KTT AIS 2023 Takkan Selesaikan Konflik Agraria, Krisis Iklim, dan Kehancuran Ekologis Pesisir-Laut-Pulau Pulau Kecil

Siaran Pers Bersama
Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN)
Forum Peduli Pulau Pari (FPPP)
Eksekutif Daerah WALHI Bali
Eksekutif Nasional WALHI

Jakarta, 11 Oktober 2023 – Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-negara Pulau dan Kepulauan atau Archipelagic and Island State (AIS) Forum 2023 di Bali diklaim oleh Pemerintah Indonesia sebagai satu upaya penting menyelamatkan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Lebih jauh, forum ini dianggap sebagai bentuk nyata kontribusi Indonesia kepada dunia internasional.

Benarkah klaim pemerintah tersebut? Mustaghfirin atau yang biasa disapa Bobi, nelayan Pulau Pari di Kepulauan Seribu, menyatakan bahwa pelaksanaan KTT AIS 2023 hanya terlihat di atas kertas. Menurutnya, di tengah KTT AIS 2023 ini, banyak pulau-pulau kecil di Indonesia yang telah dan sedang tenggelam akibat kenaikan air laut yang dipicu oleh krisis iklim. “Sangat ironis, karena pemerintah Indonesia tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil yang telah dan tengah tenggelam,” katanya.

Bobi mencontohkan Pulau Pari, tempat dimana ia dan keluarganya hidup, kini terancam tenggelam. Sudah sebelas persen dari Pulau Pari hilang akibat kenaikan air laut. Ia bersama dengan tiga orang warga Pulau Pari sejak awal Februari tahun 2023 ini mengambil langkah penting untuk menggugat Holcim, perusahaan semen terbesar di dunia. “Sudah hampir satu tahun gugatan ini berjalan, tetapi pemerintah Indonesia tidak memberikan dukungan sedikit pun bagi langkah kami. Hal ini terbalik dengan sejumlah pemerintah di negara lain, di antaranya Menteri Keadilan Austria, Alma Zadic, yang secara terbuka mendukung gugatan kami. Harusnya pemerintah Indonesia malu,” tegasnya.

Ada alasan mengapa Bobi dan tiga rekannya menggugat Holcim. Bagi Bobi, Holcim telah memproduksi emisi lebih dari 7 miliar ton CO2 sejak tahun 1950. “Kami mendesak Holcim sebagai perusahaan raksasa pencemar bertanggung jawab atas emisi yang telah mereka keluarkan. Tetapi pada saat yang sama Pemerintah Indonesia tidak mendukung gugatan ini,” ungkapnya.

“Forum KTT AIS 2023 di Bali,” tambah Bobi, “Takkan bermakna apa-apa jika Pemerintah tidak memiliki keseriusan menyelamatkan Pulau Pari dan seluruh pulau pulau kecil di Indonesia.”

Kehidupan Nelayan Semakin Sulit
Senada dengan Bobi, Amin Abdullah, Nelayan di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat menegaskan bahwa KTT AIS 2023 tidak akan bermanfaat bagi kehidupan nelayan tradisional di Indonesia selama pemerintah tidak mau menghentikan seluruh proyek yang merusak wilayah pesisir, laut, dan pulau pulau kecil, seperti pertambangan pasir laut yang kini dilegalisasi oleh PP No. 26 Tahun 2023.

Menurut Amin, kehidupan nelayan kini semakin sulit akibat dampak krisis iklim. Salah satu dampak dari krisis iklim, banyak nelayan tradisional di Lombok Timur harus melaut semakin jauh untuk menangkap ikan sampai ke perairan Sumba. “Situasi di lapangan semakin buruk. Nelayan harus menghadapi krisis iklim pada satu sisi. Di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan dampak pertambangan pasir laut yang dulu pernah dialokasikan untuk reklamasi Teluk Benoa,” tegasnya.

Dalam catatan Amin yang merupakan Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), kehidupan nelayan juga semakin sulit sejak disahkannya UU Cipta Kerja dan PP No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan terukur, nelayan tradisional harus mengurus perizinan yang sangat rumit. “Kita bisa bayangkan, bagaimana nelayan mengurus perizinan yang begitu banyak, mulai dari izin kapal yang sangat rumit, izin penangkapan ikan, sampai izin untuk mendapatkan kuota pengangkatan ikan,” jelasnya.

Dengan demikian, kata Amin, KTT AIS 2023 jelas-jelas tidak akan memberikan dampak positif apapun bagi kehidupan nelayan tradisional yang setiap hari harus berjuang melawan dampak krisis iklim dan buruknya tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan. “Berbagai macam pertemuan internasional di Indonesia, seperti KTT AIS 2023 ini, tetap akan mempersulit kehidupan nelayan tradisional di Indonesia,” imbuh Amin.

