pesisir dan laut. Pencemaran oleh tambang, PLTU dan pabrik semen akan berdampak pada nelayan dan konsumsi pangan laut. Melky menekankan bahwa Rata-rata ikan yang masuk ke daerah Manggarai adalah dari Reo. Debu yang akan ditimbulkan tidak hanya berpotensi mencemari warga tetapi mencemari tanaman dan sumber air warga seperti yang terjadi di Puger Jember, Rembang. Dengan demikian, menurut Melky, sangat tidak rasional dan relevan jika dasar pemberian ijin kepada PT IMM dan PT Singa Merah untuk beraktivitas adalah RTRW. Memperdebatkan pelibatan masyarakat dalam pemberian ijin pada  masyarakat juga dinilai tidak relevan karena pada dasarnya persoalan yang akan timbul lebih membahayakan.

Dengan demikian, dari diskusi ini dapat disimpulkan bahwa pihak yang akan buntung dengan hadirnya kedua perusahaan tersebut adalah masyarakat. Sementara di satu sisi pihak koorporat akan diuntungkan. Pemerintah sendiri dalam hal ini Pemda Manggarai Timur dan Pemprov NTT dinilai menjadi penyedia karpet merah bagi koorporasi.