Pemerintah Wajib Membuka Akses dan Libatkan Rakyat dalam Kebijakan Satu Peta

Siaran Pers Bersama
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara - Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia - Greenpeace Indonesia - Perkumpulan HuMA - Badan Registrasi Wilayah Adat

PEMERINTAH WAJIB MEMBUKA AKSES DAN LIBATKAN RAKYAT KEBIJAKAN SATU PETA

Jakarta, 2 September 2020. Pada rapat terbatas hari ini saya ingin menekan beberapa hal; 1. Meminta informasi geospasial yang dihasilkan dari kebijakan satu peta ini dapat di akses dalam satu geoportal sehingga masing masing Kementerian/lembaga dan Pemerintah daerah memperoleh satu sumber data spasial, 2. Kementerian/lembaga dan Pemerintah daerah agar segera memanfaatkan satu data spasial ini 3. Kementerian/lembaga dan Pemda bekerjasama dan berkolaborasi untuk penyelesaian tumpang tindih lahan di lapangan baik di kawasan hutan dan non kawasan hutan dan jika diperlukan payung hukum untuk penyelesaian tumpang tindih geospasial tematik ini agar segera disiapkan.  Presiden Jokowi - Ratas Kebijakan Satu Peta, 6 Februari 2020.

Dalam 3 tahun perjalanan sejak terbitnya perpres 9/2016, pelaksanaan dari kegiatan percepatan kebijakan satu peta masih juga belum menjawab sepenuhnya harapan publik. Hal ini dilihat dari sisi kegiatan kompilasi, integrasi, sinkronisasi, dan penyelesaian masalah IGT dimana keberpihakan pemerintah terhadap pengakuan dan pelindungan ruang hidup masyarakat terkesan masih sangatlah abai dimana sebagai contoh produk data geospasial dan informasi geospasial yang di buat masyarakat adat maupun masyarakat lokal terkait kewilayahan dan ruang hidupnya masih tidak mendapat pengakuan tempat dalam kebijakan hanya karena salah satunya persoalan siapa walidata dari kementerian/lembaga dan rentetan teknis lainnya dan pada sisi kegiatan berbagi pakai data tertutupnya akses publik baik untuk pemanfaatan dan pengawasan terhadap hasil kegiatan kebijakan satu peta yang ada.

111 hari (21/08/2018) sebelum peluncuran geoportal kebijakan satu peta pada 11 Desember 2018 presiden jokowi sesungguhnya dengan sadar telah melakukan penutupan akses publik terhadap Data geospasial dan Informasi geospasial kebijakan satu peta dengan menerbitkan kepres 20/2018 Jo. permenko bidang perekonomian 6/2018 tentang klasifikasi kewenangan akses untuk berbagi data dan informasi geospasial melalui jaringan informasi geospasial nasional dalam kegiatan percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta, yang mana dalam keputusan ini telah menetapkan siapa saja pemegang akses dan jenis akses (mengunduh, melihat, dan tertutup) terhadap hasil kebijakan satu peta yang termuat dalam geoportal kebijakan satu peta khususnya. Kewenangan akses untuk mengunduh, melihat, dan/atau tertutup  hanya dapat dilakukan oleh aktor pemerintah seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Kepala BIG Menteri atau pimpinan lembaga, Gubernur dan Bupati/Walikota dan sedangkan masyarakat tidak dapat sama sekali memiliki akses terhadap JIGN secara langsung sehingga Kebijakan Satu Peta berjalan tanpa adanya pengawasan dan kontrol dari publik dan keadaan ini sesungguhnya telah menurunkan kredibilitas, akuntabilitas, dan tranparansi terhadap produk kebijakan ini serta merupakan bentuk penghalangan secara struktural terhadap hak masyarakat untuk mendapat data dan informasi yang baik dan benar. 

Di situasi yang lain rencana pemerintah untuk mengesahkan omnibuslaw RUU Cipta Kerja dengan 11 Klaster pembahasan utama yang salah satunya adalah klaster penyederhanaan perizinan (izin lokasi dan tata ruang, Izin Lingkungan, dan Izin Bangunan–Gedung) tentu akan semakin memperburuk kondisi pemanfaatan ruang dan mempertajam konflik. ini merupakan dampak regulasi yang mengesampingkan fakta pengelolaan dan pemanfaatan ruang oleh rakyat atas ruang hidup dan kehidupannya serta menutup inisiatif rakyat untuk berkontribusi terhadap data dan informasi geospasial.

upaya kontribusi masyarakat kepada kebijakan pemerintah sesungguhnya ditujukan untuk dapat menyampaikan kondisi dan realitas lapangan terhadap rencana dan implementasi pembangunan, pencegahan degradasi hutan dan lahan gambut, pelanggaran perizinan, dan pencegahan korupsi sumberdaya alam serta upaya untuk memberikan dukungan terhadap kondisi bernegara hari ini untuk kemajuan indonesia.

