Menolak Tenggelam, Empat Orang Pulau Pari Menggugat Holcim ke Pengadilan Swiss

Jakarta, 3 Februari 2023 – Setelah gugatan iklim diluncurkan secara resmi pada Rabu (1/02/2023) oleh European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan HEKS, seruan keadilan iklim dan tagar #SavePulauPari telah bergemuruh di berbagai media nasional dan internasional. Gemuruh ini mengajak masyarakat di negara-negara utara (global north) melihat kembali dampak krisis iklim di negara-negara selatan (global south) yang disebabkan akumulasi emisi yang diproduksi oleh industri skala besar, khususnya yang berbasis di Eropa.

Masyarakat Pulau Pari, sebuah pulau kecil yang terletak di Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, telah mengalami dampak buruk krisis iklim. Atas dasar tersebut, empat orang warga yang mewakili seluruh penghuni pulau memutuskan untuk melakukan gugatan iklim kepada Holcim, perusahaan semen terbesar di dunia berbasis di Swiss.

Dampak Krisis yang mengancam masa depan
Asmania, perempuan nelayan yang menjadi penggugat, menyatakan keluarganya telah terdampak banjir rob besar yang terjadi pada tahun 2021. Dampaknya, banjir membawa polusi dan minyak dari laut serta membanjiri peternakan ikan. "Kami telah kehilangan 300 ikan dari 500 ikan yang kami budidayakan. Satu ikan saat itu sekitar satu kilogram beratnya. Kami biasanya menjual ikan tersebut seharga Rp 90.000 hingga Rp 100.000 per kilogram,” ungkapnya.

Selain itu, ia tak bisa menangkap ikan selama beberapa hari, baik pada banjir November maupun Desember 2021, karena kami harus banyak membersihkan desa. Akibatnya, keluarganya kehilangan penghasilan sekitar Rp 1.750.000.

Aas, panggilan akrab Asmania, merasa khawatir jika Pulau Pari akan tenggelam akibat kenaikan air laut. “Di mana saya, keluarga saya, dan seluruh masyarakat pulau pari akan tinggal jika laut terus naik? Jika permukaan air makin naik. Maka kami tidak akan lagi memiliki air bersih. Saya takut Pulau Pari akan tenggelam,” tegasnya.

Senada dengan Aas, Arif Pujianto, penggugat yang juga seorang nelayan, menyatakan rumahnya terdampak banjir rob. Banjir yang datang pada malam hari telah merusak rumahnya secara permanen. Ia harus memperbaiki rumahnya sendiri dan mengeluarkan uang sekitar Rp 3.000.000 untuk memulihkan kerusakan rumahnya.

Tak hanya itu, keluarga Arif juga harus membeli lebih banyak air, karena air sumur yang ada di rumahnya telah terintrusi air laut. “Untuk mencuci diri, pakaian, untuk membersihkan kami tidak dapat menggunakan air sumur akibat banjir rob yang merendam selama beberapa hari. Sejak itu, kami harus membeli lebih banyak air dari penyulingan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tegasnya.

Kenaikan air laut juga telah mematikan berbagai tanaman pangan yang telah tumbuh, seperti pisang, pepaya, dan kelor. “Semuanya mati saat banjir November dan Desember tahun 2021. Saya belum bisa menanam kembali kebun itu,″ tambah Arif.

Mustaghfirin, penggugat dan nelayan, juga mengalami kerugian akibat banjir rob yang terjadi selama 2021. Ia tidak bisa pergi memancing selama dua hari setelah setiap banjir karena harus membersihkan pantai, rumah, dan memperbaiki perahu. “Secara keseluruhan, saya kehilangan sekitar seperempat penghasilan bulanan saya karena banjir. Akibat Rob perahu, saya terdampar ke pinggir pantai dan menabrak bronjong. Akibat kerusakan tersebut, saya harus kehilangan uang yang cukup banyak,” ungkapnya.

Edi Mulyono, penggugat lain, menyebut telah kehilangan pendapatan dari homestay dan pendapatan pariwisata. Para wisatawan telah membatalkan perjalanannya karena khawatir akan terjadi banjir rob. “Saya mengalami kerugian Rp 5.500.000 akibat banjir ron pada November dan Desember 2021,” ungkap Edi.

Ia juga tak tidak bisa menangkap ikan, akibat banjir rob dan harus membersihkan desa. Akibatnya, ia kehilangan penghasilan sekitar Rp 1.750.000.

