Membangun Kecerdasan Naturalis Melalui Ritual Puasa

Oleh: Parid Ridwanudin

Siapa yang tak kenal Howard Gardner? Ia adalah profesor psikologi perkembangan (developmental psychology) dari Universitas Harvard, yang dikenal sebagai ilmuwan yang mengagas teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence), sebagaimana diartikulasikan dengan sangat memikat dalam bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.

Di dalam sejarah perkembangan konsep kecerdasan, telah terjadi perubahan paradigma yang sangat siginifikan. Jika sebelumnya konsep kecerdasan hanya dipahami sebagai sesuatu yang tunggal, khususnya logis-matematis, berkat kontribusi Profesor Gardner, kini kecerdasan dipahami sebagai sesuatu yang majemuk.

Menurut Gardner, kecerdasan manusia memiliki tujuh dimensi, yaitu: 1) kecerdasan bahasa (linguistic); 2) kecerdasan musik (music); 3) kecerdasan logis-matematis (logical-mathematical); 4) kecerdasan visual spasial (visual-spatial); 5) kinestetik fisik (bodily-kinesthetic); 6) sosial interpersonal; dan 7) intrapersonal.

Teori kecerdasan majemuk dinilai lebih mampu menggambarkan fakta-fakta kecerdasan manusia sebagaimana adanya serta jauh dari pandangan reduksionistik yang memahami manusia hanya dari satu aspek semata. Pandangan Gardner tentang kercerdasan manusia yang bersifat majemuk, sangat manusiawi, sangat positif, serta memberikan landasan kuat bagi berbagai bentuk pengembangan kecerdasan manusia pada masa kini.

Dalam perkembangan selanjutnya, Gardner memperkenalkan teori naturalist intelligence atau kecerdasan naturalis dalam bukunya Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century untuk menyempurkan teori multiple intelligence yang hanya menyebut tujuh dimensi kecerdasan manusia. Berdasarkan hal ini, dimensi kecerdasan manusia semakin kaya dan beragam. Menariknya, Gardner, menyandingkan naturalist intelligence dengan spiritual intelligence (kecerdasan spiritual) dan existential intelligence (kecerdasan eksistensial). 

Kecerdasan naturalis, diulas oleh Gardner dalam buku Intelligence Reframed dengan sangat elaboratif, khususnya dalam bab Are there Additional Intelligences? Seorang yang memiliki kecerdasan naturalis, menurut Gardner, mampu menunjukkan kemampuan untuk mengakui, mengetahui, dan mengklasifikasi beragam spesies–baik flora maupun fauna-yang terdapat di alam sekitarnya. Kecerdasan ini dapat disebut juga sebagai kecerdasan lingkungan.   

Kecerdasan lingkungan menjadi relevan disebutkan, karena di antara contoh yang disebut oleh Gardner adalah environmentalist, seperti Rachel Carson yang terkenal dengan bukunya Silent Spring, yang terbit pada tahun 1962. Cambridge Dictionary mendefinisikan environmentalist sebagai orang yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari lingkungan hidup dan berusaha untuk melindunginya dari berbagai kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia (a person who interested in or studies the environment and who tries to protect it from being damaged by human activities). 

Pada titik ini, kita dapat memahami bahwa ketertarikan untuk mempelajari lingkungan hidup dan membelanya dari berbagai ancaman perusakan akibat tangan manusia merupakan salah satu bentuk kecerdasan yang memiliki justifikasi teoritis yang sangat kuat.

Ibadah Puasa dan Kecerdasan Naturalis

Adakah hubungan antara ibadah puasa dengan kecerdasan naturalis? Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu memahami makna puasa secara lebih luas. Selama ini, ibadah puasa hanya dipahami sebagai aktivitas ibadah ritual yang memiliki makna sosial. Lebih jauh dari itu, ibadah puasa sebenarnya memiliki ekologis yang memiliki mendorong pelakunya untuk membela dan melindungi lingkungan hidup atau alam dari berbagai aktivitas destruktif.

Puasa biasa didefinisikan sebagai upaya menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami istri yang dimulai sejak terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari (al-imsāku ‘anil akli was syurbi wa ghasyayāni nisā’I min thulū’I fajri ila ghurūbis syamsi).

