Nusantara Fund : Pendanaan Langsung ke Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal untuk Meningkatkan Mitigasi Krisis Iklim

Agus Dwi Hastutik–WALHI/Friends of the Earth Indonesia

Peluncuran Nusantara Fund, pendanaan langsung kepada masyarakat adat dan komunitas lokal pada tanggal 08 Mei 2023, di Jakarta. 

Siang yang cerah, kami disambut hangat oleh sekelompok petani di perbukitan Kamojang, Jawa Barat, setelah bersepeda motor yang membawa kami melewati jalan tanah berlumpur berkelok-kelok selama kurang lebih sepuluh menit menanjak di punggung Gunung Rakutak yang termasuk dalam kawasan Cagar Alam Kamojang. Naik ke atas, udara segar dari hutan yang hijau langsung menyeruak masuk. Saat kami melangkah di hutan yang dihijaukan lagi oleh masyarakat, angin kencang bertiup masuk, kopi segar dan makanan lokal disajikan, kami kemudian duduk melingkar, di atas tanah ditutupi dengan tikar plastik, di atas 1200 di atas permukaan laut. Semua orang mendengarkan dengan saksama kisah-kisah inspiratif para petani ini yang akan disampaikan.

“Dulu ini daerah rawan bencana, kebakaran terjadi hampir setiap tahun.” Ujar Amir Rohimat, petani asal Desa Ibun, yang juga Ketua Kelompok Usaha Perkebunan Sosial Sauyunan (KUPS Sauyunan). “Dengan program perhutanan sosial, kami mendapat izin resmi untuk mengelola lahan, kami tidak lagi harus membayar atau membagi hasil dengan pengelola sebelumnya,” tambah Amir, menjelaskan bahwa sebelum dikelola oleh warga, lahan tersebut dikelola oleh Perum Perhutani, perusahaan milik negara.

Amir dan masyarakat di Desa Ibun termasuk di antara ribuan masyarakat di Kabupaten Kamojang yang mengelola 1144 hektar izin perhutanan sosial. Satu kepala keluarga mengelola sekitar satu hektar lahan. Izin tersebut diberikan oleh pemerintah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada akhir 2017, meliputi tujuh desa yaitu desa Ibun, Neglasari, Nagrak, Dukuh, Cikawao, Sukarame, dan Mandalahaji di lanskap Rakutak. 


Amir Rohimat, 65 tahun, ketua KUPS Sauyunan. 

Dengan bantuan organisasi pendamping, termasuk WALHI dan AP2SI (Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia), masyarakat di Ibun kini diizinkan mengelola kawasan tersebut selama 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 35 tahun lagi.

Masyarakat di Ibun adalah bagian dari 30 pilot project yang menerima pendanaan langsung sebesar 50 juta rupiah dari Dana Nusantara (Nusantara Fund). Inisiatif baru oleh tiga organisasi, WALHI, AMAN dan KPA yang bertujuan untuk membangun dukungan yang kuat untuk inisiatif masyarakat adat dan komunitas lokal (MAKL) untuk melindungi dan mengelola tanah, wilayah dan sumber daya mereka untuk meningkatkan kontribusi dalam mengurangi emisi terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan stok karbon dan meningkatkan kualitas hidup rakyat. 

Komunitas dan organisasi yang berasal dari tiga lembaga inisiator memenuhi syarat untuk mengakses pendanaan ini. Akan tetapi,Nusantara Fund juga mengalokasikan sebagian dana untuk hibah eksternal untuk komunitas dan organisasi lokal di luar ketiga lembaga.


Rumah produksi kopi KUPS Sauyunan, dana proyek pilot digunakan untuk membangun rumah untuk digunakan bersama.

“Kami sekarang memiliki rumah produksi kopi, perlahan tapi pasti kami meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kami, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan,” ungkap Undang Syahrudin, biasa dipanggil Dahu, wakil KUPS Sauyunan menjelaskan bahwa dengan bantuan Nusantara Fund, masyarakatnya bisa berkembang dengan infrastruktur yang disediakan oleh dana tersebut. Meskipun ini saja tidak cukup, peningkatan kapasitas terus diterima dalam membantu masyarakat dalam mengelola dan memproduksi dengan lebih baik.


