Laporan baru mencatat berbagai pelanggaran HAM di dalam industri minyak sawit Indonesia yang memasok perusahaan-perusahaan terbesar didunia

Siaran pers: 15 Juni 2021

Nama-nama produsen barang rumah tangga seperti Nestlé, PepsiCo, Wilmar dan Unilever serta lembaga keuangan dan investor terkait terus ‘menutup mata’ terhadap pelanggaran HAM dalam rantai pasok minyak sawit, ungkap laporan yang baru keluar hari ini.

Laporan yang disusun bersama oleh TuK INDONESIA, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, WALHI, dan Forest Peoples Programme menggarisbawahi masalah sosial dan lingkungan sistemik yang terus mengganggu industri sawit Indonesia dan terkait rantai pasok minyak sawit global.

“Sungguh memalukan bahwa masyarakat adat dan pedesaan selama bertahun-tahun dan bahkan berpuluh-puluh tahun menderita tanpa pemulihan atas kerugian oleh industri sawit, yang berlanjut hingga hari ini,” kata Norman Jiwan, salah satu penulis laporan.

“Laporan kami salah satu yang terbaru dari rangkaian studi independen yang menunjukkan sektor perkebunan Indonesia dan perdagangan minyak sawit global tidak mematuhi standar keberlanjutan industri atau UU yang berlaku,” katanya.

Pelanggaran HAM yang didokumentasikan termasuk perampasan tanah masyarakat tanpa persetujuan, pemindahan paksa, pengingkaran hak lingkungan dasar, kekerasan terhadap masyarakat adat dan komunitas yang tergusur, pelecehan, kriminalisasi dan bahkan korban jiwa bagi mereka yang berusaha mempertahankan tanah dan hutan mereka.

“Perampasan tanah adalah pelanggaran HAM bagi kami,” kata Redatus Musa, kepala Dusun Entapang, Kecamatan Bonti, Kalimantan Barat.

Laporan ini mendokumentasikan dampak HAM dan lingkungan dari sepuluh perkebunan sawit kontroversial di Indonesia, dan melacak hubungan dengan perusahaan hilir dan pemodal yang investasi di dalamnya atau berdagang, mengolah, membuat atau menjual barang-barang konsumen dari minyak sawit mereka. Pelanggaran hak oleh sektor sawit paling sering ditemukan terkait konflik lahan, deforestasi, tata kelola lahan yang lemah, dan kerusakan lingkungan lainnya.

Meskipun perusahaan dan merek makanan dan minuman global terus memasarkan 'label hijau' mereka dan mengaku mendukung uji tuntas dan 'tata kelola lingkungan dan sosial' (ESG), tidak cukup perhatian diberikan untuk menggali dan menangani dampak HAM di dalam kegiatan bisnis dan investasi.

“Tindakan cepat dan berani harus dilakukan guna menegakkan HAM di seluruh kegiatan agribisnis dan rantai nilai,”kata Tom Griffiths, Koordinator Keuangan Bertanggung Jawab di FPP.

“Reformasi tata kelola korporasi dan manajemen rantai pasok untuk memastikan pendekatan terpadu HAM dan uji tuntas lingkungan sangat penting. Saat yang sama, bisnis harus menyusun praktik yang lebih baik untuk memeriksa kepatuhan standar yang telah disepakati,” katanya.

Prosedur keluhan perusahaan ternyata tidak efektif; dan mekanisme akuntabilitas industri yang ada seperti sistem pengaduan RSPO biasanya lamban dan tidak efektif, dan gagal memberikan pemulihan bagi masyarakat yang terkena dampak. Dalam kasus pengaduan masyarakat dan TuK terhadap PT MAS, misalnya, pengaduan yang disampaikan ke RSPO telah mendekam lebih dari 8 tahun.

