Menilik Kembali Sejarah dan Regulasi Industri Pertambangan di Indonesia

Bagian 1
Masa Kolonialisme Belanda (1850-an)

Sejarah perkembangan industri pertambangan di Indonesia bermula dari masa kolonialisme Belanda. Cikal bakal industrialisasi pertambangan ini juga tidak terlepas dari munculnya Revolusi Industri yang terus meluas di Eropa. Dari sini sektor pertambangan mulai menggeser kedudukan rempah-rempah yang sebelumnya merupakan komoditas unggulan di wilayah kolonial Hindia-Belanda.

Untuk itu, di tahun 1850, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Kantor penyelidikan geologi, manajemen, pengelolaan dan pencarian bahan galian tambang, yaitu Dienst van hen Minjnwezen, yang bertempat di Weltevreden, Batavia. Melalui lembaga inilah, wilayah penyelidikan geologi dan bahan galian tambang akhirnya meluas hingga seluruh pelosok Nusantara.

Pada bulan Oktober di tahun yang sama, dibuatlah peraturan baru berupa Besluit (keputusan) Pemerintah Kolonial No. 45, yang mengatur tentang “larangan memberikan izin penggalian tanah yang mengandung bahan tambang kepada pihak selain orang Belanda”.

Disamping itu, lembaga ini juga menerbitkan laporan penelitian hasil eksplorasi seputar pertambangan secara berkala, seperti yang ditulis di dalam Javasche Courant dan Jaarboek Van het Mijnwezen. Bahkan pada masanya laporan ini sampai menyebar luas dan dikenal di dunia Internasional.

Seiring berjalannya waktu, hak eksplorasi pertambangan tidak hanya sebatas dikuasai oleh Pemerintah Hindia-Belanda saja, namun pihak Swasta juga mulai mendapat kesempatan untuk masuk ke industri pertambangan ini. Dimana pada tahun 1852 dibuatlah peraturan pertambangan (Mijnreglement) yang pertama kali oleh Pemerintah Belanda. Di dalamnya dijelaskan tentang pemberian hak penambangan kepada pihak Swasta warga negara Belanda.

Namun, aturan ini menegaskan bahwa pihak Swasta hanya boleh melakukan aktifitas penambangan di luar pulau Jawa. Pihak Swasta Belanda yang pertama kali mendapat hak penambangan yakni Billiton Maatschappij, penambang timah di Pulau Belitung.

Mijnreglement 1850 menjadi landasan hukum yang kemudian dipakai oleh kolonial Belanda untuk menguasai, mengatur serta memanfaatkan bahan mineral untuk kepentingan Pemerintahan Belanda.

Babak Baru Eksplorasi Tambang Oleh Perusahaan Swasta

Memasuki tahun 1870 terjadilah perubahan arah kebijakan Pemerintah Belanda yang lebih liberal. Saat itu muncul peraturan baru yang dikenal dengan nama Agrarische Wet, dimana untuk pertama kalinya hak kepemilikan pribadi dan peran Swasta diakui oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

Masih melalui aturan Agrarische Wet, Perusahaan Swasta yang membutuhkan tanah untuk aktifitas pertambangan harus menyewa ke Pemerintah terlebih dahulu dengan jangka waktu panjang (75 tahun). Namun, pihak Swasta juga bisa menyewa tanah dalam jangka waktu pendek kepada penduduk Hindia-Belanda di bawah persetujuan Pemerintah.

Ada satu pernyataan di dalam Agrarische Wet yang kala itu dinilai kurang menghargai hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum, yakni pernyataan tanah negara (domeinverklaring).

Pernyataan dalam domeinverklaring yang dinilai merugikan rakyat karena mengeruk keuntungan sebesar-besarnya terdapat pada Pasal 1 domeinverklaring, yang berbunyi “bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya (hak milik), adalah menjadi domein (milik) Negara”.

Munculnya Aturan Usaha Pertambangan Milik Perusahaan Swasta

Untuk mengatur usaha pertambangan termasuk di dalamnya pertambangan minyak di daerah kolonial Hindia Belanda, maka pada tahun 1899 dikeluarkan Undang-Undang Pertambangan yang pertama, UU ini disebut dengan Indische Mijnwet (IMW).

Kendati demikian, di dalam Indische Mijnwet hanya mengatur mengenai pokok-pokok persoalan pertambangan seperti penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan saja. Pasalnya, pemilik tanah masih tidak memiliki hak atas sumber daya mineral yang terdapat di bawah tanah miliknya.

Sebelum adanya amandemen pada IMW ini, kesan dari Undang-Undang Tambang pada jaman penjajahan Belanda memang terlihat sangat terbatas, di samping itu akses untuk eksplorasi pun hanya boleh dilakukan oleh Pemerintah Kolonial.

Kemudian terjadilah amandemen sebanyak dua kali, yaitu di tahun 1910 dan 1918. Melalui amandemen ini mulai nampak perubahan yang signifikan terhadap posisi Swasta dalam kaitannya hak penambangan mineral.

Melalui pasal 5A, amandemen tahun 1910, perusahaan Swasta diperbolehkan untuk melakukan penyelidikan maupun eksploitasi melalui perjanjian dengan Pemerintah yang nantinya disahkan oleh Undang-Undang.

Tidak hanya itu, pihak Swasta juga mendapat kemudahan dalam melakukan penambangan dan eksploitasi di wilayah Hindia-Belanda, yakni ketika adanya amandemen tahun 1918. Melalui amandemen yang kemudian dikenal dengan sistem kontrak antara Pemerintah dan Swasta, kewajiban perijinan yang disahkan oleh Undang-Undang akhirnya ikut dihapus.

Amandemen pada IMW ini sekaligus memberikan pembahasan yang lebih mendalam, seperti perihal perlindungan atas kepentingan usaha warga dan perusahaan Swasta milik Hindia Belanda. Ada juga aturan mengenai masa berlaku konsesi, serta besaran pajak dan cukai yang nantinya dipungut oleh Pemerintah. Dengan demikian, mineral dan bahan tambang yang dieksploitasi sepenuhnya milik perusahaan yang bersangkutan.

Setidaknya sampai akhir tahun 1938 terdapat 471 konsesi dan ijin pertambangan yang ada di wilayah kolonialisasi Hindia-Belanda. Pada masa itu produksi tambang didominasi oleh timah, minyak bumi dan batu bara.

Baca Juga: Menilik Kembali Sejarah dan Regulasi Industri Pertambangan di Indonesia - Bagian 2

Sumber:

Hartana. 2017. Hukum Pertambangan (Kepastian Hukum Terhadap Investasi Sektor Pertambangan Batubara di Daerah

Hayati, Tri. 2015. Era Baru Hukum Pertambangan

Komite I, DPD RI. 2014. Politik Hukum Agraria. Gagasan Pendirian Pengadilan Agraria Perspektif DPD RI

Rahmana, Siti. 2018. Pengaruh Pendirian Perusahaan Pertambangan Emas Kolonial Belanda di Lebong Tahun 1897-1930