Kelembagaan Ekonomi Pedesaan dalam Konsep Desa Ekologis (seri WKR-3)

KELEMBAGAAN EKONOMI PEDESAAN DALAM KONSEP DESA EKOLOGIS
Ahmad Farid

Memahami konsep Ekonomi pedesaan

Ekonomi pedesaan memiliki kemiripan prinsip dan nilai dengan ekonomi kerakyatan telah menjadi pembicaraan yang cukup lama, baik di kalangan organisasi masyarakat sipil, para ekonom progresif dan juga di sebagian internal pemerintahan sendiri. Banyaknya pembicaraan tentang ekonomi kerakyatan ini sebagian besar berhenti pada dokumen konsep yang belum pernah terealisasi dalam praktik secara konprehensif. Apalagi dalam sebuah gerakan yang massif.

Jika kita cermati lebih jauh, sebenarnya ada 3 sistem yang sering menjadi pembicaraan dan memiliki relasi/keterhubungan yang sangat erat antara sistem ekonomi pedesaan – ekonomi kerakyatan dan – ekonomi pancasila. Dikatakan memiliki keterhubungan, karena ada beberapa kesamaan nilai dan prinsip yang menjadi dasarnya terkandung di ketiga sistem tersebut walaupun dalam penjabaran pelaksanaannya di lapangan akan ada perbedaan spesifik.

Ekonomi Pancasila yang secara konstitusional merupakan konsep ekonomi Negara Indonesia mendasarkan nilainya pada 5 sila yang ada di pancasila, dimana didalamnya memiliki unsur: Teologi, humanity, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. dalam praktiknya, sistem ekonomi pancasila ini tidak dijalankan secara serius oleh para pemangku kebijakan, karenanya tidak mengherankan kemudian terjadi kontradiksi antara konsep dan praktek. Sebagai contoh, ketimpangan penguasaan lahan yang banyak terjadi saat ini, sangat kontradiksi dengan asas ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kejadian tindakan kekerasan fisik dan non fisik oleh Negara dalam praktek penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber ekonomi oleh masyarakat kontradiksi dengan nilai “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Pada Ekonomi Kerakyatan, kelima asas yang ada di ekonomi pancasila menjadi bagian yang terintegrasi dalam sistem ekonomi kerakyatan, dengan penekanan khusus pada unsure kerakyatan dari 5 unsur yang ada pada sistem ekonomi pancasila.

Munculnya kembali perbincangan tentang ekonomi kerakyatan, mengingatkan kita pada peristiwa krisis moneter 1998 yang telah memporak porandakan ekonomi global termasuk Indonesia. Hantaman badai krisis tersebut menghentakkan banyak pihak akan rapuhnya fondasi ekonomi nasional yang ditopang oleh sistem ekonomi neoliberal. Disaat banyak korporasi besar tumbang oleh badai tersebut, eksistensi usaha kecil menengah yang banyak digawangi oleh masyarakat kecil (UMKM) tidak terlalu terpengaruh, hal ini ditengarai karena pengaruh dari sifat dan karakter ekonomi kerakyatan yang dalam prakteknya lebih moralistik, demokratik, dan mandiri.

Secara definitif, ekonomi kerakyatan dapat dimaknai sebagai sistem ekonomi nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pengendalian anggota-anggota masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian (Baswir, 2008).

Adapun  Guru Besar, FE UGM (alm) Prof. Dr. Mubyarto, menjelaskan ekonomi kerakyatan itu sebagai sebuah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring (network) yang menghubung-hubungkan sentra-sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentra dan pelaku usaha masyarakat.

Pilar Ekonomi Kerakyatan
Dalam upaya perwujudan ekonomi kerakyatan, terdapat pilar–pilar yang harus ditegakkan demi demokratisasi ekonomi. Adapun beberapa pilar ekonomi kerakyatan tersebut sebagaimana telah diulas di portal-ilmu.com meliputi:

