Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Jakarta, 27 November 2025–Penggunaan upaya paksa penangkapan kepada aktivis kembali berulang. Dua orang aktivis asal Jawa Tengah, Adetya Pramandira (staf WALHI Jawa Tengah) dan Fathul Munif (Aksi Kamisan Semarang) kali ini menjadi korbannya. Penangkapan semena-mena atau arbitrary arrest terhadap keduanya terjadi pada sekitar 6.45 WIB di Semarang. Secara norma, penangkapan yang dilakukan oleh Polrestabes Semarang kepada keduanya merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan abai pada pemenuhan prinsip-prinsip negara hukum.
Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI menyebut penangkapan terhadap Adetya Pramandira dan Fathul Munif merupakan salah satu bentuk pembungkaman aktivis pro demokrasi. Terlebih keduanya dituduh dengan sangkaan yang yang tidak berdasar dan tidak pernah dipanggil sebagai saksi.
“Penangkapan ini juga menambah rekam buruk kepolisian dalam merespons peristiwa unjuk rasa pada akhir Agustus dan awal September 2025. Penangkapan dengan tuduhan melakukan penghasutan dalam demonstrasi Agustus 2025 melanjutkan tindakan penegakan hukum tidak berdasar dan tidak disertai prosedur hukum yang sah,” tambah Teo.
Berdasarkan informasi dari Tim Hukum Suara Aksi, selama mendampingi keduanya sampai dengan malam ini (27/11/2025) tidak ditemukan tindak pidana kepada keduanya serta tidak ada bukti yang relevan dan dapat diterima.
Selanjutnya, Teo Reffelsen menjelaskan apa yang dilakukan Polrestabes Semarang juga memperlihatkan pembangkangan terhadap Perintah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dalam Surat Telegram Nomor: ST/2422/X/REN.2/2025 Tanggal 22 Oktober 2025 yang memerintahkan larangan kriminalisasi dan mencari-cari kesalahan, menghentikan praktik mencari masalah dan membuat-buat kasus untuk menjatuhkan pihak tertentu, serta memastikan penegakan hukum harus berbasis alat bukti yang sah.
Pemidanaan yang dipaksakan atau kriminalisasi terhadap keduanya juga menunjukkan Polri tidak serius memenuhi tuntutan reformasi di dalam institusinya. Preseden buruk ini semakin mempertegas rezim ini terus menggunakan hukum secara represif kepada mereka yang bersuara kritis. Penggunaan hukum sekedar sebagai efek gentar (chilling effect) terhadap gerakan masyarakat sipil dan lingkungan harus segera dihentikan.
Terkait dengan penangkapan dua aktivis di Semarang, Jawa Tengah dan terus bergulirnya perkara pidana terhadap puluhan orang yang dituduh secara sembarangan terkait peristiwa akhir Agustus dan awal September 2025, WALHI menuntut:
- Presiden Prabowo untuk menggunakan kewenangan yang melekat padanya untuk membebaskan dan menghentikan proses hukum terhadap tahanan politik, termasuk Adetya Pramandira dan Fathul Munif;
- Kapolri secara langsung memerintahkan Kepala Kepolisian Kota Besar (Kapolrestabes) Semarang membebaskan dan menghentikan proses hukum terhadap Adetya Pramandira dan Fathul Munif;
- Kapolri memerintahkan seluruh jajaran Polda di seluruh Indonesia menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap aktivis dan menghormati serta melindungi hak kebebasan berpendapat;
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Ombudsman RI untuk secara aktif mendorong pembebasan dan penghentian proses hukum terhadap Adetya Pramandira dan Fathul Munif.
Narahubung:
Fahmi Bastian, Direktur WALHI Jawa Tengah
Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI