Jumlah Nelayan di Indonesia Terus Menurun Akibat Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif

Pernyataan sikap
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 
Hari Nelayan 2022 

Jumlah Nelayan di Indonesia Terus Menurun Akibat Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif 

Jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir sebagaimana dilaporkan oleh dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021. Pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 2.16 juta orang. Namun pada tahun 2019 lalu, jumlahnya tercatat hanya 1.83 juta orang. Dengan demikian, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang tahun 2010–2019.  

Dalam catatan WALHI, penurunan jumlah nelayan di Indonesia didorong oleh dua hal, yaitu krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.  

Terkait dengan krisis iklim, nelayan di berbagai wilayah di Indonesia sangat terdampak karena aktivitas menangkap ikan di laut sangat mengandalkan cuaca yang bersahabat. Jika cuaca di laut tidak bersahabat, maka nelayan tidak bisa pergi melaut. Selain itu, krisis iklim membuat nelayan sulit memprediksi cuaca. Selain memperburuk cuaca, gelombang di laut menjadi semakin tinggi akibat krisis iklim. Kondisi ini memaksa nelayan untuk tidak melaut.  

Akibat krisis iklim, nelayan di Indonesia hanya bisa pergi melaut selama 180 hari atau enam bulan dalam satu tahun. Hal ini memperburuk kehidupan sosial dan ekonomi nelayan di Indonesia. Kondisi inilah yang memaksa nelayan di Indonesia beralih profesi.  

Krisis iklim juga telah menyebabkan kematian nelayan di perairan Indonesia terus meningkat. WALHI mencatat pada tahun 2020, jumlah nelayan yang meninggal di laut tercatat sebanyak 251 orang. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun 2010 yang jumlahnya hanya 86 orang.   

Pada masa yang akan datang, krisis iklim akan terus memperburuk kehidupan nelayan di Indonesia. Bedasarkan laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang terbit pada 28 Februari 2022, krisis iklim dilaporkan akan memperparah peningkatan suhu dan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis serta akan mengurangi pendapatan Indonesia dari penangkapan ikan sebesar 24 persen. Di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati dikarenakan krisis iklim pada tahun 2030 dan pada tahun 2050, 95 persen akan mencapai kategori level ancaman tertinggi, berdampak pada perikanan yang bergantung dengan karang.  

Ancaman Industri Ekstraktif  
Penurunan jumlah nelayan di Indonesia sangat erat dengan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Di wilayah pesisir, nelayan harus berhadapan dengan ekspansi proyek reklamasi dan pertambangan di Indonesia. WALHI mencatat, sebanyak 747.363 keluarga nelayan di Indonesia terdampak oleh proyek reklamasi. Sampai dengan tahun 2040, pemerintah Indonesia merencanakan wilayah reklamasi seluas 2.698.734,04 hektar dari angka 79.348 hektar pada tahun 2020.  

Selain itu, pemerintah Indonesia juga mendorong ekspansi proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang menyebabkan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan di Indonesia kehilangan ruang hidupnya. Selain itu, sebanyak 6081 desa pesisir kawasan perairannya telah tercemari limbah pertambangan. Sampai dengan tahun 2040, pemerintah telah merancanakan proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil seluas 12.985.477 hektar.

Penangkapan ikan terukur
Salah satu industri ekstraktif yang kini didorong oleh pemerintah Indonesia adalah kebijakan penangkapan ikan terukur. WALHI mencatat, kebijakan ini merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Inkonstitusional Bersyarat.

Melalui kebijakan penangkapan ikan terukur, Pemerintah Indonesia akan memberikan konsesi kepada sejumlah korporasi besar untuk menangkap ikan berdasarkan kuota di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dengan sistem kontrak selama jangka waktu tertentu. Dengan sistem kuota kontrak, perusahaan penangkapan ikan akan mendapat keistimewaan luar biasa.

Kebijakan ini akan mendorong persaingan bebas antara nelayan dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. Penangkapan ikan terukur adalah karpet merah yang diberikan kepada korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya ikan. 

Lebih jauh, kebijakan penangkapan ikan terukur adalah bentuk privatisasi, swastanisasi, dan liberalisasi sumber daya ikan di Indonesia yang meminggirkan nelayan dari ruang hidupnya.

Pada masa yang akan datang, kebijakan ini akan mendorong penurunan jumlah nelayan di Indonesia yang selama ini berjasa bagi penyediaan pangan di Indonesia. Nelayan adalah pahlawan protein bangsa yang berjasa mengantarkan ikan dari laut ke meja makan kita. Namun, keberadaannya terus terancam.  

Desakan kepada pemerintah  
Atas dasar penjelasan di atas, WALHI menyampaikan sejumlah desakan kepada Pemerintah sebagai berikut:  

Pertama, Meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi berbagai izin usaha di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang terbukti merugikan nelayan di Indonesia.   

Kedua, Meminta pemerintah untuk menghentikan berbagai upaya liberalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia. 

Ketiga, Mendesak Pemerintah untuk segera menyusun aturan turunan dari UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang memandatkan pemerintah untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan, khususnya kepada nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional dari ancaman krisis iklim.  

Jakarta, 06 April 2022

 

Narahubung
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, di nomor 0812-3745-4623 atau email: [email protected]