  1. Peranan vital negara (pemerintah)
    Negara sebagai pihak yang berwenang dalam menata kehidupan masyarakat berperan penting dalam mengatur jalannya roda perekonomian. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus turut berperan dalam menjamin kemakmuran masyarakat sekaligus mencegah terjadinya penindasan masyarakat yang mungkin dilakukan oleh segelintir orang yang berkuasa.
  2. Efisiensi ekonomi berdasarkan keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan
    Sistem ekonomi kerakyatan sama sekali bukan sistem ekonomi yang anti pasar. Dalam sistem ini, pasar tetap harus berjalan, namun dibarengi dengan adanya upaya perwujudan keadilan bagi efisiensi pasar, partisipasi masyarakat, serta keberlanjutan pasar atau sistem itu sendiri.
  3. Mekanisme alokasi melalui perencanaan pemerintah, mekanisme pasar, dan kerjasama (kooperasi)
    Dalam sistem ekonomi kerakyatan juga berlangsung mekanisme alokasi, kecuali untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pengalokasian ini tetap di dasarkan pada mekanisme pasar dan atau koperasi.
  4. Pemerataan penguasaan faktor produksi
    Substansi utama dalam sistem ekonomi kerakyatan adalah bagaimana berlangsungnya pemerataan terhadap penguasaan faktor produksi. Karenanya, dibutuhkan adanya proses sistematis untuk mendemokratisasikan penguasaan faktor-faktor produksi atau peningkatan kedaulatan ekonomi rakyat.
  5. Pola hubungan produksi kemitraan, bukan buruh-majikan
    Salah satu karakter utama dari ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi juga dapat dilihat dari ketiadaan watak individualistis dan kapitalistis dalam kegiatan ekonomi masyarakatnya. Jadi, dalam kegiatan ekonomi, yang ada adalah pola hubungan kemitraan, dan bukannya hubungan layaknya buruh dan majikan.

Dan terakhir berkaitan dengan sistem Ekonomi Pedesaan, dimana unsure dasarnya sebagian besar mengacu pada sistem ekonomi kerakyatan dengan penekanan khusus pada lingkup masyarakat pedesaan yang masing-masingnya memiliki ciri khas spesifik.

Dengan dasar pemahaman ekonomi pancasila dan ekonomi kerakyatan, maka ekonomi pedesaan dalam konsep desa ekologis dapat kita fahami sebagai sebuah gerakan ekonomi masyarakat pedesaan yang memiliki landasan umum etik, demokratik dan mandiri dalam pelaksanaannya. Yang dapat diterjemahkan sebagai berikut:

  1. Landasan etik, merupakan landasan nilai atau moral baik berkaitan dengan nilai universal kemanusiaan, lingkungan hidup maupun nilai masyarakat setempat sendiri.
  2. Demokratik, dimana konsep ekonomi yang dijalankan dilandasi asas keterbukaan dan kekeluargaan melalui proses musyawarah-mufakat ala masyarakat pedesaan.
  3. Sedangkan asas mandiri, untuk menegaskan kembali praktik kemandirian masyarakat desa yang kini mulai banyak pudar. Cukup banyak contoh konsep kemandirian masyarkat desa seperti: pola kerja gotong royong, konsep pemukiman yang menyatu dengan sistem pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga, lumbung pangan sebagai upaya mempertahankan keamanan pangannya, Dll. Dan bagian penting dari asas kemandirian ini juga adalah potensi yang dimiliki oleh masyarakat baik dalam bentuk komoditi, geografis, sosial-budaya maupun sumber daya manusia sebagai dasar pengembangannya.

Pilihan strategis kelembagaan ekonomi masyarakat desa
Pelembagaan usaha ekonomi masyarakat di pedesaan dipandang penting dalam perspektif bangunan kedaulatan ekonomi masyarakat desa, salah satunya untuk memperkuat daya saing dan daya tawar objek ekonomi masyarakatnya.

Pelembagaan ini juga menjadi kebutuhan riil di lapangan, ditengah penguasaan sumber-sumber ekonomi masyarakat oleh korporasi hingga ke wilayah pedesaan. Tingkat ketergantungan yang besar ini, tentu akan menggerus aspek kedaulatan rakyat yang menjadi tujuan utamanya.

Jika mengacu pada prinsip, nilai dan peluang untuk pengembangan ekonomi di pedesaan secara terlembaga, maka ada 2 (dua) pilihan bentuk strategis yang dapat dikembangkan oleh masyarakat pedesaan, yakni:

  1. BUMDES (Badan Usaha Milik Desa/Nagari/ kampung) yang dasar pembentukannya sudah cukup lengkap mulai dari undang-undang, peraturan pelaksananya, hingga kebijakan teknis operasional seperti dengan lahirnya UU 6 tahun 2014 tentang desa, UU 32 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, PP 43 tahun 2014 dll.
  2. Koperasi yang secara institusional merupakan badan hukum usaha yang diakui bukan hanya oleh Negara, tapi juga oleh dunia, dimana koperasi juga telah memiliki organisasi internasionalnya yakni ICA (International Cooperative Alliance).

Kedua bentuk kelembagaan usaha ini memiliki kecocokan untuk diterapkan di wilayah pedesaan dengan alasan: a). Memiliki landasan konstitusional dan hukum yang jelas dan tegas; b). Termaktub dengan jelas dalam kebijakan pemerintah baik di tingkat nasional, daerah hingga ke pemerinatahan desa. Posisi ini memungkinkan pemerintah dapat memperkuat posisi kedua bentuk lembaga usaha tersebut melalui program-programnya baik jangka pendek-menengah serta jangka panjang, dan c). Kedua bentuk kelembagaan tersebut mensyaratkan dengan tegas keterlibatan warga sebagai pelaku aktif di dalamnya.

