Pelibatan Penyandang Dana, Dalam Konflik PTPN II dan Masyarakat Di Kabupaten Jayapura (KEEROM)

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Papua (Walhi Papua) & Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia

  1. SEJARAH KONFLIK
  2. Konflik MA Keerom dan PTPN II

Pertama : bahwa pemerintah Kabupaten Jayapura, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat menguasai hak atas sumber daya alam masyarakat adat Keerom adalah merupakan suatu tindakan melawan hokum dimana telah terjadi penipuan, penyerobotan / perampasan hak atas sumber daya tanah dan hutan tersebut dari masyarakat adat Keerom sebagai pemilik yang sah. Kedua : bahwa sebagaimana luas dan lokasi   yang telah di sepakati antara masyarakat adat Keerom dan Pemerintah Kabupaten Jayapura adalah tanah seluas 500 hektar dan berlokasi di wilayah berhutan dan bukan pada area yang saat ini menjadi area konsesi. Namun dengan berbagai cara dan dalil, pemerintah berhasil menguasai area yang menjadi Wilayah Kelola Rakyat (WKR) / sumber-sumber penghidupan tersebut. Adapun cara yang di gunakan pemerintah untuk mengubah luas dan lokasi yang telah di sepakati adalah sbb: (1). Pada thun 1982 sebelum land clearing, pemerintah  meminta masyarakat menandatangani  surat dengan menyodorkan lembaran tandatangan (saja). Sedangkan redaksi / isi surat tersebut di tutup (tertutup); Alasan penandatanganan surat tersebut adalah bahwa alat berat akan di turunkan ke lokasi namun sebelum alat di turunkan masyarat harus menandatangani surat dimkasud. (2). Usai menandatangani surat tersebut, kira-kira berselang 2 (dua), bulan kemudian pemerintah (bupati: Bas Youwe,alm, sekda: Yosep Leroks, dan camat: Frans Dumatubun), kembali menemui masyarakat. Kedatangan ini dengan menyuguhkan minuman beralkohol kepada para tokoh masyarakat setempat. Dalam keadaan beralkohol, pemerintah menyampaikaan niatnya bahwa mereka ingin miliki tanah yang berdekatan dengan masyarakat agar masyarakat dapat mengawasi lokasi tersebut dari gangguan keamanan. (3). Selain itu pemerintah juga menyampaikan bahwa sawit dan sagu bisa tumbuh bersama-sama (berdampingan) karena kuduanya berduri. Dengan keterbatasan pemahaman, dan kondisi yang telah dikuasai alcohol para tokoh masyarakat setuju dengan penyampaian pemerintah. Atas persetujuan masyarakat, tahun 1985 alat berat di turunkan ke lokasi dusun sagu atau diluar dari area yang di sepakati bersama, dan membabat habis dusun sagu yang menjadi sumber pangan lokal Masyarakat Adat Keerom dan sumber kehidupan lainnya. Disitulah awal – mula terjadinya konflik. Ketiga : bahwa pemerintah menguasai lokasi dan luasan area yang di rubah secara sepihak, adalah dengan pandangan stigmatisasi gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal senada juga di ungkapkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahwa apabila masyarakat tidak memberi lokasi, sama hal nya dengan masyarakat menyembunyikan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Keempat : bahwa selama 15 tahun (1983-1998) perusahaan beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Dan hal ini sangat bertentangan dengan aturan perundangan yang berlaku secara nasional di Indonesia. sejak tahun 1998 barulah perusahaan menggunakan HGU. Setelah dikeluarkannya HGU tahun 1998, perusahaan menghitunnya sebagai tahun dimulainya masa kontrak dengan jangka waktu 35 tahun (1998-2033). Jika di hitung dari tahun 1983, untuk jangka waktu 35 tahun maka perusahaan harus mengakhiri investasinya tahun 2018. Kelima : bahwa adanya ruang investasi bagi korporasi, selain pemberian izin oleh pemerintah, terindentifikasi pula bantuan pendanaan dari pihak penyandang dana. Hal ini merupakan arah kebijakan pihak penyandang dana yang lebih berorientasi pada nilai profit tanpa memiliki niat partisipasi dalam perlindungan manusia dan lingkungan di Papua secara khusus, dan Indonesia pada umumnya. Keenam : Disamping permasalahan / konflik Masyarakat Adat Keerom dan PTPN II yang di latarbelakangi oleh pembiayaan, ada juga upaya perusahaan (korporasi), yang tergabung dalam APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) dan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) yang ingin menguasai tanah dan hutan di Indonesia pada umumnya dan Papua khususnya melalui RUU Perkelapasawitan yang sedang dalam proses pembahasan di DPR adalah pembungkaman akses Masyarakat Adat terhadap hutan dan lingkungannya. Ketujuh : bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai wakil rakyat mestinya menjadikan beragam konflik lahan/ agraria, kerusakan lingkugan hidup, dan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia serta berdampak pada kehidupan social, budaya Masyarakat Adat, adalah akibat dari masifnya korporasi maka seharusnya DPR tidak mengkhianati rakyatnya dengan membahas RUU Perkelapasawitan tersebut. Kedelapan : Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua melalui pengelolaan Sumber Daya Alam, secara khusus hutan dan lingkungan hidup, Provinsi Papua memiliki Perdasus 21/2008 tentang “Pengelolaan Hutan Berkelanjutan” yang lahir dari amanat UU 21/ 2001 tentang OTSUS  merupakan dasar hukum yang legal di Negara Kesatuan Republik Indonesia berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian Walhi Papua dan TuK Indonesia menyerukan, menegaskan serta meminta semua komponen/ elemen bangsa untuk menghargai dan menjalankan amanat konstitusi dengan cara-cara yang adil, jujur dan bijaksana.

