Mengungkap Solusi Palsu dalam Negosiasi Perjanjian Internasional tentang Plastik

 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengadakan diskusi publik yang mengangkat topik “Solusi Palsu dalam Proses Negosiasi Perjanjian Internasional tentang Plastik”. Diskusi ini dilaksanakan secara daring melalui platform Twitter Space pada Jumat (23/06/2023) lalu. Diskusi ini menghadirkan lima narasumber yaitu Yuyun Ismawati (Nexus3 Foundation), Yobel Novian (GAIA Asia Pacific), Wahyu Eka (Walhi Jawa Timur), Meiki Paendong (Walhi Jawa Barat), dan Fahmi Bastian (Walhi Jawa Tengah).

Secara garis besar, diskusi ini membahas perkembangan terkini proses negosiasi perjanjian internasional tentang plastik (Plastic Treaty), terutama berkaitan dengan berbagai solusi palsu mengatasi polusi plastik. Saat ini Komite Negosiasi antar Negara atau Intergovernmental Negotiating Committee (INC) telah memasuki putaran negosiasi kedua (INC-2) yang baru saja berakhir pada 2 Juni 2023 di Paris, Perancis. Proses negosiasi akan berlanjut pada tiga pertemuan berikutnya hingga ditargetkan selesai pada tahun 2025.

Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 Foundation mengatakan pasca INC-2 diharapkan keluar draft nol Plastic Treaty. Namun, proses negosiasi di INC-2 berlangsung alot karena ada intervensi dari kelompok negara minyak yang mencoba menghalangi upaya mengatasi polusi plastik melalui pembatasan produksi plastik secara signifikan. Tak hanya itu, sebagian negara seperti Indonesia masih terlihat mendukung berbagai solusi palsu atasi polusi plastik seperti pembakaran sampah dengan insinerator, daur ulang kimiawi dan kredit plastik yang kontradiktif dengan upaya berbagai pihak yang mendorong solusi sistematis di hilir seperti pembatasan produksi plastik dan transisi menuju skema produksi dan konsumsi berkelanjutan.

“Tujuan dari plastic treaty adalah mengakhiri pencemaran plastik, termasuk pencemaran di lautan pada seluruh siklus hidup plastik. Artinya perjanjian ini akan mengatur hulu hilir plastik mulai dari produksi, distribusi hingga plastik sebagai limbah di akhir pasca konsumsi. Itu merupakan kesepakatan negara-negara dalam resolusi UNEA 5.2. Kita harus pegang dan kita harus kawal tujuan tersebut, agar diskusi para pihak mengenai plastic treaty tidak dialihkan untuk fokus hanya di hilir saja,” kata Yuyun Ismawati.

Yobel Novian, Staf Kebijakan Iklim GAIA (Global Alliance Incinerator Alternative) mengatakan upaya membatasi plastic treaty hanya mengatur urusan pengelolaan sampah adalah hal berbahaya. Permasalahan plastik berkaitan erat dengan peningkatan produksi plastik yang berasal dari minyak bumi secara signifikan dalam dekade terakhir. Jadi, pengaturan dalam isi plastic treaty harus komprehensif mulai dari masalah produksi plastik hingga penanganan limbah plastik yang kesemua upaya tersebut berorientasi pada pengurangan emisi gas rumah kaca secara signifikan.

“Solusi pembakaran sampah yang diperkenalkan sebagai solusi utama mengatasi polusi plastik (termasuk dalam plastic treaty) tidak tepat sasaran, karena produksi plastik terlalu banyak dan masih akan terus meningkat berkali lipat. Insinerasi atau pembakaran sampah dalam bentuk pembakaran langsung maupun bahan bakar campuran akan mendorong peningkatan produksi plastik dari minyak bumi. Teknologi pembakaran sampah akan memicu ekstraksi lebih besar, menghasilkan emisi gas kaca, mencemari lingkungan dan meningkatkan risiko kesehatan akibat emisi gas beracun dan abu sisa pembakaran,” jelas Yobel Yovian.

Potret Solusi Palsu di Indonesia
Berbagai solusi palsu yang muncul dalam negosiasi perjanjian internasional tentang plastik bukan hal baru di Indonesia. Tercatat sejak tahun 2006 ada upaya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan teknologi insinerator di Gedebage, Kota Bandung. Pada 2016, pemerintah pusat bahkan menetapkan pembangunan PLTSa di 12 (duabelas) kota sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 yang kemudian diperbaharui melalui Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018.

Proyek percepatan pembangunan infrastruktur pengelolaan sampah menjadi energi listrik tersebut mendapatkan penolakan dari warga dan organisasi masyarakat sipil karena berdampak pada lingkungan, kesehatan dan membebani anggaran negara. Berbagai proyek solusi palsu sebetulnya berjalan tidak maksimal karena kesulitan pendanaan, penolakan pemerintah daerah hingga protes masyarakat. Namun pemerintah masih terus memaksakan proyek PLTSa tersebut dengan juga mendorong solusi palsu lain seperti refuse derived fuel (RDF). Ada beberapa catatan kritis dari proyek solusi palsu yang berjalan, baik yang beroperasi maupun yang masih dalam tahap konstruksi atau perencanaan.

