Catatan Akhir Tahun WALHI Aceh Tahun 2018

Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun WALHI Aceh Tahun 2018 Banda Aceh, 27 Desember 2018   Kehutanan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 859/ MENLHK/ SETJEN/ PLA.2 /11/2016, tentang Kawasan Hutan Aceh dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh disebutkan luas Kawasan Hutan dan Konservasi 3.563.813 ha, terdiri dari  Wilayah Konservasi Daratan 1.057.628 ha, Hutan Lindung (HL) 1.794.350 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 145.384 ha, Hutan Produksi (HP) 551.073 ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) 15.378 ha.   Investasi di Aceh berdasarkan AMDAL di tahun 2018 mencapai 943 ha dalam kawasan hutan maupun diluar kawasan. Selain itu pertambangan illegal perkiraan mencapai 6.000  ha yang tersebar di 6 kab/kota, yaitu Pidie, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan raya, Aceh Tengah dan Aceh Besar, selain itu WALHI Aceh juga menemukan 32 titik illegal logging tersebar di 17 kabupaten/kota dengan jumlah ± 70.186 ton kayu dengan perkiraan luas kawasan hutan yang rusak mencapai 175 ha.   Sektor  Perhutanan sosial dan TORA merupakan bagian dari solusi konflik kehutanan dan krisis ruang kelola bagi rakyat belum menjadi program prioritas pemerintah Aceh hingga akhir tahun 2018. provinsi Aceh hanya mampu memfasiltasi sekitar ± 42 ribu ha (9,4%) dari target ± 400 ribu ha yang dibantu masyarakat sipil.   Bencana Hingga Desember 2018 WALHI Aceh mencatat terjadi sebanyak 127 kali bencana ekologi di Aceh, dengan total kerugian mencapai ± 969 milyar rupiah. Dampak bencana ekologi terhadap hutan dan lahan mencapai 24.910 ha mengalami kerusakan. Sedangkan jumlah manusia terdampak mencapai 50.270 jiwa, termasuk 1.728 jiwa yang mengalami krisis air  akibat bencana kekeringan.   Perkebunan Luas perkebunan di Aceh masih didominasi perkebunan rakyat ± 810.093 ha (68%) dan perkebunan besar ±385.435 ha (32%). Sebanyak 127 perusahaan perkebunan di Aceh yang mengantongi izin HGU untuk komoditi kelapa sawit, karet, kakao, kopi, dan komoditas lainnya. Namun, komoditi kelapa sawit mendominasi perkebunan besar di Aceh. Pemerintah Aceh bersama pemerintah kabupaten/kota sudah seharusnya mengambil langkah konkrit untuk melakukan evaluasi izin perkebunan kelapa sawit di Aceh. Perkebunan kelapa sawit yang tidak produktif dan bermasalah dengan izin sudah sepatutnya diberikan sanksi tegas. Namun, sampai akhir tahun 2018, pemerintah daerah belum mengambil peluang TORA (tanah objek reformasi agraria).   Pertambangan Berdasarkan data Pemerintah Aceh, Izin Usaha Pertambangan (IUP) berjumlah 37 IUP/KK dengan luas areal mencapai 156.003 ha yang berada di 10 kabupaten/kota.   Sedangkan untuk PT. Emas Mineral Murni (PT. EMM) yang telah diterbitkan IUP Operasi Produksi oleh BKPM RI mendapatkan penolakan dari masyarakat. PT. EMM mendapatkan izin operasi produksi di atas areal 10.000 ha berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah, saat ini masyarakat bersama WALHI Aceh sedang melakukan gugatan hukum di Pengadilan TUN Jakarta Timur untuk pencabutan izin.   Pertambangan emas ilegal masih marak terjadi di Aceh hingga akhir tahun 2018, upaya hukum yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum belum efektif, WALHI Aceh masih menemukan aktifitas pertambangan emas ilegal di Pidie, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan. Total kerusakan hutan dan lahan dampak dari pertambangan emas ilegal mencapai ±7500 ha.   