  1. DAMPAK
  • Sebagai akibat dari hadirnya PT. Perkebunan Nusantara II, kebun Arso yang terfasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura kala itu, telah memunculkan konflik dan beragam masalah yang di alami masyarakat hingga saat ini, diantaranya : hilangnya lokasi perburuan, hilangnya wilayah tangkapan ikan, hilangnya dusun sagu sebagai sumber pangan lokal, hilangnya sumber mata air dsb. serta aksi protes yang masih berlanjut hingga saat ini.

Perusahaan juga memberi harapan dan berjanji akan membenagun rumah warga, mendirikan sekolah, dan masyarakat akan mempunyai kendaraan (roda dua / empat), jika bekerja pada perusahaan. Namun semua hanya janji semata. Hal serupa juga di alami oleh Masyarakat Adat di Distrik Arso Timur, dimana pengalaman buruk ini belum terselesaikan, pemerintah berlanjut dengan memberi izin kepada PT. Rajawali Group, hingga saat masih berkonflik tanpa ada proses penyelesaian.

  • Konsekwensi yang timbul akibat politik investasi merupakan kolaborasi dan orientasi bernilai profit yang tak terhindarkan dari pihak-pihak pemberi dana (penyandang dana) sebagai tujuan utama tanpa memilki keprihatinan terhadap rusaknya ekologi, manusia dan sumber penghidupan lainnya yang digunakan untuk hidup yang berkelanjutan, adil dan lestari.
  • Akan sangat berdampak negative bilamana RUU Perkelapasawitan menjadi payung hukum bagi konsorsium perusahaan dan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan baik sesama Masyarakat Adat, maupun Masyarakat Adat dengan pihak perusahaan.
  1. REKOMENDASI

Mencermati sikap pemerintah, perusahaan, dan penyandang dana serta berbagai dampak seperti yang telah disebutkan diatas, maka Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Daerah Papua dan Transformasi untuk Keadilan  (TuK) Indonesia menyatakan bahwa :

