[Rilis] Food Estate; benarkah atas nama pemenuhan hak pangan?KLHS bukan stempel proyek food estate!

Siaran Pers. 17 Februari 2021

Food Estate; benarkah atas nama pemenuhan hak pangan?
KLHS bukan stempel proyek food estate!

Keterlibatan Kementerian Pertahanan dalam proyek Food Estate, terlebih ditambah pernyataan presiden Jokowi yang mengatakan akan melibatkan komponen cadangan (KOMCAD) dalam proyek pangan. Pada sisi lain terbitnya Perpres yang melibatkan sipil dalam komponen cadangan (KOMCAD) juga menambah kompleksitas dan problem tersendiri. Bahkan dalam paparan kementerian PPN/BAPPENAS, konsep pengembangan food estate dikenal 2 mekanisme, militer dan non-militer. 

Saat ini Kalimantan Tengah telah memasuki tahap pembahasan awal KLHS untuk Food Estate, sayangnya kami menangkap kesan bahwa KLHS hanya dijadikan justifikasi untuk pembukaan Food Estate, harusnya KLHS menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan, rencana, dan program, bukan hanya menjadi tahapan administratif dalam sebuah proyek. 

Dalam paparan Kementerian Pertahanan, di paparan awal KLHS, setidaknya 486.164 Ha lahan awal di Kalimantan Tengah berasal dari Kawasan Hutan (Lahan AOI, Blok Katingan, Kapuas, Blok Gunung Mas).

Sebuah proyek yang dipimpin oleh Kementerian Pertahanan di wilayah Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah untuk komoditas Singkong telah membuka sekitar 700 hektar hutan alam di kawasan hutan produksi dalam lima bulan terakhir tanpa ada dokumen AMDAL, Proyek ini juga telah menabrak berbagai aturan termasuk kewajiban atas dokumen legalitas kayu (SLVK) dan Izin Pemanfaatan Kayu yang justru akan menghancurkan hutan alam dan mencederai komitmen pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim dari sektor kehutanan dan tata guna lahan. 

Dalam arahan presiden RI pada Ratas Food Estate 23 September 2020, setidaknya ada 3 tujuan food estate yang disampaikan. (1) mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi COVID-19, (2) mengantisipasi perubahan iklim, (3) mengurangi ketergantungan impor.

Ketiga alasan diatas menjadi tidak berdasar melihat fakta saat ini, (1) alasan COVID-19 justru harusnya dijawab dengan desentralisasi produksi pangan, serta memberikan dukungan langsung pada petani, baik pada faktor produksi maupun ketersediaan lahan, mengingat ketimpangan kepemilikan lahan masih tinggi. (2) Argumentasi perubahan iklim menjadi tidak berdasar, merujuk catatan IPCC dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pemerintah indonesia salah satu faktor penyumbang emisi terbesar berasa dari sektor AFOLU (agriculture, Forestry, Other Land Use/Pertanian, Kehutanan, dan alih fungsi lahan lainnya). (3) argumentasi ketergantungan impor, justru menunjukkan ketidak-konsistenan saat omnibus law disetujui justru melonggarkan hal ini, pada sisi lain proyek pangan skala luas belum pernah terbukti berhasil.

Selain itu, rencana pelibatan Komponen Cadangan (KOMCAD) dalam proyek lumbung pangan (food estate) yang dipegang oleh Kementerian Pertahanan jelas menyalahi tujuan dari pembentukan KOMCAD itu sendiri, yaitu untuk membantu TNI dalam mengatasi ancaman militer (perang). Komponen cadangan adalah mereka yang dibekali dengan pelatihan dasar kemiliteran selama 3 bulan, dalam hal ini tentunya tidak tepat dan keliru ketika akan dikerahkan untuk keperluan pengembangan proyek lumbung pangan (food estate). 

Mobilisasi Komcad untuk kebutuhan selain menghadapi ancaman militer sejatinya bukan merupakan tanggungjawab kementerian pertahanan, melainkan tanggungjawab kementerian yang fokus membidangi urusan tertentu, dalam hal ini adalah Kementerian Pertanian. Untuk itu, pihak yang dilibatkan dalam pengembangan proyek lumbung pangan (food estate) seharusnya adalah mereka yang terampil dan mempunyai pengetahuan dan keahlian dalam urusan pertanian, pangan dan lain-lain, bukan mereka yang hanya dibekali pelatihan dasar kemiliteran. Dengan demikian, maka istilah yang tepat digunakan dalam konteks ini bukanlah komponen cadangan (komcad) melainkan relawan.

Melihat kondisi saat ini, terlebih kita baru saja diingatkan bahwa pengabaian terhadap lingkungan hidup akan berbuah pada bencana ekologis, saatnya menghentikan proyek-proyek yang mengabaikan hak masyarakat dan lingkungan hidup. 

Narahubung:
WALHI Kalteng, Dhimas 0813 5270 4704
Greenpeace Indonesia, Asep 0813 1072 8770
IMPARSIAL, Ardi 0812 6194 4069
Eknas WALHI, Wahyu A. Perdana 0821 1239 5919