Dari Krisis Politik ke Krisis Ekologis (Catatan Akhir Tahun Region Sumatera)

Catatan Akhir Tahun Region Sumatera

WALHI mendefinikan krisis ekologis sebagai ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam sehingga mengakibatkan hancurnya daya dukung dan daya tampung lingkungan serta rusaknya ekosistem dan kehidupan rakyat. Dua kata kunci yang menjadi penyebab krisis ekologis adalah ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Dengan kata lain, persoalan ekologis ataupun krisis ekologis merupakan persoalan struktural, yang hanya dapat diselesaikan secara struktural dengan perubahan sistem baik sistem ekonomi ataupun sistem politik.

Sistem ekonomi dan politik yang baik, hanya akan tumbuh dalam jaminan ruang publik yang aman. Di mana ruang publik merupakan wilayah kehidupan sosial masyarakat di mana opini publik dapat dibentuk. Publik merupakan politik itu sendiri. Kata politik secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani yang berarti publik, yaitu sebuah dimensi partisipatif komunitas/rakyat. Praktik politik ini menjadi dasar demokrasi pada sebuah negara. Jika ruang publik ditutup dan diancam maka sesungguhnya bukan hanya krisis demokrasi, tetapi jauh dari itu, krisis politik tengah terjadi. Krisis ini tentunya dapat kita lihat penandanya, yaitu: peningkatan konflik dan kekerasan, ketidakpuasan publik, ketidakmampuan pemerintah, krisis ekonomi, krisis ekologi, krisis legitimasi, ancaman terhadap kebebasan politik, dan tunduknya pengurus negara pada kuasa koporasi sebagai entitas eksternal.

Tentunya tidak lekang dari ingatan kita bagaimana kekuasaan dipakai oleh rezim Jokowi untuk merevisi dan membuat Undang-Undang (UU) guna memastikan kemudahan bagi ekspansi izin industri ekstraktif dengan melemahkan instrumen lingkungan hidup dan penegakan hukum. Beberapa Undang-Undang tersebut antara lain UU Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Ibu Kota Negara, UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Krisis iklim membuat kehidupan rakyat semakin porak-poranda. Hal ini diperparah dengan cara pemerintah menjawab situasi krisis iklim dengan mekanisme perdagangan karbon. Perdagangan karbon hanyalah cara untuk mengamankan rezim industri ekstraktif serta finansialisasi alam, yang faktanya selama ini menjadi penyebab utama krisis iklim dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Sudah seharusnya solusi berfokus pada pengurangan emisi untuk memastikan suhu global berada di bawah 1,5 derajat celcius, sehingga tidak ada cara lain untuk mengatasi krisis iklim selain pengurangan emisi bahan bakar fosil secara segera dan besar-besaran, bukan menggantinya dengan solusi teknokratis sekedar menanam pohon. Melindungi hutan dan memulihkan ekosistem alami sangatlah penting bagi keanekaragaman hayati dan iklim, namun kita harus melakukan hal tersebut dengan mengurangi emisi secara langsung, bukan sebagai penggantinya.

Perdagangan karbon adalah ancaman baru baru perampasan Wilayah Kelola Rakyat dan kriminaslisasi rakyat. Selain itu, perdagangan karbon juga  mensimplifikasi hutan hanya sebatas tegakan pohon, atau fungsi hutan hanya untuk karbon. Hal ini menunjukkan cara pandang pemerintah yang tetap mempertahankan komodifikasi hutan.

Lalu, apa saja fakta-fakta dari Region Sumatera atas catatan di atas? Unduh dan baca dokumen selengkapnya berikut ini; CATAHU REGION SUMATERA 2024