  1. Walhi Papua dan TuK Indonesia meminta pemerintah (Kabupaten Keerom, Kabupaten Jayapura dan Pemda Province Papua), agar segera menyelesaikan konflik / masalah yang dihadapi oleh Masyarakat Adat Keerom atas sumber daya alam (tanah dan hutan), yang digunakan sebagai area konsesi PTPN II, karena penguasaan area konsesi tersebut dilakukan dengan cara PENIPUAN, PERAMPASAN / PENYEROBOTAN dan STIGMA NEGATIF.
  2. Walhi Papua dan TuK Indonesia meminta Perusahaan PT. Perkebunan Nusantara II agar segera mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang berdampak pada kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM serta kehidupan social budaya Masyarakat Adat Keerom dan segera merealisasikan semuan janji-janji nya serta tuntutan Masyarakat Adat Keerom saat ini.
  3. Walhi Papua dan TuK Indonesia meminta pertanggung jawaban pihak penyandang dana atas pelibatannya melalui pinjaman kredit kepada perusahaan sawit PTPN II. Sebab segala konsekwensi yang di terima Masyarakat Adat Keerom dengan keberadaan PTPN II, tidak terlepas dari dukungan pembiayaan - penyandang dana;
  4. Walhi Papua dan TuK Indonesia meminta OJK (Otoritas Jasa Keuangan) agar segera secara tegas menindak penyandang dana yang terlibat membiayai korporasi perusak hutan, termasuk dalam kasus PTPN II. Selanjutnya kepada pihak penyandang dana agar secara sadar menghentikan pembiayaan kepada perusahaan yang mengabaikan tanggung jawabnya dalam perlindungan HAM dan lingkungan hidup.
  5. Walhi Papua dan TuK Indonesia meminta Presiden dan Kementrian LHK segera mengeluarkan NSPK (Norma Standar Prosedur Kriteria) sebagai syarat / pedoman implementasi Perdasus 21/2008 tentang “Pengelolaan Hutan Berkelanjutan” sebagai payung hukum yang di pandang penting dan efektif memelihara, mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan secara adil dan lestari serta berkelanjutan di Papua. Adalah pelanggaran HAM dan memberi preseden buruk bilamana NSPK tersebut di tahan tanpa kepastian, namun perizinan selalu di keluarkan kementrian LHK untuk perusahaan yang berinvestasi di Papua.
  6. Pencabutan JR (Judicial Review) oleh APHI dan GAPKI sudah sepatutnya mereka lakukan karena Judicial Review atas pasal-pasal dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah melawan kaidah yang sudah berlaku secara universal. Dan upaya JR sangat melawan mandate konstitusi dan jaminan negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
  7. Walhi Papua dan TuK Indonesia menolak dengan tegas : a). Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan yang diusulkan oleh konsorsium perusahaan (Assosiasi Pengusaha Hutan Indonesia dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indnesia) dan yang sedang dibahas di DPR karena berpeluang menciptakan konflik, pelanggaran HAM, dan perampasan lahan serta kerusakan lingkungan hidup dengan landasan RUU tersebut. b). DPR adalah wakil rakyat dan bukan wakil perusahaan, sehingga kami meminta dengan tegas kepada lembaga pemegang mandate rakyat (DPR), agar secara sadar, jujur dan bijaksana menghentikan pembahasan RUU dan memberi ruang hidup bagi masyarakat adat mengelola sisa hutan yang ada.
  8. Walhi Papua dan TuK Indonesia meminta Presiden Joko Widodo, segera mengeluarkan / memperpanjang Moratorium izin  dengan jangka  waktu 25 tahun dan mereview seluruh izin di Indonesia, penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi serta penyempurnaan tata Kelola Hutan.
  9. Walhi Papua dan TuK Indonesia meminta pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, agar menghentikan pemberian rekomendasi izin bagi perusahaan/industri ekstraktif yang ingin berinvestasi/melakukan ekspansi di seluruh Tanah Papua karena pengalaman menunjukan bahwa kehadiran perusahaan tidak memberikan keuntungan apapun bagi masyarakat adat pemilik tanah dan kekayaan alam, sebaliknya membabat habis potensi hutan yang menyebabkan degradasi dan deforestasi yang semakin tinggi, menimbulkan konflik berkepanjangan bagi masyarakat adat, dan bersekongkol dengan aparat negara melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bahkan menghilangkan nyawa orang tidak bersalah.

CP :

  1. Walhi Papua :
  • Aiesh Rumbekwan : +61 81344524394
  • Abner Mansai Ar : +62 811481566   

 

  1. TuK Indonesia :
  • Abdul Wahid : +62 81381464445