Dari Bali, WALHI Suarakan Maladaptasi dan Ancaman Krisis Iklim bagi Desa Pesisir

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Dari Bali, WALHI Suarakan Maladaptasi dan Ancaman Krisis Iklim bagi Desa Pesisir

Jakarta, 02 September 2022 -- Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanudin mengatakan ribuan desa di Indonesia Timur terancam tenggelam akibat krisis iklim. Paling rentan adalah di wilayah pesisir Maluku 1.064 desa, menyusul Nusa Tenggara Timur (NTT) 1.018 desa, dan Sulawesi Tengah 1.011 desa.

Hal ini disampaikan dalam pertemuan Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia pada Selasa-Rabu (30 Agustus-1 September 2022). Kegiatan yang digelar di hotel Amaris, Denpasar ini mengangkat tema Narasi Penyelamatan Pesisir, Laut dan Pulau Kecil Kawasan Timur Indonesia.

Desa-desa di wilayah lain seperti NTB 297 desa, Sulawesi Utara 783 desa, Sulawesi Tengah 297 desa, Sulawesi Selatan 527 desa, Sulawesi Tenggara 954 desa, Gorontalo 201 desa, Sulawesi Barat 152 desa, Maluku Utara 934 desa, Papua Barat 570 desa dan Papua 662 desa juga tidak luput dari ancaman krisis iklim.

“Dahulu, isu keamanan manusia (human security) didorong oleh isu perang. tetapi saat ini isu human security didorong oleh krisis iklim, di  mana manusia terancam oleh kenaikan air laut. Di Indonesia Timur, krisis iklim telah mengancam tenggelamnya ribuan desa pesisir,” kata Parid.

Namun, di saat yang sama pemerintah tidak melakukan melakukan atau adaptasi yang benar. Hal ini dinamakan maladaptasi. “Maladaptasi adalah tindakan yang dapat menyebabkan peningkatan risiko (dampak buruk) terkait (dengan krisis) iklim yang merugikan, menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap krisis iklim, atau menyebabkan penurunan kesejahteraan (well-being) masyarakat, baik sekarang atau pada masa yang akan datang,” jelas Parid.

Salah satu bentuk maladaptasi adalah ekspansi industri ekstraktif yang menghancurkan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan Timur Indonesia. Khususnya tambang nikel yang didorong oleh pemerintah untuk mengembangkan kendaraan listrik berbasis baterai.

“Masyarakat pesisir yang hidupnya tergantung pada sumber daya pesisir dan laut kehilangan ruang hidupnya akibat ekspansi tambang nikel,” tegas Parid.

Akibat praktik maladaptasi krisis iklim, masyarakat pesisir di tingkat akar rumput akan semakin menderita. Bahkan di banyak tempat sudah banyak masyarakat pesisir dipaksa menjadi pengungsi iklim.

Berdasarkan catatan WALHI Maluku Utara, pertambangan nikel telah mengakibatkan hilangnya hutan alam di pulau kecil seluas 16.000 hektar dalam 15 tahun terakhir. Selain itu. Industri pertambangan nikel telah menyebabkan pencemaran laut dan menyebabkan penurunan jumlah nelayan. “Sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018 saja, telah terjadi penurunan jumlah nelayan dari angka 8.587 orang pada 2004, menjadi 3.532 orang pada 2018. Artinya, pencemaran laut akibat nikel telah menyebabkan orang yang berprofesi nelayan sebanyak lima ribu orang kehilangan pekerjaan,” ungkap Faizal Ratuela, Direktur WALHI Maluku Utara.

Anehnya, pertambangan nikel untuk pembangunan mobil listrik berbasis baterai yang menghancurkan pulau-pulau kecil di kawasan timur Indonesia malah dipromosikan oleh Pemerintah Indonesia kepada dunia internasional sebagai bagian penting dari transisi energi. “Di antara ruang promosi yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah pertemuan G20 yang puncaknya akan dilakukan pada tanggal 15–16 November 2022.

Menurut WALHI, diperlukan langkah konkret dari pemerintah. Bisa dimulai dengan mengesahkan dan merevisi sejumlah Undang-undang. Di antaranya adalah mengesahkan RUU perubahan iklim, merevisi UU Kebencanaan serta disahkannya RUU masyarakat adat. Untuk RUU perubahan iklim diharapkan bisa mengatur soal mitigasi dan adaptasi, terutama pulau-pulau kecil. Lalu RUU Masyarakat Adat mengatur dan mendorong percepatan pengakuan wilayah adat dan aktor-aktor di dalamnya.

Kemudian mengenai revisi UU kebencanaan dipandang perlu untuk direvisi karena belum memasukkan bencana Industri. Saat ini hanya dikenal bencana alam non alam. Padahal bencana alam kerap disebabkan oleh praktik tidak sehat korporasi yang mengeksploitasi dan berdampak pada terjadinya bencana.

“Kita mendorong bencana itu tidak hanya alam dan non alam, tapi memasukkan bencana industri. Sehingga warga punya hak untuk menggugat korporasi dan pemerintah yang memberikan izin,” ucap Faizal.

Informasi selanjutnya
Parid Ridwanudin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, email: [email protected]

Faizal Ratuela, Direktur WALHI Maluku Utara, di email: [email protected]