ITF Sunter: Mengatasi Masalah Sampah Jakarta dengan Menciptakan Masalah Baru

Jakarta, 21 Februari 2020

ITF Sunter akan dibangun dengan dana sebesar USD 250 juta bersumber dari pinjaman International Finance Corporation (IFC) yang merupakan bagian dari Bank Dunia, diperkirakan akan menciptakan masalah baru bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Masalah-masalah baru yang akan timbul dengan dibangun dan beroperasinya ITF Sunter antara lain: (1) pembiayaan investasi dan operasional; (2) penanganan pencemaran udara dan limbah B3 abu terbang dan kerak FABA (Fly Ash dan Bottom Ash); (3) potensi peningkatan masalah kesehatan masyarakat yang bermukim di sekitar ITF Sunter.

Tanggal 21 Februari setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Peringatan tersebut untuk mengenang tragedi longsor dan ledakan di TPA Leuwigajah, Kota Cimahi pada 21 Februari 2005. Peristiwa tersebut mengakibatkan Kampung Cilimus dan Kampung Pojok hilang tertimbun longsoran sampah dan memakan korban 157 orang. Pasca tragedi TPA Leuwigajah, muncul desakan melakukan perubahan kebijakan pengelolaan sampah. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah produk kebijakan yang didorong oleh tragedi Leuwigajah. Beberapa substansi utama UU No.18 tahun 2008 adalah mendorong pengelolaan sampah dari sumber dan minimisasi sampah.

Ironisnya, 12 tahun setelah Undang-undang pengelolaan sampah diterbitkan, fokus penanganan di hilir masih menjadi program utama pemerintah dan terjadi hampir di seluruh daerah, termasuk DKI Jakarta. Ibukota negara kita setiap harinya menghasilkan rata-rata 7.824 ton sampah yang keseluruhannya berakhir di TPST Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi. Sebagian lagi terbuang ke sungai, laut, lahan kosong, dan selokan. Sebagian besar TPA kota-kota sedang dan kota besar di Indonesia juga seringkali mengalami kebakaran atau sengaja dibakar. Peningkatan dan perbaikan infrastruktur serta manajemen TPA dari open dumping menjadi sanitary landfill juga berjalan lambat. Pencemaran dan pajanan racun dari TPA yang ada saat ini karena terbatasnya sumber pembiayaan, selain mengancam para pekerja dan pemulung di TPA-TPA, juga mempengaruhi kualitas hidup warga sekitar TPA. Sayangnya, penegakan hukum atau sanksi yang ditegakkan akibat kelalaian pengoperasian TPA tidak pernah kita dengar.

Dalam konteks kebijakan penanganan sampah, kami mengapresiasi Inisiatif Pemda DKI Jakarta untuk pelayanan pengumpulan sampah elektronik yang sudah terpilah dan menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 142 tahun 2019 tentang larangan penggunaan kantong belanja sekali pakai. Namun pada sisi lain, kami mengkritisi pemerintah DKI Jakarta yang tidak mengeluarkan kebijakan yang dapat menekan atau mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab atas produk yang dibuat serta kemasannya. Alih-alih melakukan minimalisasi sampah dan penanganan dari sumber, Pemerintah DKI Jakarta justru merencanakan proyek ITF di Sunter dan 3 tempat lainnya.

Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati mengatakan “Membangun Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter sebagai bagian dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 Kota adalah kebijakan penanganan sampah lain yang keliru dan semu. Fasilitas yang dibangun dengan dana USD 250 juta ini diperkirakan mengelola sampah sebesar 2.200 ton sampah per hari dengan biaya operasional sekitar USD 20 juta.”

“Biaya ini belum termasuk biaya penanganan limbah B3 FABA dan pemantauan dioxins dari emisi cerobong, air limbah dan FABA. Sayangnya, meskipun telah diketahui publik tentang risikonya, emisi dioxins dari operasional ITF tidak termasuk dampak penting dan signifikan yang harus dipantau” tambah Yuyun Ismawati.

Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta mengatakan “ITF Sunter dan 3 ITF lain yang direncanakan akan memunculkan masalah baru. Proyek bakar sampah ini keluar dari asas tanggung jawab pengelolaan sampah berdasar UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sampah itu harus kembali pada produsen (penghasil) sampah. DKI memiliki anggaran pengelolaan sampah yang di tahun 2019 mencapai lebih dari 1 triliun rupiah, seharusnya dengan anggaran sampah cukup besar bisa dimaksimalkan untuk strategi pengurangan sampah.”

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Urban dan Energi WALHI mengatakan “Pembangunan ITF dengan teknologi insinerator akan menimbulkan polusi udara dan menghasilkan sisa pembakaran berupa abu yang beracun. Pemerintah mengelola TPA sampah rumah tangga tidak mampu, apalagi mengelola abu pembakaran yang ‘tergolong bahan beracun berbahaya (B3)”.

Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan ICEL, menyatakan, "Pihak pengembang dapat menyatakan bahwa insinerator di Sunter akan menggunakan batasan emisi untuk insinerator yang beroperasi di Eropa. Akan tetapi, data pemantauan emisi insinerator di Eropa menunjukan bahwa insinerator menjadi salah satu sumber utama emisi partikel halus atau yg biasa disebut PM2.5. Udara Jakarta yang sudah dalam keadaan tercemar malah akan diperparah dengan emisi dari insinerator di ITF ini."

Oleh karena itu kami mendesak Pemerintah DKI Jakarta untuk:

  1. Membatalkan proyek Insinerator ITF Sunter Jakarta Utara dan rencana proyek 3 ITF insinerator lain di Cilincing, Jakarta Utara; Rawa Buaya, Jakarta Barat; dan Jakarta Selatan;
  2. Memperbaiki tata kelola sampah daerah sesuai Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah;
  3. Pelibatan aktif warga dan sektor informal yang selama ini berkontribusi dalam kerja pengurangan, pemilahan dan penggunaan kembali;
  4. Mendesak pemerintah daerah untuk menekan produsen bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan dengan Extended Producer Responsibility (EPR).

 

Narahubung:
Tubagus Soleh Ahmadi
(WALHI Jakarta)
+62856932779330

Fajri Fadhilah
(ICEL)
+6281283174014