Dalam pelaksanaannya di lapangan, terkadang kita jumpai perbedaan pandangan dalam melihat posisi BUMDES dan Koperasi serta strategi implementasinya.  Perbedaan tersebut bisa jadi karena dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya: 1). Pemahaman atas kedua bentuk kelembagaan oleh masing-masing orang dan komunitas yang juga tidak seragam; 2). Adanya kelebihan dan kekurang dari kedua bentuk kelembagaan tersebut yang mempengaruhi kecenderungan orang dan/atau komunitas dalam menentukan pilihan; 3). Situasi kontekstual di wilayah masing-masing yang disebabkan oleh adanya dinamika politik di desa, adanya pengalaman penyimpangan praktik serta kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.

Untuk meminimalkan mispersepsi atas dua bentuk kelembagaan tersebut, maka berikut dapat diuraikan perbedaan diantara keduanya, sebagaimana diurai oleh www.bedesa.com 

No

Komponen

Bumdes

Koperasi

1

Prinsip pendiriannya

pendirian BUMDes berdasar UU No 6 Tahun 2014 yakni pasal 87, 88, 89 dan 90 menyebut, BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola asset,  jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa

berdiri atas kumpulan individu yang sepakat membangun lembaga yang bergerak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya dengan prinsip kerjasama, kekeluargaan dan pembagian hasil yang adil

2

Pengambilan keputusan

BUMDes meletakkan kekuasaan tertingi pada Musyawarah Desa

Koperasi meletakkan keputusan tertingginya pada anggota

3

Laba hasil usaha

Keuntungan yang dihasilkan BUMDes menjadi pendapatan bagi PADes lalu dibagikan pada warga desa dalam rupa-rupa program pembangunan untuk mendorong kesejahteraan warga desa

keuntungan koperasi dalam bentuk Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dibagikan pada anggota berdasarkan partisipasi masing-masing anggota pada pergerakan koperasi-nya

4

Karakter institusi

BUMDes adalah institusi ekonomi bercirikan desa dengan daulat warga desa.

Koperasi adalah soko guru ekonomi Indonesia dengan daulat anggota

5

Cakupan usaha

BUMDes adalah lembaga yang dibatasi pada lokal berskala desa tetapi BUMDes bisa membentuk unit usaha yang memiliki kelengkapan diri sebagai lembaga hukum yang sah dan eksis. Hingga sampai saat ini BUMDes masih berada pada kapasitas usaha berskala desa

Koperasi juga secara jelas telah menjadi badan hukum yang eksis dan bisa bergerak lintas batas kewilayahan. Koperasi tidak dibatasi dengan wilayah tertentu dalam pergerakannya, koperasi juga memungkinkan dirinya menjadi lembaga besar dengan daya jangkau keanggotaan tak terbatas. Sehingga memungkinkan dirinya menjadi lembaga ekonomi besar dengan penguasaan struktur modal yang besar pula.

Jika sudah memahami kelebihan dan kekurangan dari masing-masing bentuk kelembagaan usaha tersebut, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah masyarakat harus memilih salah satu diantara keduanya ataukan bisa kedua-duanya dijalankan?

Untuk aspek yang sangat dipengaruhi oleh situasi kontekstual (sosial, politik, ekonomi dan geografis) di masing-masing wilayah, maka pilihan atas bentuk kelembagan usaha masyarakat tersebut tentunya (juga) sangat kontekstual. Sehingga pilihan BUMDES atau KOPERASI atau BUMDES dan KOPERASI menjadi opsi yang dapat dipilih secara merdeka oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan situasi setempat, sepanjang pilihan tersebut didasarkan atas kesadaran dan pemahaman yang utuh.

Namun demikian, berdasarkan karakteristik dari kedua lembaga ekonomi tersebut dimana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka jika dapat disinergikan dengan menjalankan keduanya, akan memiliki daya gedor yang cukup kuat untuk mempercepat pencapaian tujuan, dan hal ini sangat memungkinkan jika melihat kembali aspek keselarasan tujuan utama dari keduanya.

Untuk menghindari overlap peran dan fungsi yang bisa berdampak buruk, maka pada tahap perencanaan operasional, kedua bentuk lembaga ekonomi masyarakat ini harus melakukan pembagian peran yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, jika BUMDES bergerak di penguatan produksi komoditi (hulu), maka koperasi bisa memperkuat sektor hilirnya, dengan melakukan diversifikasi atau hilirisasi produk. Pun halnya jika koperasi memainkan perannya di hulu, maka BUMDES akan berperan di hilir. Dengan pola seperti ini, maka diharapkan pondasi ekonomi masyarakat desa akan lebih kokoh.