Berkeadilan dan Berkelanjutan; Sebuah Catatan Wilayah Kelola Rakyat

Pada masa orde baru, pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan secara sepihak dikuasai oleh negara. Hutan hak masyarakat adat dihilangkan dan bahkan dianggap tidak ada, semuanya dimiliki oleh negara, dan diberikan hak pengelolaan secara besar-besaran kepada korporasi dengan berbagai jenis komoditas melalui regulasi dan perizinan. Hasilnya, deforestasi menjadi deret angka yang tidak terkendali, kerusakan lingkungan hidup semakin massif, bencana ekologis terus terjadi, kemiskinan dan konflik menjadi wajah buram dari model penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam kita.

Pada tahun 1990-an, di masa orde baru kala itu, WALHI mengusung sebuah konsep tanding atas model pengelolaan hutan yang sentralistik dan mengabaikan hak-hak Masyarakat Adat dan masyarakat lokal, yaitu Sistem Hutan Kerakyatan atau yang dikenal dengan SHK. Sebuah sistem dengan nilai-nilai kearifan lokal rakyat dalam pengelolaan hutan yang diyakini lebih lestari dan berkeadilan. Sebagai sebuah konsep tanding, tentu bukanlah hal yang mudah untuk mendapatkan pengakuan oleh negara, terlebih melalui kebijakan/regulasi negara. Pun demikian, masyarakat adat, masyarakat lokal bersama-sama dengan organisasi lingkungan hidup seperti WALHI terus bekerja, di tengah ancaman industri ekstraktive yang terus memperkecil ruang hidup masyarakat. Setelah kayu, masuklah sawit, bubur kertas, serta tambang.

Rezim pemerintahan berganti, hingga pada masa pemerintahan saat ini yang dalam janji Nawacita akan membangun Indonesia dari pinggiran, yang  dalam komitmennya akan memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Nawacita juga memuat janji akan menyelesaikan konflik agraria, dan tentunya mengatasi kemiskinan struktural akibat dari ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Janjipun konon ingin ditunaikan melalui kebijakan menengah pembangunan nasionalnya, yakni melalui kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Konsep tanding yang bernama SHK kala itu, kini menemukan momentum politiknya.

Bagi WALHI sendiri, SHK menjadi cikal bakal yang kuat untuk meyakinkan negara bahwa rakyat memiliki pengetahuan dan kapasitas dalam pengelolaan kekayaan alamnya. Wilayah Kelola Rakyat bukan hanya menjawab problem kemiskinan struktural, mengatasi ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria. Pengakuan wilayah kelola rakyat juga sesungguhnya menjadi benteng pertahananan untuk memproteksi wilayah hidup masyarakat dari ancaman industri ekstraktive seperti sawit, hutan tanaman industri, tambang maupun pembangunan infrastruktur skala besar yang justru mengancam keselamatan dan kesejahteraan hidup rakyat. Karena itulah, WALHI baik di tingkat nasional maupun daerah dalam advokasi lingkungan hidupnya menegaskan agar wilayah kelola rakyat segera mendapat pengakuan dari negara, melalui kebijakannya.

Percepatan pengakuan WKR ini dilakukan di tingkat tapak oleh WALHI-WALHI Daerah bersama lembaga anggota dan mengawal kebijakannya di tingkat nasional dan provinsi. Konsolidasi data dilakukan, pemetaan partisipatif diperkuat dengan pelibatan sepenuh-penuhnya masyarakat, khususnya dalam menentukan basis legitimasi pengakuan hak atas tanah dan hak kelola, dan tentunya sembari terus berupaya menyelesaikan konflik dan penegakan hukum bagi kejahatan korporasi. Memperkuat kapasitas masyarakat dan organisasi rakyat, aktivis WALHI baik di nasional maupun daerah dengan berbagai pendidikan dan kegiatan. Dan yang tidak kalah pentingnya, memperkuat konsolidasi CSO, antara lain dengan JKPP, KpSHK dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Mengapa penegakan hukum, termasuk review perizinan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kerja-kerja mendorong percepatan pengakuan WKR? Karena jika mau jujur, hampir tidak ada lagi tanah atau wilayah yang tersisa saat ini, karena sebagian besar sudah dikuasai oleh korporasi. Jika pemerintah tidak melakukan audit, tidak melakukan review perizinan di kawasan hutan, ekosistem rawa gambut, pesisir dan laut yang melanggar hukum dan perundang-undangan, melakukan pengrusakan lingkungan atau wilayah konsesi yang tidak dikelola oleh korporasi, maka negara harus segera mengambil alih dan selanjutnya diproses untuk didistribusikan kepada rakyat melalui kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.

Untuk mengakselarasikan kerja-kerja percepatan pengakuan WKR ini, WALHI melakukan berbagai upaya antara lain:

  1. Membangun dan memperkuat data wilayah kelola rakyat, baik dengan elemen WALHI, maupun dengan lembaga jaringan
  2. Penguatan organisasi rakyat di tingkat basis melalui berbagai pendidikan dan pelatihan, termasuk di dalamnya kemampuan melakukan pemetaan partisipatif
  3. Mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melampaui durasi pemerintahan itu sendiri yakni perlima tahun, karena agenda ini tidak berhenti hanya sebatas mendapatkan pengakuan hak. Namun juga bagaimana negara hadir secara menyeluruh sampai pada tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi
  4. Berbagi pengatahuan dan pengalaman antar komunitas dalam penguatan wilayah kelola rakyat
  5. Kampanye kreatif dan pendidikan publik untuk memperluas dukungan dari publik, menghubungkan hulu – hilir, desa – kota, produsen – konsumen, agar wilayah kelola rakyat mendapat tempat, bukan hanya di pemerintah, tetapi juga masyarakat luas, melalui kunjungan ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
  6. Memperkuat konsolidasi dengan jaringan organisasi masyarakat sipil, akademisi maupun komunitas seperti pekerja seni yang memiliki kepedulian terhadap tumbuh dan berkembangnya inisiatif-inisiatif komunitas dalam wilayah kelolanya.

Salam,

--
Khalisah Khalid
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan
Eksekutif Nasional WALHI