Menjalin Benang Konstitusi Menuju Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia

Policy Brief RUU Masyarakat Adat
Menjalin Benang Konstitusi Menuju Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia

Walaupun keberadaan Masyarakat Adat telah diakui dalam konstitusi maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun sampai sekarang situasi pengabaian, pengucilan, dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat di Indonesia masih terus terjadi.

Ada dua masalah utama yang melatarinya. Pertama, tidak adanya pengakuan secara utuh atas keunikan dan kekhasan Masyarakat Adat sebagai masyarakat. Semisal, tari-tariannya diakui, tapi kepercayaannya tidak. Kedua, pengaturan dan pengelolaan Masyarakat Adat di tingkat pemerintah pusat tidak terintegrasi, masih terserak setidaknya di 13 Kementerian/Lembaga (K/L) di mana nomenklaturnya ada pada level direktur/eselon tiga ke bawah. Akibatnya, tidak ada strategi kebijakan yang komprehensif, melainkan lebih bernuansa proyek, yang sering kali saling menegasikan. Belum lagi di tingkat pemerintah daerah yang masing-masing memiliki penafsiran yang beragam tentang Masyarakat Adat.

Padahal, praktik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh Masyarakat Adat, selain berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan hidup, juga dapat memberikan kontribusi ekonomi. Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan ini dapat mendorong perekonomian di daerahnya.

Untuk dokumen selengkapnya, silahkan klik tautan berikut.

# Policy Brief RUU Masyarakat Adat