Demi Keselamatan dan Keberlanjutan Lingkungan Hidup Mendesak Presiden Mengeluarkan Kebijakan Moratorium Tambang Timah di Bangka Beliting

Sebagai wilayah kepulauan, Provinsi Bangka Belitung dihadapkan pada situasi krisis dari salah satu sumber daya alamnya yang dikeruk untuk memenuhi pasokan timah global ke sepuluh negara antara lain Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, China, Thailand, Jepang dan Singapura, tanpa pernah menghitung dampak kerugian lingkungan hidup, terlebih keselamatan rakyat di dalamnya. Dengan luas Kepulauan Bangka Belitung 1,6 juta hektar, 3/4 dari luas wilayahnya masuk dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) skala besar maupun inkonvensional. Ruang hidup dan ruang kelola rakyat dikepung oleh industri timah, Ini belum termasuk dengan berbagai izin lainnya seperti HGU industri kehutanan. Hal ini disampaikan saat media briefing yang dilaksanakan di Bakoel Koffie, 25 September 2017 di Jakarta. Aktivitas tambang timah di darat dan laut telah menimbulkan berbagai dampak signifikan. Tambang timah di darat telah mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan. Tambang di laut telah mengakibatkan kehancuran ekosistem pesisir dan perairan laut, dan pada akhirnya berdampak pada terganggunya sekitar 45 ribu nelayan tradisional yang mengandalkan hidupnya dari pesisir dan laut. Hal ini menempatkan Provinsi Bangka Belitung berada di urutan tertinggi dengan kondisi lahan rusak dan sangat kritis yang mencapai 1.053.253,19 hektar atau 62 persen dari luas daratan Babel. Aktivitas pertambangan timah bukan hanya merusak lingkungan hidup juga membahayakan keselamatan rakyat.

Ekonomi masyarakat, khususnya nelayan terancam dengan semakin massifnya tambang timah beroperasi. Jika tambang timah selalu digadang-gadang sektor yang menghasilkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi nasional atau daerah, faktanya kerugian negara juga begitu besar akibat dari tata kelola yang buruk. Ini terkonfirmasi dengan temuan Korsup Minerba KPK yang menemukan ada 601 IUP yang belum CnC (Clear and Clean) atau sekitar 55% dari total 1085 IUP. Inilah yang nampaknya menjadi rantai korupsi di sektor tambang timah. Dari tahun 2004-2014, ICW mencatat kerugian negara dari timah sebesar 68 trilyun rupiah dari pajak, biaya reklamasi, royalti, pajak ekspor dan penerimaan non pajak. Selama tiga tahun (2015-2017) DBH (Dana Bagi Hasil) Pertambangan Mineral dan Batubara untuk provinsi Bangka Belitung sebesar Rp. 383,87 Milyar dengan rata-rata tiap tahun sebesar Rp. 127,95 Milyar, yang mana pendapatan Iuran tetap sebesar Rp. 117,85 Milyar (31%) atau rata-rata tiap tahun sebesar Rp. 39,23 Milyar. Sementara untuk pembayaran royalti sejumlah Rp. 266,02 Milyar (69%) atau rrata-rata tiap tahun senilai Rp. 88,67 Milyar. Ini belum termasuk dengan hitungan kerugian negara dan rakyat akibat bencana ekologis seperti banjir dan pencemaran, juga ancaman bagi generasi Babel yang akan datang, mengingat banyak anak-anak dan perempuan yang bekerja di tambang timah dengan risiko terpapar pencemaran setiap hari. Atas dasar fakta-fakta tersebut, organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian pada persoalan lingkungan hidup, tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan, serta tata kelola pemerintahan yang baik menilai bahwa kondisi krisis lingkungan hidup dan hilangnya sumber-sumber ekonomi masyarakat dan ekonomi bangsa berada pada situasi yang harus segera diselamatkan dengan upaya struktural dan sistematis yang harus dilakukan oleh negara, sebagai pemegang mandat Konstitusi. Karena itu, kami mendesak:  

  1. Presiden, Joko Widodo segera mengeluarkan kebijakan moratorium industri timah di Bangka Belitung yang bertujuan untuk melindungi keselamatan rakyat dan memastikan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup, berupa Peraturan Presiden (PerPres). Kebijakan moratorium ini sebagai langkah untuk menghentikan aktivitas tambang timah dan beralih ke sumber ekonomi lain yang berkeadilan dan berkelanjutan seperti sektor pertanian dan perikanan

 

  1. Kebijakan moratorium yang dikeluarkan harus berbasis capaian dengan indikator yang jelas dan dibarengi dengan langkah-langkah:
  • Melakukan audit lingkungan hidup
  • Melakukan review perizinan
  • Melakukan penegakan hukum

 

  1. Melakukan pemulihan lingkungan hidup, dan memastikan lubang-lubang bekas galian tambang direklamasi sebagai salah satu kewajiban bagi perusahaan

Melalui siaran pers ini, kami juga mengajak masyarakat luas untuk mendukung perjuangan penyelamatkan lingkungan hidup dan rakyat di Kepulauan Bangka Belitung dengan mendesak agar Presiden mengeluarkan kebijakan moratorium tersebut, serta mendorong industri timah maupun industri elektronik bertanggungjawab terhadap bisnis mereka yang merusak lingkungan, merampas ruang hidup dan kelola masyarakat seperti petani dan nelayan, serta melanggar hak asasi manusia.   WALHI Nasional – WALHI Kepulauan Bangka Belitung JATAM – PWYP ICEL – ICW – IBC – KIARA