Jika dihayati lebih mendalam, frasa ‘menahan diri dari makan dan minum’ (al-imsaku ‘anil akli was syurbi), tak hanya bermakna menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenam matahari secara fisik atau biologis semata. Lebih dari itu, al-imsaku ‘anil akli was syurbi adalah pesan penting kepada pelaku ibadah puasa untuk memperhatikan alam yang menjadi sumber atau asal usul makanan sekaligus air yang menjadi kebutuhan primer umat manusia (Ridwanuddin, 2018).

Jika alam hancur, maka manusia akan kehilangan sumber pangan, sumber air, bahkan sumber oksigen. Jika kondisi kerusakan ini terjadi, dapat dipastikan keberadaan manusia akan mengalami kematian secara perlahan-lahan. Dalam jangka panjang, ras manusia akan punah jika tidak didukung oleh ketersediaan sumber daya alam yang memadai.

Pemaknaan ini menjadi sangat penting untuk dihayati di tengah dominannya pemaknaan ibadah puasa yang bercorak hitam putih seperti yang diajarkan dalam pendekatan fiqih. Tak hanya itu, penghayatan ekologis terhadap ibadah puasa sangat relevan di tengah masifnya krisis lingkungan hidup global yang terus dihadapi oleh manusia. Penghayatan semacam ini diharapkan akan mendorong para pelaku ibadah puasa untuk melawan pelbagai bentuk kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme global yang terus mengeksploitasi sumber daya alam.

Frasa ‘menahan diri dari makan dan minum’ (al-imsaku ‘anil akli was syurbi), juga bermakna bahwa para pelaku ibadah puasa harus mampu melakukan kontrol terhadap berbagai praktik konsumsi yang menghasilkan aneka macam sampah yang mengotori dan mencemari kawasan tanah serta perairan.

Terkait dengan persoalan sampah, Barilla Centre for Food and Nutrition, sebuah lembaga internasional yang berpusat di Italia, mencatat Indonesia sebagai salah satu negara dengan penghasil sampah makanan terbesar di dunia. Tahun 2019, lembaga ini menyatakan bahwa Indonesia membuang sampah makanan dengan jumlah mencapai 300 kilogram per orang per tahun.

Sementara itu, Parongpong Waste Management, sebuah pusat daur ulang sampah di Jawa Barat menyampaikan data, di Jakarta saja terdapat tambahan 200 ton sampah dalam sebulan saat Ramadan pada tahun 2019 lalu. Fakta ini sangat mengkhawatirkan, karena akan berakibat buruk bagi lingkungan hidup.

Jika penghayatan ekologis terhadap ibadah puasa telah hilang, maka ibadah puasa akan berubah dari fasting menjadi feasting, dalam arti berpesta atau pesta dengan berbagai macam aneka makanan dan minuman tanpa memperdulikan dampak terhadap lingkungan hidup.   

Pada titik inilah kita menemukan hubungan yang sangat kuat antara kewajiban ibadah puasa dengan perintah untuk melindungi lingkungan hidup atau melindungi alam yang menjadi rumah bersama. Lebih jauh, ibadah puasa juga mendorong kita untuk mengontrol praktik konsumsi yang tidak ramah lingkungan seperti yang dilakukan  oleh masyarakat urban di Indonesia, khususnya di Jakarta. Dengan demikain, ibadah puasan akan mampu membangun kecerdasan naturalis, jika dimakna dengan pendekatan ekologis.

Ibadah puasa yang dilaksanan selama satu bulan lamanya, seharusnya merupakan media yang sangat penting untuk membangun kecerdasan naturalis atau kecerdasan lingkungan yang tak banyak disadari oleh pelakunya. Dalam konteks ini, para pelaku ibadah puasa Ramadan, hendaknya memandang keberlanjutan lingkungan hidup sebagai pesan utama di dalam ajaran Islam.

Dengan penghayatan ekologis terhadap ibadah puasa, kecerdasan naturalis dapat dibentuk. Hari ini, kecerdasan naturalis sangat dibutuhkan untuk membela dan menyelamatkan lingkungan hidup kita yang semakin hari semakin rusak, semakin tercemar.