Diskusi dengan petani dari KUPS Sauyunan di kawasan perhutanan sosial mereka di Kamojang, Jawa Barat.

Masyarakat di Ibun menyadari pentingnya dan manfaat pengelolaan lahan bagi kelestarian ekosistem dan iklim. Setelah diskusi singkat, kami dituntun untuk berjalan-jalan melalui jalan kecil yang sekilas tampak seperti perkebunan kopi, tetapi setelah dilihat lebih dekat, tanaman lain seperti kol dan cabai juga tumbuh di antaranya. Masyarakat desa Ibun melakukan tumpang sari dengan tanaman lain karena juga dipercaya dapat menyuburkan tanah. Selain itu, juga membantu pemulihan ekologi dan meningkatkan keanekaragaman hayati.


Lahan yang dipulihkan kembali oleh masyarakat Desa Ibun dengan model agroforestry. Masyakarat melakukan tumpang sari dengan tanaman lain.

Sejak pemerintah memberi mereka izin perhutanan sosial, mereka tidak hanya memberi kesempatan kepada petani untuk mengelola, tetapi mereka juga menarik orang-orang yang pernah meninggalkan desa untuk bekerja di kota untuk kembali ke komunitas mereka. Masyarakat di Ibun memiliki harapan akan masa depan penghidupan mereka.

“Setelah bertahun-tahun bekerja memulihkan lahan yang dulunya rawan kebakaran, yang dipenuhi semak belukar dan tanah berpasir, kini lahan tersebut subur untuk ditanami berbagai tanaman.” tambah Syahrudin.

Sementara upaya untuk memerangi krisis iklim terus berlanjut, masyarakat adat dan komunitas lokal secara konsisten dinyatakan sebagai penjaga terbaik planet kita. Penelitian yang berkembang dalam sepuluh tahun terakhir telah menunjukkan bagaimana MAKL telah berkontribusi secara signifikan dalam menghentikan deforestasi, melindungi keanekaragaman hayati dan bahkan meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun, kurang dari satu persen dana pembangunan global sampai ke mereka secara langsung. Sementara di saat yang sama mereka semakin terancam karena lemahnya perlindungan dan pengakuan dari pemerintah.

Di era krisis iklim, tindakan tambahan apapun penting. Nusantara Fund merupakan sistem pendukung bagi MAKL di Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dan jaminan hak atas tanah dan sumber daya dan penguatan sistem tata kelola MAKL, sistem manajemen dan mata pencaharian berkelanjutan dan juga untuk mendukung dan memberdayakan organisasi dan jaringan masyarakat adat dan lokal untuk memungkinkan mereka terus melakukan pekerjaan yang telah mereka lakukan secara efektif dengan sedikit dukungan.

Pendanaan langsung ini sebenarnya merupakan bagian dari 1,7 miliar janji pemerintah dan organisasi filantropis yang diumumkan pada COP 26 2021 di Glasgow. Tujuannya adalah untuk berinvestasi pada masyarakat adat dan komunitas lokal dalam membantu melindungi keanekaragaman hayati hutan tropis yang sangat penting untuk melindungi planet ini dari perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan risiko pandemi. Di tahun pertama sejak kesepakatan dibuat, 19% (hampir $322 juta) dari $1,7 miliar telah dicairkan, tetapi hanya 7% dari $322 juta yang langsung masuk masyarakat adat dan komunitas lokal. 

“Orang yang paling dekat dengan masalah adalah orang yang sama yang bisa menyelesaikannya. Ini bukan sekedar metafora, tapi sebuah kebutuhan,” kata Presiden Ford Foundation Darren Walker saat peluncuran Dana Nusantara di Jakarta pada 08 Mei 2023. Ford Foundation termasuk di 22 organisasi dan pemerintah yang menjanjikan 1,7 miliar USD selama lima tahun. 

