Respon Jelang Pidato Presiden dalam Sidang Tahunan MPR 2020

Siaran Pers

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Jakarta, Jumat, 14 Agustus 2020 – Pagi ini sekitar pukul 09.48, Presiden Joko Widodo dijadwalkan akan menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR. Ia diagendakan menyampaikan pidato kinerja lembaga-lembaga negara dan pidato HUT kemerdekaan RI ke-75. Memperhatikan agenda ini, WALHI dengan tegas menaruh kecewa pada MPR-RI. Lembaga Negara yang terdiri dari forum anggota DPR-RI dan DPD-RI lupa dengan amanat sejarah produk hukum fenomenal yang diciptakannya: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR Nomor IX/MPR/2001). WALHI juga berkeyakinan bahwa Presiden sama buruknya dengan MPR. Beliau lupa atau tidak menaruh perhatian pada kewajiban yang diembannya sesuai amanat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001.

“TAP MPR IX/2001 lahir guna menjawab persoalan kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan sosial-ekonomi, dan kerusakan lingkungan akibat praktik buruk mengoperasikan politik, hukum, dan ekonomi selama Orde Baru benar-benar dilupakan oleh Pemerintah, DPR dan MPR,” ujar Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati.

Padahal TAP MPR yang ditetapkan pada 9 November 2001 ini memberi perintah tegas kepada Presiden bersama DPR untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Mereka diperintahkan untuk mengevaluasi dan selanjutnya mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksana yang bertentangan dengan semangat pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Selanjutnya, Presiden diperintahkan untuk melakukan penataan ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan mengedepankan teknologi ramah lingkungan. Pelaksanaan dua perintah pokok TAP MPR ini selanjutnya diperintahkan untuk dilaporkan Presiden setiap sidang tahunan MPR. Sepanjang sejarahnya, tidak ditemukan informasi pelaporan pelaksanaan perintah TAP MPR ini dalam sidang tahunan MPR, termasuk selama lima tahun pertama pemerintahan Joko Widodo.

Nur Hidayati menegaskan pidato Presiden kali ini diyakini akan diawali potret krisis, dari situasi pandemi Covid-19 hingga pertumbuhan ekonomi yang mencapai angka minus. Selanjutnya, Presiden Jokowi akan mengajak kita semua bergandeng tangan, bersolidaritas, dan menawarkan investasi sebagai solusi lepas dari krisis.

“Apabila tawaran solusi investasi benar disampaikan Presiden, sama artinya presiden mengulang dan melanjutkan kebijakan Orde Baru yang gemar mejual cepat nan murah sumber daya alam. Karena itu, jika benar forum sidang tahunan kali ini berlangsung demikian, maka ini menjadi panggung nyata pengkhianatan kepada rakyat. Catat! Presiden dan MPR berkhianat terhadap perintah TAP MPR IX/2001,” sebut Nur Hidayati.

WALHI telah berulang kali memotret ketimpangan penguasaan sumber agraria dan sumber daya alam. Dalam catatan WALHI, sekitar 61,46% daratan Indonesia dikuasai oleh konglomerat dan oligarki untuk bisnis kehutanan, pertambangan, dan migas. Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 mencatat ratio gini penguasaan lahan telah menyentuh angka 0,68. Hal itu berarti bahwa 68% lahan di Indonesia hanya dikuasai 1% penduduk. Dominasi penguasaan ruang ini juga turut mengakibatan kerusakan lingkungan dan turut meningkatkan pertumbuhan bencana ekologis tiap tahunnya. Salah satu contohnya, kejadian banjir dan longsor di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Pemerintah secara terbuka mengakui peristiwa ini terjadi karena praktik deforestasi yang salah satunya dipergunakan untuk perkebunan sawit.

“Jika perkembangan pelaksanaan TAP MPR IX/2001 kembali tidak dilaporkan, maka ini mempertegas fakta bahwa Presiden dan DPR sama sekali tidak menaruh perhatian untuk melaksanakan kewajiban TAP MPR IX/2001. Pengesahaan RUU Perubahan UU Minerba pada Mei lalu dan getolnya pemerintah dan DPR untuk mendorong paket omnibus law, khususnya RUU Cipta Kerja, menjadi bukti bahwa produk hukum yang didorong tidak untuk kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Dengan begitu, proses legislasi berlangsung hanya sekadar untuk melayani kepentingan investasi. Dan ini sangat bertentangan dengan semangat TAP MPR IX/2001.

Kekhawatiran terhadap krisis akibat Covid-19 yang belakangan sering disampaikan Presiden Jokowi, seharusnya didasarkan pada argumen  ilmiah bahwa pandemi ini merupakan dampak dari penyakit zoonosis. Penyakit ini lahir karena kerusakan lingkungan. Sehingga, rencana dan tawaran solusi pemulihan pascapandemi harus berubah. Tidak lagi semata bersandar pada praktik ekonomi ekstraktif yang menyesengsarakan rakyat, mengakibatkan kerusakan lingkungan, dan hanya menguntungkan segelintir kelompok oligarki. Apabila pilihan solusi masih sama yakni mengandalkan investasi skala besar, maka sajian potret krisis dan seruan solidaritas hanya menjadi sebuah bumbu penenang. Solusi semacam itu akan menjadi bom waktu. Dan krisis agraria dan ekologi yang lebih besar sudah menanti di kemudian hari. 

Narahubung:

  • Ode Rakhman (081356208763);
  • dst