"Budi Pego Adalah Pejuang HAM dan Lingkungan Hidup, Dia Tidak Layak Dihukum"

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim Selasa 23 Januari 2018 merupakan persidangan akhir dari Heri Budiawan atau lebih dikenal dengan Budi Pego. Agenda sidang selasa ini adalah pembacaan keputusan hakim, setelah sebelumnya Kamis 4 Januari 2018 Jaksa Penuntut Umum Budi Cahyono dan S. Ahmad menuntut terdakwa dengan ancaman hukuman pidana penjara selama 7 tahun kepada. Tuntutan hukuman tersebut merupakan salah satu yang tertinggi, dari beberapa kasus kriminalisasi yang dialami oleh pejuang HAM dan Lingkungan Hidup. Jaksa penuntut umum menggunakan pasal 107 huruf a UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Hal ini terjadi karena Budi Pego dituduh tanpa bukti, mengorganisisr demonstrasi warga untuk menolak tambang emas yang beroperasi di Hutan Lindung Tumpang Pitu. Demo yang berlangsung pada bulan April 2017 silam. Dijadikan alasan penjeratan Budi Pego dengan pasal 107 huruf a UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP, yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Dia dituduh sebagai tokoh intelektual dibalik munculnya hantu spanduk dengan gambar yang menyerupai, dengan logo sebuah partai terlarang dalam aksi tersebut. Tuntutan hukuman pidana penjara 7 tahun terlalu berlebihan, bahkan jika ditimbang secara fakta hukum maka sebetulnya sudah gugur dakwaan kepada Budi.

Mengingat barang bukti yang tidak lengkap, dan hanya berdasar petunjuk video dan foto saja. Menurut keterangan beberapa saksi juga tidak menunjukan ada indikasi upaya penyebaran, pengajaran dan pengembangan Marxisme-Leninisme/komunisme. Yang aturan tersebut lahir pasca jatuhnya Soekarno, berkembang subur merepresi demokrasi saat orde baru berkuasa, hingga sekarang. Berdasarkan fakta yang terjadi, apa yang dialami oleh Budi Pego tergolong bentuk dari Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). SLAPP adalah upaya perlawanan secara hukum yang ditujukan terhadap warga yang melakukan kritik atau berbicara tentang kepentingan umum. Kita di sini dapat melihat jika apa yang diperbuat oleh Budi Pego, merupakan sebuah aksi untukmenyelamatkan lingkungannya, dan hal tersebut secara tidak langaung termasuk bagian dari perjuangan hak asasi manusia. Tentu hal ini dilindungi oleh konstitusi dan undang-undang. Dasar hukum yang melatarbelakangi argumentasi tersebut adalah, Pasal 28c ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, Pasal 100 Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Fakta terkait perlindungan terhadap pembela HAM dan lingkungan hidup, sejak lama telah tertulis dalam Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh majelis umum PBB pada 9 desember 1998.

Sehingga implementasi hak asasi dalam Pasal 66 UU PPLH, merupakan sebuah upaya membentuk suatu regulasi kontra SLAPP yang tidak hanya menyisir dalam konteks perdata saja, namun juga melindungi pembela HAM dan Lingkungan Hidup dari represivitas hukum pidana. Sehingga tuntutan 7 tahun penjara, sangat berlebihan dan memiliki tendensi "pembungkaman." Karena penggunaan Pasal 107 a UU 27 tahun 1999 sebagai dakwaan tunggal terhadap Budi Pego merupakan suatu pemaksaan. Sebab rumusan dalam pasal-pasal yang notabene lahir di era orde baru tersebut, sangat bertentangan dengan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Dalam praktiknya penerapan pasal 107a itu sering mengancam para pengkritik dan pembela HAM dan Lingkungan Hidup saja. Perlu diluruskan aksi tolak tambang yang dilakukan oleh Budi Pego didasari atas rasa cinta tanah airnya. Bersama warga desa yang lainnya dia melawan ketidakadilan, di mana pemerintah secara gegabah mengabaikan fakta ilmiah serta sosial ekonomi dalam pemberian izin tambang.

Tumpang Pitu adalah kawasan ekologis yang menjadi benteng alam, baik dari bencana maupun keseimbangan lingkungan hidup. Menjadi penyangga taman nasional, ekonomi mikro dan memiliki nilai-nilai historis baik budaya dan kearifan lokal. Budi bersama warga lainnya yang gencar melakukan aksi tolak tambang, merupakan bentuk protes atas ketidakadilan yang mereka alami. Tumpang Pitu merupakan bagian dari kehidupan warga desa Sumberagung, Pesanggaran, Sumbermulyo, Kandangan dan Sarongan. Mereka hidup dalam balutan kearifan lokal, namun atas nama investasi dan nafsu ekonomi makro. Negara mengabaikan kesejahteraan dalam perspektif "well being," yang meliputi ekonomi mikro, kedamaian dan hidup bahagia. Aspek sosial, ekonomi dan ekologis serta psikologis diabaikan begitu saja. Sehingga bertentangan dengan amanah UUD 1945 baik dalam pasal 28 dan pasal 33. Dalam pendekatan pancasila-pun, apa yang dilakukan Budi Pego dan warga lainnya. Adalah upaya menegakkan serta mengamalkan pancasila. Tambang telah nyata melanggar sila ke dua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, lalu memunculkan perpecahan sehingga kontradiktif dengan sila ke tiga persatuan Indonesia. Berbicara pada konteks kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, tidak terpenuhi karena meninggalkan "gotong royong," atau musyawarah. Karena tambang diputuskan sepihak, tanpa adanya dialog dan verifikasi ilmiah. Selanjutnya ketika tambang emas merusak gunung, lalu akhirnya imbasnya ke masyarakat. Khususnya kesehatan, pendidikan, dan ekonomi menjadi terganggu. Sampai pada akhirnya terjadi perubahan kehidupan masyarakat yang semula bahagia dan damai dengan bertani, melaut dan memaksimalkan potensi wisata. Berubah drastis mengalami dekandensi dan degradasi ekonomi yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat. Jelas sekali bertolak belakang dengan sila ke lima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan sila ke satu ketuhanan yang maha esa. Jadi Budi Pego dan warga lainnya tidak layak dihukum atau dimarjinalkan, dialienasikan dari tanah airnya. Tuntutan 7 tahun terhadap Budi Pego merupakan bentuk ekspresi yang berlebihan. Maka dalam sidang putusan kali ini, Budi Pego tidak layak dihukum. Dia seharusnya dibebaskan melihat dari fakta dan realitas yang tampak. Jika hal sebaliknya terjadi, tentu ini menjadi preseden buruk penegakkan hak asasi manusia dan demokrasi akar rumput. Karena nantinya akan ada Budi Pego-Budi Pego lain yang dijerat ancaman serupa, lalu dialienasikan dari tanah airnya karena melawan korporasi. Kontak media: Rere Christanto (Direktur WALHI Jatim): 083857642883