Kegagalan komitmen dan prakarsa keberlanjutan

Banyak perusahaan hilir yang diselidiki, dan beberapa investor, adalah anggota terkemuka dari Roundtable on Sustainable Palm Oil dan inisiatif keberlanjutan lainnya. Namun, terlepas dari kenyataan bahwa pelanggaran yang terungkap jelas bertentangan dengan standar RSPO, serta kebijakan dan komitmen 'Tidak Deforestasi, Tanpa Gambut and Tidak Eksploitasi' (NDPE) perusahaan untuk menerapkan Persyaratan Sosial dari Pendekatan Stok Karbon Tinggi (HCSA), ditemukan bahwa perdagangan dan investasi dengan pemasok berbahaya terus berlanjut.

“Kami kecewa bahwa RSPO, Unilever, Sime Darby, PT Inti Nusa Sejahtera, PT CAPITOL dan PT Mitra Austral Sejahtera gagal memulihkan HAM masyarakat Dayak Hibun di Kerunang dan Entapang,” kata Redatus Musa.

Laporan berpendapat agar akuntabel kepada masyarakat di negara-negara produsen dan mencapai standar rantai pasok yang etis, perusahaan hilir harus memastikan metode ketat untuk menilai bahaya dan risiko HAM ketika mengambil minyak sawit dan komoditas pertanian lainnya.

“Laporan ini menegaskan bahwa pengembalian tanah yang dirampas oleh industri sawit tanpa persetujuan masyarakat adalah prasyarat mutlak menuju reforma agraria sejati, keadilan gender, pemulihan lingkungan, ketangguhan ekonomi dan pemajuan HAM oleh Negara dan para pelaku dunia usaha termasuk sektor keuangan,”ungkap Nur Hidayati, Direktur WALHI Eksekutif Nasional (Friends of the Earth Indonesia).

Masyarakat terkena dampak menuntut akuntabilitas yang lebih besar dari perusahaan global yang berurusan dengan minyak sawit oleh kelompok korporasi hulu dan anak perusahaan perkebunan dan pabrik mereka:

“Kami mendesak para pembeli minyak sawit dari Astra Agro Lestari seperti Unilever, Nestlé, PepsiCo, Cargill dan Wilmar serta pelaku industri hilir lainnya turut berbagi tanggung jawab dan bersama mendukung pengembalian tanah untuk semua masyarakat korban termasuk Orang Rimba di PT SAL,” kata Linda Rosalinda, TuK INDONESIA

Perlunya standar hukum yang kuat untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas kerugian juga ditekankan dalam kesimpulan.

“Sektor minyak sawit erat dengan ketidakadilan masa lalu, pelanggaran hak masyarakat adat dan komunitas serta terus abai pemulihan,” kata Norman Jiwan.

“UU baru tentang perilaku korporasi di negara-negara importir dan produsen harus mematuhi standar uji tuntas yang tinggi. Peraturan yang mengikat diperlukan untuk mewajibkan rantai pasok dan portofolio mereka tidak ternoda oleh kekerasan, perampasan tanah, merusak nafkah dan nihil pemulihan. Tindakan yang lebih utuh oleh perusahaan hilir dan investor untuk melindungi HAM sudah lama tertunda.” tambahnya.

Studi ini berbagi banyak pelajaran dari bukti kasus bagi direksi perusahaan transnasional, kelompok korporasi yang terlibat dalam bisnis minyak sawit dan staf mereka yang bertanggung jawab atas HAM dan perlindungan lingkungan.

Rekomendasi rinci yang disajikan mendesak korporasi pelaku meningkatkan uji tuntas, dan pembuat kebijakan publik dan legislator di negara konsumen dan produsen menerapkan aturan wajib tentang perilaku korporasi dan komoditas 'risiko hutan' – aturan ini harus nyata membuat perusahaan bertanggung gugat terhadap standar internasional.

“Saat ini, penting juga bahwa bukti pelanggaran rantai pasok dan penyebabnya ditindaklanjuti oleh para pembuat UU menyusun aturan kendali wajib untuk bisnis dan pedagang di UE, Inggris, AS, dan di tempat lain,” kata Griffiths.

