Saran, Pendapat dan Tanggapan Terhadap Revisi Baku Mutu Udara Ambient dalam Lampiran Rancangan Peraturan Pemerintah Pengelolaan Kualitas Udara

Jakarta, 21 November 2017. Koalisi Clean Air Action (Gerak Bersihkan Udara) yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyerahkan dokumen Saran, Pendapat dan Tanggapan Terhadap Revisi Baku Mutu Udara Ambient dalam Lampiran rancangan Peraturan Pemerintah Pengelolaan Kualitas Udara kepada Direktur Pengendalian Pencemaran Udara, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Rencana KLHK untuk merevisi PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang mencakup kerangka hukum utama pengelolaan kualitas udara di Indonesia serta baku mutu udara ambien telah terkatung-katung prosesnya selama tujuh tahun. Revisi PP No. 41 Tahun 1999 ini dimandatkan sejak tahun 2009 dalam UU No. 32 Tahun 2009 dengan batasan waktu 1 (satu) tahun.
Penetapan baku mutu udara ambien hendaknya tetap mencakup pencemar utama yang telah ditetapkan pada PP No 41/1999 dengan pengetatan batas konsentrasi berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan mengenai level yang aman dan dapat menjamin kesehatan manusia.

Selain itu, RPP diharapkan memberikan kerangka hukum yang memungkinkan penambahan parameter berdasarkan penelitian pada parameter beracun dan berbahaya (HAPs atau hazardous air pollutants). Koalisi memberikan masukan nilai baku mutu berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan terkini untuk 13 parameter yang harus tetap dipertahankan pada Revisi Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Udara mengingat masing-masing parameter pencemaran tersebut memiliki risiko spesifik dan unik terhadap kesehatan masyarakat. 

Parameter PM 2.5 misalnya, sudah terbukti melalui berbagai penelitian global sebagai salah satu pencemar yang paling terkait dengan kesehatan publik dan mengakibatkan angka kematian dini paling signifikan.  Hubungan sebab-akibat antara tingkat PM 2.5 dan penyakit kardiovaskular dan paru sudah tidak diragukan lagi.  Badan Internasional untuk Penelitian Kanker telah melaporkan bahwa partikel udara dan polusi udara ambien terbukti merupakan kelompok 1 karsinogenik, artinya terbukti menyebabkan kanker pada manusia. Untuk itu, PM 2.5 sangat penting diperketat dalam standar ambien udara yang akan direvisi.

“Partikel debu halus (PM 2.5) ini menjadi salah satu parameter yang sangat penting diperketat. Dalam RPP Pengendalian Kualitas Udara, konsentrasi baku mutu ambien yang diusulkan KLHK hanya 60 μg/m3 dalam rata-rata hariannya, jauh lebih longgar dari panduan WHO yaitu 25 μg/m3.” ucap Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. Baku mutu ambien untuk rata-rata per tahun juga masih di belakang panduan WHO, tidak berubah dari PP No. 41 Tahun 1999 pada angka 15 μg/m3, ketika panduan WHO menyarankan 10 μg/m3.

Di sisi lain, Dwi Sawung, Pengkampanye Urban dan Energi dari WALHI, menegaskan pentingnya pengaturan parameter pencemar berbahaya dan beracun, “Penambahan HAP (hazardous air pollutant) penting diatur dalam batang tubuh dan untuk parameter yang telah diyakini sebarannya di semua tempat perlu menjadi lampiran tersendiri dalam rancangan peraturan pemerintah terbaru. Parameter pencemar berbahaya dan beracun kerap kali diabaikan dalam aturan baku mutu ambien,” ujar Sawung. Ia menambahkan, “Kasus kebakaran hutan bisa menjadi contoh bagaimana pencemaran udara yang berdampak luas dan panjang, dengan beberapa parameter pencemar beracun, bisa lolos dari jerat hukum,” lanjutnya.

