RCEP Menguntungkan Korporasi, Merugikan Rakyat

Jakarta, Senin, 24 Juli 2017. Tak sedikit kekhawatiran yang disampaikan berbagai pihak terkait negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang saat ini memasuki putaran ke-19 di Hyderabad, India, pada 18-28 Juli 2017. Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi yang terdiri dari sejumlah LSM dan organisasi masyarakat sepakat bahwa perkembangan yang terjadi dalam perundingan RCEP semakin menunjukkan keberpihakan pada korporasi, dan berpotensi untuk memperburuk situasi kehidupan rakyat, khususnya rakyat kecil seperti petani, nelayan, pasien, buruh, pelaku usaha kecil, dan perempuan, di ke-16 negara anggota RCEP. Koalisi ini juga mendesak kepada Pemerintah Indonesia dan seluruh negara anggota RCEP untuk membuka teks perjanjian perundingan perdagangan bebas kepada publik dan membuka partisipasi publik dalam perundingan agar RCEP tidak bertentangan dengan hak-hak dasar publik.

Dampak RCEP Terhadap Sektor Pangan Menyikapi hal tersebut, Kartini Samon, peneliti dari GRAIN memaparkan “Bab investasi dan perdagangan sektor jasa yang dirundingkan dalam RCEP berpotensi membuka pintu bagi investor dari negara anggota RCEP untuk memiliki tanah pertanian di negara anggota lainnya, dibawah aturan “national treatment” pemerintah diwajibkan untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap investor lokal dan asing. Hal ini dapat meningkatkan potensi konflik lahan yang sudah tinggi di Indonesia saat ini dan semakin meminggirkan petani kecil.” Zainal Arifin Fuad dari Serikat Petani Indonesia (SPI) juga berpendapat bahwa RCEP menjadi ancaman baru bagi kaum tani, baik dari sisi alat produksi seperti tanah, air dan benih, maupun dari sisi distribusi. Bab  perdagangan jasa misalnya akan membuat pemerintah kehilangan haknya untuk membatasi operasi rantai retail yang datang dari negara anggota RCEP (‘market access’). Bahkan perjanjian perdagangan ini akan membuat pemerintah tidak berhak meminta para penyedia jasa layanan distribusi pangan untuk terdaftar atau memiliki perwakilan legal dan fisik di negara anggota RCEP dan atau memastikan sekian persen supply berasal dari produsen lokal. Maka RCEP juga bertentangan dengan program Kedaulatan Pangan dan Reforma Agraria Pemerintah Indonesia. Tidak ada pilihan selain menghentikan negosiasi RCEP,” tambah Zainal  yang senada dengan berbagai LSM dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi ini. Puspa Dewi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, menyatakan bahwa perempuan berperan penting dalam produksi pangan subsisten yang menjamin pangan dan gizi masyarakat. Namun, RCEP akan menghilangkan ini dan menghentikan perempuan untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam pengelolaan pangan yang digantikan oleh sistem modern oleh korporasi. “Untuk itu, kami bersama-sama dengan perempuan adat, perempuan tani, perempuan nelayan, dan perempuan lainnya yang termarjinalkan secara tegas menolak RCEP”, pungkasnya.