Fahmi Bastian, Direktur Walhi Jawa Tengah menyampaikan proyek PLTSa Putri Cempo di Kota Surakarta bermasalah dalam berbagai hal. Di antaranya ketidaksesuaian antara dokumen lingkungan dan implementasi pada pilihan teknologi, pembatasan akses pemulung ke area TPA (Tempat Pemrosesan Akhir), penundaan berulang operasi, hingga pencemaran udara yang dikeluhkan warga saat uji coba operasi.

“Dokumen lingkungan (red-AMDAL) baru sedang dalam pengajuan, namun pembangunan dan uji coba terus dilakukan. Kemudian dampak yang dirasakan masyarakat sekitar seperti bau menyengat, polusi udara dan limbah proses pembakaran yang mencemari sungai sekitar tidak diperhatikan,” ungkap Fahmi.

Potret buruk dari proyek solusi palsu terjadi juga di Jawa Barat. Menurut Meiki Paendong, Direktur Walhi Jawa Barat, upaya pembangunan PLTSa di Jawa Barat telah mulai didorong pasca tragedi TPA Leuwigajah pada tahun 2005. PLTSa dianggap sebagai solusi tepat mengatasi kelebihan kapasitas di TPA. Proyek ini mendapatkan penolakan dari warga sekitar Gedebage yang khawatir dengan dampak buruk PLTSa yang berlokasi di dekat pemukiman. Pasca proyek PLTSa Gedebage tidak berjalan, tahun 2018 mulai muncul proyek pembakaran sampah (insinerasi) skala menengah dan kecil di wilayah Cekungan Bandung yang didorong oleh pemerintah. Pembangunan incinerator secara massif ini berdampak pada pemburukan kualitas udara dan peningkatan risiko kesehatan warga di sekitarnya. Berdasarkan studi observasi Walhi Jawa Barat, sebagian dari proyek tersebut tidak berjalan atau mangkrak.

Di Provinsi Jawa Timur, terdapat proyek PLTSa Benowo Surabaya yang menjadi proyek percontohan nasional. PLTSa ini telah beroperasi sejak 2021 silam. Oleh pemerintah pusat, PLTSa Benowo diklaim sebagai proyek yang berhasil mengatasi persoalan sampah. Namun menurut Wahyu Eka, Direktur Walhi Jatim, proyek PLTSa Benowo dalam proses maupun operasionalnya tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat. Publik juga tidak mendapatkan informasi terkait dampak yang akan ditimbulkan dari operasionalisasi PLTSa tersebut. Berdasarkan pengalaman Walhi Jawa Timur, PLTSa Benowo terlihat sangat tertutup pada upaya penggalian informasi oleh publik, baik itu oleh pegiat lingkungan, akademisi maupun jurnalis.

“Adanya keterbukaan informasi publik terkait suatu proyek (PLTSa Benowo) yang berdampak pada lingkungan dan masyarakat dijamin oleh konstitusi. Sejak awal kenapa informasi tidak terbuka? Kebijakan keterbukaan informasi tidak dijalankan dengan baik,” jelasnya.

Menolak Solusi Palsu dalam Plastic Treaty
Negosiasi perjanjian internasional tentang plastik masih akan berlangsung sampai akhir tahun 2024. Berbagai solusi palsu seperti kredit plastik, daur ulang kimiawi dan pembakaran sampah dengan teknologi tertentu tidak boleh masuk dalam isi perjanjian. Berbagai pengalaman proyek solusi palsu seperti incinerator yang berdampak buruk pada lingkungan, kesehatan dan pendanaan harus menjadi pertimbangan. Sebaliknya, solusi seperti guna ulang dan pembatasan produksi plastik harus mendapatkan tempat dalam perjanjian. Para narasumber diskusi menyampaikan pesan secara khusus kepada pemerintah Indonesia dan secara umum kepada negara-negara dunia untuk berhenti mempromosikan solusi palsu.

Meiki Paendong mendesak pemerintah Indonesia dan negara-negara dunia berhenti mempromosikan solusi palsu atas polusi plastik dan memprioritaskan keselamatan masyarakat dan lingkungan di atas kepentingan ekonomi. Menurut dia, masyarakat dapat bersama-sama mengawasi posisi pemerintah Indonesia dalam proses negosiasi perjanjian internasional tentang plastik agar tidak mendukung solusi palsu.

“Pemerintah Indonesia dan negara-negara dunia jangan mencari solusi praktis dan cepat, dimana solusi yang dipilih justru menambah permasalahan baru. Polusi plastik harus diatasi dengan solusi sistematis dari hulu ke hilir berdasarkan siklus hidup plastik,” tambah Fahmi Bastian melengkapi pernyataan Meiki Paendong.

Reporter: Gimanda, Wahyu
Editor: Ghofar