Masifnya Pembangunan yang Hancurkan Pesisir Bali
Berbagai forum internasional di Bali, khususnya perhelatan KTT AIS 2023 di Bali, seringkali diikuti oleh kegagalan Pemerintah dalam menangani bencana. Hal ini terjadi, menurut Direktur Walhi Bali, Made Krisna Dinata, karena pengaturan ruang wilayah pada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) maupun regulasi seperti RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Perairan dan Pulau-Pulau Kecil) selalu berubah-rubah dan tidak jelas.

“Bahkan regulasi tersebut selalu menjadi bancakan dan legitimasi terhadap proyek-proyek yang merusak alam, seperti proyek reklamasi dan proyek predatoris lainnya. Berbagai proyek tersebut menghancurkan daya dukung dan daya tampung Bali,” ungkap Made Krisna Dinata.

Proyek lain yang penting disebut dalam hal ini adalah Tol Bali Mandara yang telah memberikan dampak buruk terhadap ekosistem mangrove di Tahura Ngurah Rai, Teluk Benoa. Dalam kurun waktu 9 tahun telah terjadi peningkatan sedimentasi seluas 485.62 Ha, yang tentunya akan mempengaruhi ekosistem di perairan Teluk Benoa. Di samping itu, pembangunan Jalan Tol Bali Mandara juga menerabas ekosistem mangrove sedikitnya 2 Ha. Namun sampai saat ini tidak ada upaya pemulihan atau sanksi yang tegas terkait berkurangnya luasan hutan mangrove akibat pembangunan jalan tol tersebut. Secara umum, kawasan mangrove Tahura Ngurah Rai terus mengalami Penyusutan. Sekarang hanya tersisa seluas 1.158,44 hektar. Padahal sebelumnya, luasannya tercatat 1.203,55 hektar.

Beragam pembangunan tersebut, membuat masyarakat pesisir Bali semakin rentan karena dampak krisis iklim. Menurut Made Krisna Dinata, sebagai ekosistem pulau kecil, Bali sangat rentan terhadap Bencana Ekologis. Pantai Kuta dan sekitarnya mengalami abrasi yang cukup parah. Data terbaru pada tahun 2023 menyebut, garis tepi pantainya sudah mengalami kemunduran 25-30 meter. Di Kabupaten Badung, Abrasi telah menghilangkan 703 meter serta sekitar sembilan bangunan rusak berat.

Tahun 2022 lalu, Abrasi juga telah merusak 70 rumah yang berada di pesisir Pantai Pebuahan. Pada Juli 2023 lalu, akibat cuaca ekstrem yang menerjang Bali dalam bentuk banjir, dan angin puting beliung yang melanda pantai Pebuahan, Desa Banyubiru Kabupaten Jembaran. Sebanyak 216 Keluarga mengalami kerugian materiil karena rumah yang rusak serta perahu nelayan yang hancur. Banyak warga atau masyarakat yang harus mengungsi ke rumah keluarga masing-masing karena merasa tidak aman.

“Dengan demikian, berbagai bentuk pembangunan infrastruktur yang dibangun di kawasan pesisir Bali akan memperparah penghancuran ekologis Pulau Bali sekaligus memperburuk dampak krisis iklim yang harus dihadapi oleh masyarakat pesisir Bali kedepannya,” kata Made Krisna Dinata.

Bencana Iklim di Pesisir dan Pulau Kecil Semakin Massif
KTT ASIS 2023 juga tidak mempertimbangkan bencana iklim yang semakin massif menghancurkan kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Menurut, Melva Harahap, Manajer Kajian Kebencanaan Eksekutif Nasional Walhi, dalam satu dekade terakhir, bencana iklim semakin masif. Dampaknya, telah banyak kematian, hilang harta benda, hancurnya mata pencaharian nelayan, dan kerusakan lingkungan.

Menurut Melva, pada 2022 telah terjadi 1.057 cuaca ekstrem serta 26 kali gelombang pasang dan abrasi di pesisir dan laut. Akibatnya, banyak tangkap tradisional tak bisa melaut. Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, sejumlah nelayan sudah tidak bisa melaut selama tiga pekan sejak Desember 2022 lalu. Akibat cuaca buruk, hasil tangkapan ikan sebanyak tiga ton juga harus hilang di laut karena perahu nelayan di kota Kupang dihantam gelombang.

Pada saat yang sama, ratusan nelayan tradisional di Teluk Jakarta tetap harus melaut meskipun menghadapi cuaca ekstrem. Tak jarang mereka pulang dengan tangan hampa, tanpa hasil tangkapan. Bahkan, di penghujung 2022 lalu, seorang nelayan bernama Suhali meninggal di Teluk Jakarta.

“Apa yang dialami oleh nelayan di Kupang dan Jakarta menggambarkan betapa bencana iklim sangat berbahaya bagi kehidupan lebih dari dua juta nelayan tradisional di Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah nelayan yang meninggal akibat cuaca buruk sebanyak 87 orang, dan pada 2020 naik menjadi 251 orang. Tentu hal ini tak dapat dibiarkan, karena mereka adalah aktor utama sektor kelautan dan perikanan,” Kata Melva.