Ketika pandemi melanda dunia pada tahun 2020 dan melumpuhkan ekonomi dan setiap sektor, masyarakat adat dan komunitas lokal adalah benteng yang memenuhi kebutuhan kita. Studi yang berkembang telah menunjukkan bahwa komunitas lebih terorganisir dan mereka mendapatkan hasil yang lebih baik selama pandemi.

Kevin Currey, Program Officer Sumber Daya Alam dan Perubahan Iklim Ford Foundation berbagi dari sudut pandang donor. “Semakin banyak uang yang bisa kami berikan ke tingkat lokal, semakin kami bisa menyerahkan pengambilan keputusan kepada orang-orang di dalam komunitas yang benar-benar tahu apa yang dibutuhkan, akan semakin baik.” Kata Kevin, menambahkan bahwa pendanaan langsung baru ini akan menjadi sangat penting dalam menyediakan jalur baru bagi para donor untuk mendukung masyarakat secara lebih langsung.

 

MAKL, penjaga terbaik planet ini
Sedangkan Indonesia tidak terkecuali. Indonesia itu kaya. Negara ini adalah rumah bagi segudang ekosistem yang mendukung beragam keanekaragaman hayati, menjadikannya sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua.

Dari segi keragaman budaya, Indonesia memiliki lebih dari 1300 suku yang telah terdaftar resmi oleh pemerintah, dengan ribuan lainnya yang belum.

Kekayaan Indonesia dalam hal keanekaragaman hayati dan budaya harus menjadi landasan untuk membangun bangsanya. Namun, situasi hari ini cukup memprihatinkan. Saat ini, jumlah keanekaragaman budaya, keanekaragaman hayati dan MAKL secara bertahap berkurang karena ekspansi industri ekstraktif yang tiada henti.

Data WALHI tahun 2019 menunjukkan setidaknya ada 33.000 desa telah hilang hingga saat ini. Hilangnya jumlah MAKL secara bertahap dan pengetahuan mereka menandai tidak hanya kerugian yang tidak dapat dihitung bagi Indonesia, tetapi juga kehilangan kekayaan bagi dunia.

Menurut Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, dua krisis yang sedang dihadapi dunia saat ini, krisis iklim dan krisis ekonomi, merupakan akibat dari pembangunan ekonomi yang diprioritaskan dan mengesampingkan kepentingan sosial dan lingkungan.

Indonesia khususnya mengalami krisis lingkungan dan berkontribusi besar terhadap pelepasan emisi dalam enam puluh tahun terakhir karena negara ini dengan sengaja memusatkan perekonomiannya pada industri ekstraktif dan gagal mengenali karakteristik dan sejarah panjang masyarakat nusantara yang dulunya membentuk tatanan sosial, lingkungan dan ekonomi mereka dengan beradaptasi dengan alam.

“Negara ini [Indonesia] telah mengembangkan basis ekonominya melalui industri ekstraktif, tetapi gagal mengenali ekonomi nusantara yang telah ada selama ribuan tahun.” kata Zenzi. “Alasan kita masih bisa melihat budaya dan pakaian adat yang khas, seperti tenun, serta banyaknya tumbuhan yang bisa dimanfaatkan, karena masyarakat adat dan komunitas lokal di masa lalu tidak mempersiapkannya hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk generasi sekarang dan generasi mendatang untuk digunakan dan dilestarikan.”

MAKL telah lama hidup selaras dengan alam, melestarikan dan memanfaatkan ekosistem tanpa merusaknya. Namun, mereka terus menerima sedikit pengakuan dan perlindungan.

“Dengan Nusantara Fund ini, kita harus menempatkan kepercayaan kepada mereka yang berada di paling atas [MAKL]. Mereka bukan objek pembangunan. Mereka memiliki potensi besar untuk mengatasi krisis iklim dan ekonomi.” Kata Zenzi, mengacu pada pengetahuan masyarakat adat dan komunitas lokal yang kaya namun juga tidak tergantikan, mereka memainkan peran penting dalam memerangi krisis dan berkontribusi besar dalam melindungi planet ini.