Nur Hidayati dari WALHI mengatakan,"Wilayah adat dan wilayah komunitas lokal belum juga mendapat legalitas dari negara, sehingga ini menghasilkan konflik dengan ragam spektrumnya. Dalam wacana perubahan kebijakan satu peta ke depan sangat penting untuk mengintegrasikan data dan informasi geospasial dari peta-peta masyarakat yang telah dibuat secara  partisipatif ini. Yang juga tidak kalah sangat penting, pemerintah juga harus berani melakukan keterbukaan terhadap geoportal kebijakan satu peta yang telah berjalan, agar publik dapat mengakses dan memanfaatkannya. Pembatasan akses masyarakat terhadap data geospasial dan informasi geospasial berakibat pada terhalangnya partisipasi masyarakat dalam kebijakan satu peta, dan dapat memperparah konflik."

Imam Hanafi dari JKPP menambahkan, “dalam praktek panjang JKPP dalam melakukan kegiatan advokasi berbasis ruang, selain konflik ruang yang selalu melibatkan dan cederung menempatkan masyarakat sebagai pihak dikalahkan. Konflik dalam konteks data informasi geospasial di antara kementerian/lembaga dan bahkan pemerintah daerah sendiri sebenarnya terjadi. Belum lagi jika kita bicara pada kualitas data yang di buat pemerintah menyangkut fungsi dan status ruang masih belum memadai karena data-data yang dibuat oleh kementerian lembaga itu pun cenderung klaim sepihak tanpa ada upaya melibatkan masyarakat dalam proses identifikasi, verifikasi, dan registrasinya. Itulah menjadi penting dalam kebijakan satu peta yang ada pemerintah harusnya bersikap terbuka dan melibatkan masyarakat.”  

Rio Rompas dari Greenpeace menyampaikan hal senada, “kebijakan satu peta harusnya dapat melakukan praktik demokratisasi data dan informasi, dimana prinsip tata kelola yang baik dengan membuka ruang keterlibatan masyarakat luas dijadikan motivasi utama pemerintah. Dalam catatan Greenpeace Indonesia data dan informasi perizinan di sektor perkebunan berupa izin lokasi, Izin Usaha perkebunan, dan Izin HGU masih dipandang sebagai produk yang tertutup dan ketertutupan data inilah yang menjadi ruang gelap para aktor aktor yang berkepentingan bertindak koruptif dan menyalahgunakan wewenangnya”.

Sehingga dari melalui pers rilis ini kami merekomendasikan kepada pemerintah khususnya tim pelaksana percepatan kebijakan satu peta untuk :

  1. Revisi Perpres no 9 tahun 2016 harus memuat peta tematik wilayah adat dan memperjelas siapa Wali data terhadap peta tematik ini dan Kemenko–BIG harus segera melakukan koordinasi dengan melibatkan Kantor Staf Presiden untuk mengawal pelaksanaannya.
  2. Kegiatan Kompilasi, Integrasi, Singkronisasi dapat menerima peta wilayah kelola rakyat yang dibuat secara partisipatif sebagai bagian dalam upaya untuk penyelesaian masalah dan konflik tenurial akibat tumpang tindih IGT.
  3. Mengintegrasikan upaya evaluasi perizinan di sektor sumberdaya alam dan penegakan hukum dalam kebijakan satu peta sebagai langkah koreksi terhadap kesalahan masa lalu dalam hal pemanfaatan ruang.
  4. Melakukan keterbukaan dan keterlibatan masyarakat untuk dapat mengakses dan memanfaatkan data informasi hasil dari produk kebijakan satu peta sebagai bagian dari upaya meningkat kualitas data–informasi geospasial.
  5. Menjalankan keputusan pengadilan terhadap data sektor perkebunan demi menegakkan supremasi hukum.

Narahubung :

AMAN - Tommy / 0812-1980-1940
JKPP - Imam Hanafi / 0852-5272-5155
WALHI - Ach Rozani / 0813-1438-7675
GREENPEACE - Asep Komarudin / 0813-1072-8770
BRWA - K Widodo / 0815-1302-4601
HuMa - Nora Hidayati / 0811-6924-772