Edi dan Mustaghfirin sangat prihatin dengan banjir yang terjadi selama ini. Ke depan, mereka melihat banjir akan semakin sering terjadi seiring dengan buruknya dampak krisis iklim. “Fakta bahwa rumah-rumah kebanjiran dan anak-anak kecil terdampak banjir pada November dan Desember 2021 membuat kami sangat marah. Kami mengkhawatirkan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat pulau pari,″ seru mereka berdua.

Kenapa menggugat Holcim? 
Holcim adalah industri semen terbesar di dunia. Selain itu, perusahaan ini merupakan industri terbesar untuk bahan dasar beton, dan salah satu dari 50 penghasil emisi CO2 terbesar dari semua perusahaan di seluruh dunia. Dalam memproduksi semen, Holcim telah melepaskan CO2 dalam jumlah yang sangat besar. Berdasarkan sebuah studi, antara tahun 1950 dan 2021, perusahaan ini telah melepaskan lebih dari 7 miliar ton CO2. Itu berjumlah 0,42% dari semua emisi CO2 industri global sejak tahun 1750 – atau lebih dari dua kali lipat sebanyak semua yang dikeluarkan Swiss selama periode waktu yang sama. Oleh karena itu, Holcim memikul tanggung jawab yang signifikan atas krisis iklim dan situasi di Pulau Pari. 

Gugatan iklim terhadap Holcim, merupakan kelanjutan dari gugatan iklim global yang ketiga, setelah gugatan terhadap Shell di Belanda yang dilakukan oleh Friend of The Earth (FoE) Belanda, dan gugatan Petani Peru terhadap RWE, sebuah perusahaan batubara Jerman.

“Gugatan iklim oleh masyarakat Pulau Pari terhadap Holcim adalah ketiga di dunia, kedua di global south, dan pertama di Indonesia,” kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI.

Menurut Parid, gugatan iklim yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Pari adalah gebrakan penting di Indonesia dan dunia untuk membangunkan kesadaran masyarakat global mengenai dampak buruk krisis iklim di global south. “Gugatan ini mewakili nasib puluhan juta orang di Indonesia yang terdampak krisis iklim. WALHI mengajak pemerintah Indonesia dan seluruh masyarakat yang terdampak krisis iklim, khususnya yang tinggal di pulau-pulau kecil, untuk mendukung gugatan ini dan menjadi bagian penting untuk menuntut keadilan iklim,” tegasnya.

Ancaman Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil di Jakarta
Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, menyebut bahwa sebanyak enam pulau kecil berukuran kurang dari 3 hektar di Kabupaten Kepulauan Seribu telah tenggelam akibat krisis iklim. Sementara saat ini, 23 pulau sedang terancam tenggelam, salah satunya adalah Pulau Tikus yang masih berada dalam Gugusan Pulau Pari. Jika krisis iklim terus berlanjut, akan semakin banyak pulau kecil tenggelam, termasuk Pulau Pari yang dihuni oleh sekitar seribu jiwa.

Ia menyebut nama-nama pulau yang telah tenggelam, yakni Pulau Ubi Besar, Pulau Ubi Kecil, Pulau Talak, Pulau Nyamuk Besar, Pulau Dakun, dan Pulau Ayer Kecil. Dari enam pulau tersebut, Pulau Ubi Besar adalah satu-satunya yang berpenghuni dan pernah terdapat catatan eksodus masyarakat Pulau Ubi Besar ke Pulau Untung Jawa pada sekitar dekade 60an. ″Pemerintah harus segera bertindak untuk mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil lain di Kepulauan Seribu,” pungkasnya.

Kontak Person:
Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, di email: [email protected]
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, di email: [email protected]

 

Catatan Tambahan
Empat penggugat menuntut ganti rugi yang proporsional atas krisis iklim yang mereka alami agar Holcim berkontribusi untuk mencegah banjir. Selain itu, mereka menuntut agar Holcim mengurangi emisi CO2 sebesar 43% pada tahun 2030 dan sebesar 69% pada tahun 2040 jika dibandingkan dengan emisi perusahaan pada tahun 2019. Ini akan sejalan dengan target yang ditetapkan dalam Perjanjian Iklim Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat.  

HEKS, Pusat Kajian Konstitusional dan Hak Asasi Manusia Eropa (ECCHR) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendukung pengaduan gugatan keempat warga Indonesia tersebut dengan kampanye “Call for Climate Justice”.  

Selengkapnya silakan akses www.callforclimatejustice.org untuk mendapatkan laporan, kajian, analisis, foto, dan video.