“Kita tidak memiliki planet alternatif, tetapi kita memiliki ekonomi alternatif,” tambah Zenzi. Menekankan bahwa dengan bantuan dari Nusantara Fund, masyarakat bisa memulihkan lingkungan dan ekonomi mereka. Zenzi berharap dengan hasil yang akan dihasilkan oleh komunitas dalam menjadi jalan bangsa ini membangun ekonominya dengan jalan yang benar. “Jalan yang benar itu adalah ekonomi bangsanya dan ekonomi rakyatnya yang memulihkan lingkungan, hak rakyatnya, dan mengembangkan ekonomi.”

Senada dengan Zenzi, Sekjen AMAN–kelompok masyarakat adat terbesar di Indonesia, Rukka Sombolinggi menyatakan, “Masyarakat adat dan komunitas lokal adalah sektor swasta terbesar. Sektor swasta terbesar berasal dari desa, masyarakat. Ketika semua usaha-usaha di desa dan kampung-kampung digabungkan menjadi satu, kami adalah sektor swasta terbesar.”

 

Pengakuan global dan potensi peningkatan
Dengan harapan akan pengakuan dan kesadaran global yang lebih besar akan peran MAKL, ada potensi untuk peningkatan pendanaan langsung ini. Dana semacam ini sebenarnya sudah ada selama sekitar sepuluh tahun dan telah menunjukkan hasil yang sangat baik. Inisiatif Nusantara Fund ini mengikuti pendanaan langsung yang pernah diberikan ke negara lain seperti Mesoamerica Fund di Amerika Tengah.

David Kaimowitz, Program Officer Chief dari The Tenure Facility, yakin seiring berjalannya waktu jumlah dana ini akan terus bertambah dan tersebar di negara lain. Ada kecenderungan donor yang semakin besar untuk meningkatkan kemungkinan mendukung model semacam ini karena sebenarnya membantu mencapai tujuan bersama dalam memerangi krisis.

“Saya pikir ini adalah perkembangan yang sangat menarik bagi Indonesia, dan apa yang terjadi di Indonesia juga merupakan bagian dari cerita global tentang tanggapan masyarakat adat dan komunitas lokal.” kata David. 

“Satu hal yang saya pikirkan adalah jumlah uang yang terlibat di sini cukup kecil. Biasanya orang akan berpikir itu tidak layak diberitakan karena pihak lain menjanjikan miliaran dolar, mengapa tertarik pada $3 juta? Tetapi justru yang patut diberitakan adalah bahwa dana teritorial ini berada pada posisi yang baik untuk mencapai dengan beberapa juta dolar apa yang belum dapat dilakukan oleh pemerintah dan donor besar meskipun mereka mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk hal-hal ini,” tambah David Kaimowitz.

Dana yang relatif kecil ini mungkin tidak menjadi berita utama, tetapi mereka membuat berita dan membuat perbedaan besar. Berbeda dengan apa yang biasa kita dengar ketika ratusan juta dolar diinvestasikan dalam proyek tertentu, hasilnya terkadang tidak jelas atau bahkan bencana dan hanya menambah parahnya krisis iklim. Namun, dengan dukungan langsung ini dan harapan akan terus meningkat di masa mendatang, membuat perbedaan yang signifikan, dalam banyak hal, dapat lebih berhasil karena masyarakat di lapangan paling tahu bagaimana mengelola dan juga menjadi lebih baik terorganisir.

Apa yang dilakukan WALHI, AMAN, dan KPA hanyalah awal dari hal-hal besar yang pasti akan terjadi. Kita perlu menyampaikan pesan ini keluar tentang peran penting masyarakat adat dan komunitas lokal dalam melindungi planet kita. Bukan tanpa alasan, masyarakat adat dan lokal komunitas adalah penjaga terbaik planet ini. 

Nusantara Fund, Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal (MAKL))Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)Krisis Iklim