“Perangkat hukum harus memiliki kewajiban untuk mensyaratkan perhatian HAM dan dampak lingkungan, serta ketentuan untuk penegakan dan akuntabilitas yang kuat. Tanpa komponen-komponen penting ini peraturan hukum tidak akan efektif,” katanya.

--SELESAI-- 

Informasi lanjut: penghubung

  • TuK INDONESIA: Linda Rosalinda (+62812-1942-7257)
  • PUSAKA: Franky Samperante (+62 813-1728-6019)
  • WALHI National Executive: wahyu a. perdana 082112395919
  • Forest Peoples Programme: Norman Jiwan (+62813-1561-3536)
  • Forest Peoples Programme: Tom Griffiths, [email protected]

Lampiran: Tambahan latar belakang 

Analisis rantai pasok dalam laporan ini mengungkapkan bahwa perkebunan dan pabrik kelapa sawit yang menyatakan kepemilikan dari kelompok Astra Agro Lestari, First Resources, Golden Agri Resources-Sinar Mas dan Salim (Indofood) terkait dengan kasus-kasus sosial dan kerusakan lingkungan. Semua perkebunan dan pabrik yang ditemukan memasok minyak sawit termasuk ke  In Cargill, Nestlé, PepsiCo, Unilever, Wilmar International, Archer Daniels Midland dan AAK, beberapa perusahaan barang jadi konsumen terbesar di dunia.

Kotak 1: Hal utama yang bisa dipetik

 

  1. Masalah sosial dan lingkungan yang sistemik terus mengganggu industri minyak sawit Indonesia dan terkait rantai pasok minyak sawit global):
  2. Pelanggaran hak yang mengakar dalam industri minyak sawit sering dikaitkan dengan konflik lahan, tata kelola lahan yang lemah, deforestasi, dan kerusakan lingkungan lainnya):
  3. Praktik uji tuntas korporasi, jika dilakukan, seringkali tidak menerapkan pendekatan terpadu yang seimbang terhadap uji tuntas lingkungan dan HAM – sistem LST harus lebih mempertimbangkan dampak dan risiko hak asasi manusia):
  4. Akuntabilitas korporasi kepada masyarakat terkena dampak lemah atau tidak ada di sepanjang rantai pasok global):
  5. Tindakan diperlukan oleh perusahaan hilir terkait untuk memenuhi tanggung jawab korporasi dan menyelesaikan keluhan masyarakat yang belum terselesaikan);
  6. Legislasi tata kelola korporasi berkelanjutan dan peraturan rantai pasok harus mensyaratkan uji tuntas di seluruh rantai pasok serta verifikasi dan penegakan yang kuat).

Studi kasus ini menyampaikan sejumlah tuntutan masyarakat dan aliansi beberapa organisasi mendesak perusahaan transnasional meningkatkan upaya mendata dan menangani konflik lahan dan keluhan masyarakat terkait dengan kegiatan bisnis mereka. Dalam kasus yang diteliti, termasuk PT MAS – bekas anak perusahaan Sime Darby yang kini dimiliki PT Capitol, pemegang hak menuntut pemulihan hak dan pengembalian tanah mereka yang diambil untuk produksi minyak sawit.

Laporan ini juga mencatat keterlibatan pemodal dan investor global dalam rantai nilai minyak sawit yang dikaji, termasuk Blackrock International, ABN-AMRO, Rabobank, Standard Chartered, Citigroup, Lloyds Banking Group, JP Morgan Chase, serta berbagai dana pensiun dan kelompok perbankan Asia, termasuk Mitsubishi UFJ Financial Group.

Tambahan kutipan dari masyarakat pemilik hak, Juni 2021

Tokoh masyarakat Entapang, Kecamatan Bonti, Kalimantan Barat.
“Kami menuntut pemerintah Indonesia, para pembeli minyak sawit, industri hilir, bank dan investor agar memastikan tanah adat kami seluas 1462 ha yang dijadikan HGU PT MAS segera dikembalikan,”

Tokoh masyarakat Kampung Keladi, Kecamatan Manismata, Kalimantan Barat.
Kami menuntut para pembeli minyak sawit dan investor mendesak Cargill segera menyelesaikan semua dampak HAM, kerugian sosial dan lingkungan akibat dari perampasan lahan dan kegiatan tidak berkelanjutan oleh PT HSL dengan mengembalikan tanah adat kepada masyarakat adat Dayak Jelai,”

Tokoh perempuan dan kepala desa Batu Ampar, Jambi.