Dampak Perlindungan HaKI untuk Investor Dalam RCEP Berdasarkan bocoran teks Intellectual Property Rights (IPR) RCEP negara anggota akan diwajibkan untuk masuk menjadi anggota sistem paten internasional UPOV 1991. Hal ini akan menghambat kebebasan petani untuk mengembangkan dan mendistribusikan benih-benih lokal serta meningkatkan harga benih antara 200 hingga 600% berdasarkan situasi yang dialami petani di negara tetangga seperti Thailand dan Filipina. Situasi ini akan semakin meningkatkan dominasi dan keuntungan produsen benih dan pestisida multinasional, sementara memperburuk situasi 25 juta rumah tangga petani kecil di Indonesia dan lebih dari 420 juta rumah tangga petani kecil di 16 negara anggota RCEP. "Padahal secara  nasional dalam perundangan kita terkait sistem budi daya pertanian dan perbenihan, atas keputusan Mahkamah Konstitusi petani mempunyai hak untuk melakukan pemuliaan benih dan mendistribusikannya" ujar Achmad Yakub dari Bina Desa.” Demikian juga dalam pembangunan kawasan pedesaan melalui dana desa untuk pengembangan  BUMDes, produk unggulan desa (prudes) juga terancam layu sebelum berkembang bila RCEP diterapkan.  "Sudah sewajibnya negara dalam berbagai perundingan mendorong semangat konstitusi kita, yakni kerjasama pembangunan berbasis solidaritas internasional, bukan justru saling dominasi ekonomi" tegas Yakub. Senada dengan itu, Sindi Putri dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengemukakan potensi ancaman RCEP terhadap akses obat terjangkau. “Ketentuan dalam RCEP mengenai Hak Kekayaan Intelektual seperti perpanjangan masa paten dan data eksklusifitas akan dapat merugikan banyak orang di seluruh dunia yang mengandalkan obat-obatan generik yang terjangkau,” ujar Sindi yang menilai keberadaan RCEP mempersulit Indonesia untuk memaksimalkan fleksibilitas dari The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) guna menjamin obat terjangkau yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Dampak Jaminan Perlindungan Investor Asing Dalam RCEP Praktek dominasi dan monopoli korporasi asing dalam perekonomian Indonesia akan semakin terlindungi di dalam RCEP, melalui bab investasi. Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) memaparkan bahwa Selain memuat aturan perlindungan yang wajib dilakukan oleh Host State kepada investor, bab ini juga memuat mekanisme sengketa yang dapat digunakan oleh investor menggugat negara secara langsung jika dianggap negara menerapkan kebijakan yang merugikannya. Atau dikenal dengan nama Investor-State Dispute Settlement (ISDS). “Pemerintah Indonesia harus menolak Mekanisme ISDS dalam RCEP, hal ini sejalan dengan kebijakan yang telah diambil Pemerintah ketika melakukan termination terhadap Bilateral Investment Treaty (BIT) yang beralasan karena Mekanisme ISDS dianggap merugikan Indonesia”. Senada dengan itu, Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI menambahkan ”RCEP tidak boleh lagi memberikan perlakuan istimewa kepada investor asing melalui sistem arbitrase internasional yang memungkinkan mereka melewati sistem hukum nasional untuk mengajukan tuntutan hukum kepada pemerintah, selain itu investasi harus tunduk pada evaluasi yang mencakup partisipasi masyarakat sipil dan penilaian dampak lingkungan dan hak asasi manusia” Model perjanjian perdagangan bebas yang didorong selama ini hanya menguntungkan korporasi baik asing maupun nasional yang pada akhirnya akan memperparah ketimpangan sebagaimana terlihat dari 59 persen sumberdaya agraria hanya dikuasai oleh 1 persen orang selain memperparah kerusakan lingkungan hidup dan iklim melalui penguasaan dan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan perkebunan kayu skala besar. ”Perjanjian pedagangan harus didasarkan pada solidaritas internasional, selaras dengan komitmen internasional terhadap perubahan iklim, lingkungan, tenaga kerja, hak asasi manusia, dan kesehatan masyarakat. Pemerintah, masyarakat yang terkena dampak dan organisasi masyarakat sipil dapat meminta pertanggungjawaban investor jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban tersebut.” Pungkasnya. Masih kaitannya dengan kontrol dan dominasi investor asing terhadap kehidupan rakyat, Koordinator KRuHA (Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air), Muhammad Reza menjelaskan Perdagangan bebas ala rcep hanya akan mengakselerasi komodifikasi dan komersialisasi hajat hidup orang banyak, semakin memperlemah peran negara. “contoh yang paling konkrit adalah ketika negara tidak berdaya dalam upaya memutus kontrak privatisasi air di Jakarta dan upaya mengubah kontrak karya freeport menjadi Ijin”, tegasnya Rachmi juga menjelaskan bagaimana aturan RCEP juga memberikan privilege bagi dominasi dan monopoli korporasi besar adalah juga yang terjadi dalam isu digital, dimana aturan larangan diskriminasi terhadap produk digital telah menimbulkan kompetisi yang tidak adil dan berimplikasi terhadap start-up lokal. masuknya pemain kelas dunia dalam e-commerce di Indonesia seperti OLX dan Lazada dengan suntikan dana asing membuat kedua perusahaan ini mendominasi praktek e-commerce di Indonesia. Hal ini menimbulkan tantangan besar bagi perkembangan start-up lokal” terang Rachmi. *****

Koalisi Masyarakat Untuk Keadilan Ekonomi: Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia AIDS Coalition (IAC), Solidaritas Perempuan (SP), Serikat Petani Indonesia (SPI), Bina Desa, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), SERUNI, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Satu Dunia, SafeNet.  

Narahubung

Yuyun Harmono: 081385072648 Achmad Yakub: 0817712347
Arieska Kurniawaty: 081280564651 Sindi Putri: 087878407551
Rachmi Hertanti: 08174985180 Zainal Arifin Fuad: 081289321398
Kartini Samon: 081314761305 Muhamad Reza: 081370601441
Ahmad Marthin: 081286030453