Sementara itu, Margaretha Quina, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan dari ICEL menggarisbawahi pentingnya pengaturan dalam batang tubuh RPP Pengendalian Kualitas Udara mengenai pertimbangan dalam menetapkan baku mutu udara ambien serta mekanismenya. “Rancangan yang ada sekarang sudah jauh lebih progresif dari PP No. 41 Tahun 1999 karena mensyaratkan baku mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria, utamanya perlindungan terhadap kesehatan publik. Ini harus dijaga tetap ada hingga RPP ini disahkan,” ujarnya. “Selain itu, KLHK perlu mempersiapkan mekanisme yang jelas untuk memastikan akuntabilitas dalam proses penetapan standar. Misal, bagaimana baku mutu ditentukan berdasarkan studi termutakhir? Siapa yang harus dilibatkan? Bagaimana masyarakat dapat memberikan masukan?” lanjut Quina.

Penelitian KPBB menunjukkan, bahwa masyarakat di Indonesia terutama mereka yang tinggal di kawasan dengan tingkat kepadatan lalu lintas yang sangat tinggi, kawasan dengan industrialisasi yang sedemikian massif dan intensif, sekitar pembangkit listrik, sekitar TPA sampah, selain kawasan dengan risiko kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun; adalah kelompok berisiko tinggi terpapar oleh pencemaran udara.  “Mereka berada di kawasan zona merah pencemaran udara yang berisiko terjangkit penyakit dan atau sakit karena pencemaran udara seperti ISPA (infeksi saluran pernafasan akut), asma, pneumonia, bronchopneumonia, COPD (chronical obstructive pulmonary dieses; atau penyempitan salaruna pernafasan), jantung coroner (coronary artery dieses), berbagai kanker terutama kanker paru-paru dan saluran pernafasan”, demikian uraian Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB. 

Penelitian KPBB sejak 2001 juga menunjukkan bahwa pollutant timbel (Pb) adalah neurotoxin yang menyebabkan sakit atau penyakit terkait fungsi syaraf, juga menyebabkan penurunan point IQ dan tingkat kecerdasan pada anak, hipertensi pada orang dewasa, terganggunya fungsi ginjal, jantung coroner, hingga kematian dini.  Jika dulu pollutant timbel didominasi dari emisi dari kendaraan bermotor yang menggunakan bensin bertimbel, kini diemisikan oleh peleburan logam terutama daur ulang aki bekas.  Sementara pollutant hydro-carbon (HC) yang hampir 90% diemisikan oleh kendaraan bermotor, selain menyebaban sakit/penyakit akut terkait iritasi mata misalnya, juga memiliki sifat kronis yang menyebabkan terjadinya kanker sebagaimana disinggung di atas melalui pemaparan PAH (polycyclic aromatic hydrocarbon) dan asam benzene. 

Dampak negative terhadap kualitas udara juga disumbangkan oleh penggunaan bahan bakar minyak untuk transportasi, gas buang yang beracun seperti karbon dioksidan (CO2), nitrogen oksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2) yang menyebabkan gas hujan asam dan pemanasan global. Hal tersebut diperparah ketika di kota-kota besar degan pengguna transportasi pribadi yang sangat tinggi akibat buruknya transportasi masal menyebabkan menumpuknya gas buang beracun yang menyebabkan buruknya kualitas udara, juga ditambah rendahnya kualitas bahan bakar yang digunakan saat ini yang masih menggunakan kandungan octane number (RON) 88 (premium) dan RON 90 (Pertalite) dan masih kalah jauh dengan Malaysia yang bahan bakar dengan RON terendah untuk kendaraan bermotornya yaitu  RON 95 yang setara dengan jenis pertamax turbo.

Oleh karena itu, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan “perlu adanya kesesuaian kendaraan dengan bahan bakar yang tidak mengakibatkan dampak negative terhadap kesehatan dan lingkungan dan juga pentingnya menanamkan kesadaran kepada masyarkat akan dampak negative yang serius dari produk yang digunakannya terhadap kesehatan serta lingkungan dan itu menjadi tanggung jawab konsumen untuk turut menjaga kelestarian lingkungan”.

 

Narahubung:
Ahmad Safrudin-KPBB: +62 816897959
Bondan Andriyanu-Greenpeace Indonesia: +62 8118188182
Dwi Sawung-WALHI: +62 8156104606
Margaretha Quina-ICEL: +62 81287991747
Rosita Eva-YLKI: +62 85723594091