Di FGD Kajian Urgen dan Cepat Lemhanas, WALHI Desak Pencabutan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Pada 21 November 2023, Direktorat Pengkajian Ekonomi dan Sumber Kekayaan Alam, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) menyelenggarakan Diskusi Terfokus dan Terhimpun atau Focus Group Discussion (FGD) Kajian Urgen dan Cepat dengan tajuk “Mekanisme Peraturan Pemerintah 2023 No. 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.”

Dalam kesempatan, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, hadir sebagai salah satu pembicara yang menyampaikan catatan kritis dan mendesak pencabutan PP No. 26 Tahun 2023 ini. Selain Parid, hadir juga Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Miftahul Huda; Sutrisno Anggoro, Guru Besar Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Diponegoro; Dietriech Geoffrey Bengen, Guru Besar Bidang Ilmu Ekologi Pesisir Fakultas Ilmu Perikanan Dan Ilmu Kelautan, IPB; dan Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi INDEF.

Parid menyatakan bahwa masyarakat pesisir di seluruh Indonesia tidak membutuhkan PP 26 Tahun 2023 dan oleh karena itu mendesak regulasi tersebut untuk segera dicabut dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. “Desakan ini sejalan dengan rekomendasi yang telah disampaikan oleh Tim Percepatan Reformasi Hukum pada September 2023 lalu,” tegasnya.

Di dalam dokumen yang berjudul Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum (hal. 30), kata Parid, disebutkan bahwa salah satu langkah mendesak yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah membatalkan PP 26/2023 mengenai Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. PP ini membuka kembali pintu ekspor pasir laut. Penambangan dan ekspor pasir laut telah terbukti menyebabkan konflik dan memberikan dampak buruk terhadap SDA dan lingkungan hidup. Pemanfaatan sedimentasi hasil laut pernah dilarang lewat SK Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 dengan alasan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas (di antaranya tenggelamnya pulau-pulau kecil), khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah. Alasan lainnya yaitu belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura, sehingga dikhawatirkan mempengaruhi batas wilayah antara kedua negara.

Ironisnya, rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum ini diacuhkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Pada 16 Oktober 2023 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengeluarkan aturan teknis, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.  

Membaca Politik Bahasa Sedimentasi Laut  
Penggunaan istilah sedimentasi laut dalam PP 26 Tahun 2023 dan Permen KP No. 33 Tahun 2023, dinilai oleh WALHI sebagai upaya untuk menyembunyikan tujuan sebenarnya dari regulasi ini. Frasa Pengelolaan Sedimentasi Laut sebenarnya bermakna ‘Penambangan pasir laut’. Selain itu, penyebutan istilah sedimentasi laut yang diambil untuk memulihkan ekosistem dalam regulasi ini, pada dasarnya upaya pemutarbalikan tujuan sebenarnya, yakni pengambilan sedimen atau pasir laut untuk tujuan komersil.

Tak hanya itu, penggunaan kata pembersihan dalam regulasi tersebut terlihat sangat bermakna ramah lingkungan dan menjaga kesehatan laut. Tetapi sebenarnya hal itu bermakna pengambilan material pasir dengan cara keruk ataupun menggunakan kapal hisap skala besar.

“Dengan demikian, penggunaan sejumlah istilah yang terkesan ramah lingkungan, merupakan politik bahasa yang digunakan oleh Pemerintah untuk mengelabui pikiran masyarakat. Ini adalah upaya manipulasi biru (blue washing),” tegas Parid.

WALHI juga menggarisbawahi dasar atau konsideran PP 26 Tahun 2023 yang hanya mencantumkan Pasal 5 UUD 1945 tentang kewenangan Presiden membuat PP, serta UU No. 32 Tahun 2014. “Hal ini menunjukkan bahwa PP ini tidak bertujuan untuk menjaga lingkungan, terutama di pesisir, laut, dan pulau kecil, karena beragam undang-undang yang mengatur khusus urusan itu (lex specialis) tidak dijadikan dasar hukum oleh Pemerintah,” ungkap Parid.

Lebih jauh, Parid menjelaskan bahwa biaya pemulihan lingkungan akibat pertambangan pasir laut jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan. “Hasil Kajian WALHI bersama dengan para ahli menjelaskan, jika 1 meter kubik (M3) menghasilkan 1 Rupiah, maka biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan sebesar 5 Rupiah. Artinya, biaya pemulihan lingkungan hidup itu lebih besar lima kali lipat dari pendapatan,” ungkapnya.  

Data ini disampaikan untuk membantah pemerintah Indonesia yang menargetkan peningkatan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari sektor kelautan dan perikanan terutama mendorong eksploitasi sumber daya pesisir dan laut.

Sebagai contoh, jika digunakan asumsi harga per meter (M3) kubik sebesar 7,5 Dollar Singapura, maka biaya yang diperlukan untuk pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir sebanyak 344,8 juta meter kubik (M3) pasir laut sebesar 129,3 juta Dollar Singapura atau setara Rp 1,507 triliun per Tahun.

Dengan demikian, penambangan pasir laut hanya akan melanggengkan kerusakan di laut Indonesia, menghancurkan kehidupan lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan tradisional, dan pemerintah Indonesia harus mengeluarkan dana pemulihan jauh lebih besar dari keuntungan yang didapatkan.

“Oleh karena itu, Pencabut PP 26 tahun 2023 dan seluruh aturan di bawahnya adalah jalan terbaik bagi masa depan lautan Indonesia dan masa depan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan,” pungkasnya.

 

Informasi lebih lanjut
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, di email: [email protected]