Konflik Satwa Konflik satwa manusia berjumlah sebanyak 30 kali. Dampak dari konflik terjadi kerugian kedua belah pihak, sampai oktober 2018 sebanyak 7 ekor gajah mati, 10 rumah penduduk rusak, 100 ha sawah rusak, 257 ha kebun rusak, dan terjadi korban jiwa 2 orang. Krisis ruang habitat gajah menjadi faktor utama terjadinya konflik.   Kasus Lingkungan Hidup Sepanjang tahun 2018, WALHI Aceh telah melakukan investigasi ke wilayah kerja PT. Mifa Bersaudara di Aceh Barat. pertambangan emas ilegal pidie, PT. Cemerlang Abadi di Kabupaten Aceh Barat Daya, PT. Asdal Prima Lestari di Aceh Selatan, PT. Syaukath Sejahtera di Aceh Utara, pencemaran limbah PKS PT. Raja Marga di Nagan Raya, perambahan hutan lindung mangrove di Aceh Tamiang, perambahan hutan lindung Keumuning di Kota Langsa, perambahan dan ilegal logging dalam TNGL di Aceh Tenggara, dan mendorong perbaikan tata kelola SDA berbasis lahan dan kawasan hutan. Dari 10 kasus yang menjadi agenda advokasi WALHI Aceh di tahun 2018, satu kasus diantaranya dilakukan gugatan hukum yaitu PT EMM, sembilan kasus lainnya dilakukan pelaporan kasus ke lembaga penegak hukum dan pemerintah daerah untuk upaya perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Aceh.     Kesimpulan Berdasarkan kondisi di atas, WALHI Aceh menyimpulkan:
  1. Laju investasi SDA berbasis kawasan hutan, illegal logging, perambahan hutan, pertambangan illegal, dan pembangunan infrastruktur menjadi faktor penyebab kerusakan dan hilang fungsi kawasan hutan di Aceh.
  2. Riwayat bencana di Aceh belum menjadi basis pikir pemerintah Aceh dalam perencanaan pembangunan yang patuh kebijakan Tata ruang.
  3. Hadirnya perusahaan perkebunan dengan lisensi HGU belum mampu menjawab persoalan kemiskinan di Aceh. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sudah seharusnya mengambil langkah konkrit untuk melakukan evaluasi izin perkebunan kelapa sawit di Aceh. Perkebunan kelapa sawit yang tidak produktif dan bermasalah dengan izin sudah sepatutnya diberikan sanksi tegas hingga ke pencabutan izin.
  4. Belum menjadikan Skema TORA dan Perhutanan Sosial sebagai agenda kerja pemerintah Aceh hingga saat ini dalam merebut ruang kelola untuk rakyat Aceh.
  5. Krisis ruang bagi habitat gajah menjadi faktor utama konflik satwa manusia.
  6. Penolakan tambang PT. EMM oleh masyarakat Beutong Ateuh Banggalang dan semua elemen yang ada di Aceh harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Aceh dan pemerintah pusat dalam pengelolaan SDA di Aceh. Plt. Gubernur Aceh diminta untuk segera mungkin menindaklanjuti hasil paripurna DPR Aceh yang meminta kepada Pemerintah Aceh untuk membentuk tim khusus yang melibatkan DPRA untuk melakukan upaya hukum terhadap izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh BKPM RI Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017. Karena sampai hari ini, Plt. Gubernur atas nama Pemerintah Aceh belum melakukan upaya dan langkah pasti untuk menindaklanjuti mandat paripurnan tersebut.
    Banda Aceh, 27 Desember 2018 Eksekutif Daerah WALHI Aceh     Muhammad Nur Direktur Eksekutif WALHI Aceh [embeddoc url="https://beta.walhi.or.id/wp-content/uploads/2018/12/Catatan-Akhir-Tahun-2018.pptx" download="all" viewer="microsoft"]