Di Pulau kecil, bencana longsor di Pulau Serasan, Kepulauan Riau, yang terjadi pada pertengahan tahun 2023 ini, menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk melindungi pulau kecil. Tapi anehnya, banyak pulau-pulau kecil dihancurkan untuk pertambangan nikel. Tak hanya itu, Masyarakat di pulau kecil dipaksa pindah demi invetasi. Hal ini sebagaimana terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. “Masyarakat pulau kecil, seperti Pulau Rempang, memiliki kerentanan tinggi oleh bencana iklim, tetapi pemerintah memaksa mereka menjadi pengungsi,” ungkap Melva.

Kerancuan Ekonomi Biru
KTT AIS 2023 juga menjadi ruang Pemerintah mengkampanyekan ekonomi biru menjadi solusi tata kelola kelautan dan perikanan. Menurut Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, menyampaikan bahwa ekonomi biru bukanlah solusi untuk tata kelola laut di Indonesia, mengingat secara mendasar laut di Indonesia masih diposisikan sebagai ruang kompetisi terbuka (mare liberum). Doktrin mare liberum atau Laut Bebas digagas—yang oleh Hugo de Groot alias Hugo Grotius, seorang ahli hukum Belanda—dipadukan dengan ekonomi pasar modern, sesungguhnya mendorong terjadinya eksploitasi berlebih pada sumber daya laut.

Lebih lanjut, doktrin mare liberum menjadi dasar dari konsep laut sebagai open acces, di mana laut diposisikan sebagai ruang kompetisi antara nelayan atau masyarakat dengan industri skala besar, kontrol dan akses tidak diberikan kepada masyarakat pesisir, siapa pun yang memiliki power dapat mengeksploitasi sumber daya di wilayah tersebut. “Warna Biru” dalam “ekonomi biru” merepresentasikan ekonomi kapitalis berintikan pasar dan modal.

“Dalam situasi ini, ruang tangkap nelayan tradisional tidak mendapatkan pengakuan, terutama dalam peraturan perundangan. Pemerintah lebih memprioritaskan untuk memberi akses yang terbuka kepada siapa pun atas dasar siapa kuat (secara finansial). Kondisi ini mengakibatkan apa yang disebut sebagai “tragedi kepemilikan bersama” (tragedy of the commons),” kata Parid.

Ekonomi biru tidak memiliki cerita baik. Pengalaman penerapan ekonomi biru sekaligus menggarisbawahi dampaknya di berbagai negara. Di Zanzibar, Tanzania, dan Chile, ekonomi biru melahirkan diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan melalui ketidakadilan prosedural pada perikanan skala kecil.

Selanjutnya, di negara Palau dan Pohnpei, ekonomi biru menyebabkan tragedi komoditas yang menyebabkan tingkat deplesi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, kesenjangan dan kemiskinan meningkat serta krisis ekologi, dan perubahan iklim kian massif. Di Papua Nugini, ekonomi biru terbukti menggerus makna geo-spritual masyarakat pulaunya; mengganggu keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pulau, degradasi sumber daya alam dan kerusakan ekologi pulau kecil. Sementara itu, di Namibia, ekonomi biru hanya menjadi justifikasi proyek-proyek pertambangan laut dalam, mendorong degradasi lingkungan dan dampak sosial yang negatif, utamanya terhadap mata pencaharian dalam sektor perikanan Namibia.

Dalam kerancuan konseptual dan bias kepentingan negara-negara utara, ekonomi biru dikampanyekan oleh pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional, termasuk dalam KTT AIS 2023 ini, sekaligus diarusutamakan dalam pembangunan ekonomi kelautan, khususnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. “Ini merupakan ironi besar,” tegas Parid.

Di Indonesia, ekonomi biru telah dan sedang mendorong dan mempercepat perampasan ruang laut atau ocean grabbing. “Istilah ocean grabbing digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil,” urai Parid.

Dalam situasi semacam ini, ekonomi biru justru menambah persoalan baru dari pada menyelesaikan masalah tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia. “Pada titik ini, Pemerintah Indonesia seharusnya kembali pada konsep ekonomi yang dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia, dan mempromosikan konsep ekonomi konstitusi itu dalam forum-forum internasional seperti AIS 2023. Pemerintah seharusnya tidak silau dengan ekonomi biru yang sangat bias kepentingan negara-negara utara,” kata Parid.

Dengan demikian, forum tersebut hanya akan menjadi ruang perluasan konsolidasi kapital dan investasi untuk menguasai pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. (*)

 

Informasi lebih lanjut

Amin Abdullah, Nelayan Tradisional - Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), email: [email protected]
Mustagfirin (Bobi), Nelayan Pulau Pari, Ketua FPPP – Penggugat Iklim Holcim, di email: [email protected]
Made Krisna Dinata, Direktur WALHI Bali, email: [email protected]
Melva Harahap, Manajer Kajian Kebencanaan Eksekutf Nasional WALHI, email: [email protected]
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, email: [email protected]