Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Indonesian Center for Environmental Law
Menyikapi pengundangan Rancangan KUHAP menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR RI pada 18 November 2025 lalu, kami menilai paripurna pula ancaman terhadap keselamatan lingkungan hidup dan pejuang lingkungan hidup. Berdasarkan KUHAP 2025 setidaknya ada beberapa permasalahan yang kami soroti, sebagai berikut:
Pertama, pengaturan subjek korporasi dalam KUHAP 2025 belum memberikan keadilan bagi lingkungan hidup. Hal ini karena beberapa hal, yaitu; pertanggungjawaban pidana korporasi masih belum memisahkan pertanggungjawaban korporasi dan pengurusnya. Hal ini salah satunya terlihat dari tidak adanya upaya paksa yang dapat diterapkan kepada korporasi langsung, melainkan upaya paksa diterapkan melalui penanggung jawab. Kemudian, terdapat dua mekanisme yang berpotensi menimbulkan penanganan perkara yang tidak tuntas, yaitu mekanisme restorative justice (RJ) dan perjanjian penundaan penuntutan, perbedaan dari mekanisme ini hanyalah kewenangan aparat, di mana RJ dilakukan di tahap penyidikan, sementara penundaan penuntutan dilakukan di tahap penuntutan. Ketentuan ini dapat menjadi fasilitas impunitas bagi Korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup, kehutanan, konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya, pertambangan, dan perkebunan.
Lebih lanjut, terdapat beberapa kelemahan mekanisme RJ jika diterapkan bagi pelaku korporasi terutama pada tindak pidana lingkungan hidup, yakni 1) RJ tidak dapat menjamin pelaksanaan keputusan yang disepakati, sehingga tidak memiliki legitimasi dan daya ikat bagi para pihak; 2) tindakan korektif lainnya yang dianggap perlu oleh penyidik membuka ruang transaksional karena memungkinkan adanya tindakan lain di luar pidana; 3) Korporasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan dan sumber daya lebih besar yang mampu mempengaruhi keputusan sesuai dengan kepentingannya; 4) Korban dari tindak pidana lingkungan salah satunya adalah lingkungan hidup itu sendiri yang memiliki karakteristik yang kompleks, sehingga pemulihan/ganti rugi harus bersifat holistik, sistematis, dan jangka panjang, oleh karenanya tidak memungkinkan dilakukan dengan mekanisme jangka pendek seperti RJ; 5) transparansi dan akuntabilitas mekanisme RJ bermasalah karena tidak ada ruang penilaian, pengambilan keputusan, dan pengawasan dari jaksa dan pengadilan.
Kedua, KUHAP 2025 mempertahankan kontrol Penyidik Polri atas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Kami menilai kontrol inilah yang selama ini menjadi salah satu permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Khususnya Penegakan Pidana Lingkungan Hidup, Kehutanan, konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya, Pertambangan, dan Perkebunan. Kontrol ini membuat red tape (birokrasi) penegakan hukum menjadi panjang dan berlarut-larut, serta membuat PPNS tidak mandiri dan tidak dapat mengambil inisiatif sendiri. Kontrol ini semakin dikukuhkan oleh KUHAP 2025 dengan mengatur apabila PPNS akan melakukan upaya paksa baik penangkapan dan penahanan harus dilakukan bersama-sama dan atas izin Penyidik Polri. Selain itu, kontrol ini memberikan ruang diskresi bagi penyidik Polri untuk menentukan kasus dapat dilanjutkan ke penuntutan atau tidak.
Ketiga, terkait dengan ancaman keselamatan pejuang lingkungan hidup, WALHI mencatat kasus kriminalisasi dan kekerasan baik fisik maupun psikis yang dialami lebih dari 1.000 pembela HAM lingkungan selama 10 tahun terakhir. Pintu masuknya adalah kelemahan dan kekurangan kontrol pengadilan terhadap penetapan tersangka dan upaya paksa, seperti penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Polisi, dan longgarnya syarat-syarat melakukan upaya paksa yang dan sangat bergantung pada subjektifitas Penyidik, KUHAP 2025 tidak menjawab permasalahan tersebut dan hanya akan melegalisasi kriminalisasi pejuang lingkungan hidup.
Untuk itu WALHI dan ICEL mendesak Presiden Prabowo menerbitkan Perppu untuk tidak memberlakukan KUHAP 2025, jika tidak sistem penegakan hukum lingkungan akan mengalami regresi, menunda keadilan bagi korban, menghambat penyelamatan lingkungan hidup dan menjadi fasilitas impunitas bagi korporasi perusak lingkungan hidup.
Jakarta, 25 November 2025
Narahubung:
Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI
Marsya M. Handayani, Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup & Pengendalian Pencemaran ICEL