“Masyarakat Desa Batu Ampar sampai sekarang masih terus menuntut tanah kembali kepada Sinar Mas dan PT KDA sebab hanya itu solusi yang terbaik dan paling adil bagi kami ditengah beratnya himpitan ekonomi masyarakat akibat krisis mata pencarian dan wabah Covid-19, khususnya bagi kaum rentan, perempuan dan anak-anak.”

Informasi lebih lanjut

TuK INDONESIA (2021): Latest New Data Reveals 50 Banks and Investors Push Deforestation Through Large Scale Investment and Weak Policy. Prominent names like BlackRock, Vanguard, State Street, PNB, EPF, GPIF, and KWAP

https://www.tuk.or.id/2021/06/siaran-pers-untuk-disiarkan-segera/

MacInnes, A (2021) First Resources: Hiding in the Shadows FPP, Moreton in Marsh https://www.forestpeoples.org/sites/default/files/documents/First%20Resources%20-%20Hiding%20in%20the%20Shadows%20report_1.pdf ;

TuK INDONESIA (2021) “Civil Society Coalition Demands That MUFG and Bank Danamon Be Held Accountable for Forest Destruction, Climate Crisis and Human Rights Violation in Indonesia” https://www.tuk.or.id/2021/04/civil-society-coalition-demands-that-mufg-and-bank-danamon-be-held-accountable-for-forest-destruction-climate-crisis-and-human-rights-violation-in-indonesia/?lang=en

Jong H N (2021) “Palm oil conflicts persist amid lack of resolution in Indonesian Borneo” Mongabay Series: Indonesian Palm Oil, 15 march, 2021 https://news.mongabay.com/2021/03/palm-oil-conflicts-lack-of-resolution-in-indonesian-borneo-west-kalimantan/

Mei, L et al (2021) Stepping Up: Protecting collective land rights through corporate due diligence: A guide for global businesses, investors and policy makers FPP, Moreton in Marsh: https://www.forestpeoples.org/en/en/stepping-up-demanding-accountability

RAN (2020) The need for Free, Prior and Informed Consent:  an evaluation of the policies and standard operating procedures of 10 major corporate groups involved in forest risk supply chains in SE Asia  https://www.ran.org/wp-content/uploads/2020/12/RAN_FPIC_2020_vF-2.pdf

Sumber tambahan

Dil, S et al (2021) Rolling back social and environmental safeguards in the time of COVID-19: The dangers for indigenous peoples and for tropical forests AMAN, APEM, CNTI, Equidad, ISA, FPP. Middlesex University and Lowenstein International Human Rights Clinic (Yale Law School) https://www.forestpeoples.org/sites/default/files/documents/Rolling%20Back%20Social%20and%20Environmental%20Safeguards%20-%20Global%20Report%20ENGLISH%20FINAL.pdf

Conant, J, Madan G and Warmerdam, W (2020) Doubling Down on Deforestation: How the Big Three Asset Managers Enable Consumer Goods Companies to Destroy the World’s Forests, FoE US and Profundo, Creative Commons

Dokumen Terlampir : 

https://walhi.or.id/uploads/buku/210614_FPP_Ringkasan%20Eksekutif%20BAHASA%20v3.pdf

https://walhi.or.id/uploads/buku/210611_FPP_Demanding%20Accountability_Bahasa%20Indonesia.pdf

https://walhi.or.id/uploads/buku/211011_FPP_Demanding%20Accountability_English.pdf

https://walhi.or.id/uploads/buku/DA%20report%20press%20release%20English%20.pdf