Penulis:
Anisa Trinata, Dimas Ramadhan Perdana, Ginda Harahap, Hasna Arifa Fadillah, Jason Renardi Marrino, Jonathan Putra Pamungkas, Melva Harahap, dan Sofyan
Bencana bukan kutukan. Ia bukan kehendak langit, bukan murka alam yang datang tiba-tiba tanpa sebab. Bencana adalah konsekuensi. Ia lahir dari keputusan-keputusan yang dibuat manusia—atau lebih tepatnya, oleh segelintir manusia—di ruang-ruang kekuasaan yang jauh dari pandangan rakyat, tapi dekat dengan kepentingan modal. Di negeri ini, bencana bukan sekedar gempa, banjir, atau longsor. Ia menjelma dalam rupa tambang yang menggerogoti perut bumi, food estate yang menggusur petani atas nama swasembada, reklamasi yang menenggelamkan kampung pesisir, dan kebijakan yang mengeringkan hidup demi mengalirkan laba.
Ada logika yang telah lama membusuk namun tetap kita warisi seolah waras: bahwa penebangan hutan adalah pembangunan, bahwa pencemaran sungai adalah efek samping pertumbuhan, bahwa penggusuran adalah syarat kemajuan. Bahwa ruang hidup manusia bisa dinegosiasikan di meja rapat selama disertai naskah akademik dan stempel kementerian. Bahwa penderitaan rakyat bisa dianggap sah selama ada angka PDB yang naik. Di bawah logika semacam ini, yang dirayakan bukan kehidupan, melainkan kapital; dan yang dijadikan korban bukan sekadar pohon atau tanah, tetapi seluruh cara hidup yang tak cocok dengan kalkulasi pasar.
Buku ini ditulis untuk merobek narasi itu. Untuk menyatakan bahwa bencana bukan takdir, melainkan akibat. Bahwa yang kita hadapi bukan semata alam yang marah, melainkan sistem yang timpang, brutal, dan dilanggengkan atas nama pembangunan. Buku ini tidak sekadar merekam peristiwa, tapi menelusuri pola. Ia menggambarkan bencana bukan sebagai titik-titik terpisah, tetapi sebagai jaringan sistemik yang diikat oleh bahasa-bahasa kekuasaan yang menipu. Selama lebih dari empat dekade, WALHI berdiri bersama rakyat yang terdampak: di kampung yang dipasung tambang, di pesisir yang dijarah reklamasi, di hutan yang dijadikan komoditas. Dari sana kami belajar bahwa bencana ekologis bukan anomali—ia adalah norma dalam sistem yang menempatkan laba di atas hidup. Maka buku ini bukan sekadar laporan. Ia adalah sikap. Ia adalah perlawanan yang ditulis.
Penyusunan buku ini ditulis bersama oleh Anisa Trinata, Dimas Ramadhan Perdana, Ginda Harahap, Hasna Arifa Fadillah, Jason Renardi Marrino, Jonathan Putra Pamungkas, Melva Harahap, Sofyan dengan memastikan seluruh proses dari hulu ke hilir—dari rancangan struktur, kurasi referensi, penulisan narasi, hingga penyuntingan substansi, juga menambahkan isi, serta membuka ruang-ruang baru dalam pembahasan; dari isu karst, pesisir, penggusuran urban, hingga ketimpangan wacana dalam narasi pembangunan. Kerja kolektif ini adalah cermin dari kerja-kerja advokasi WALHI yang selama ini bersandar bukan pada satu suara tunggal, tetapi pada polifoni pengalaman dan perspektif.
Penyuntingan akhir buku ini dilakukan oleh Parid Ridwanuddin, yang dengan cermat memastikan setiap kalimat tersusun dengan baik serta tetap menyampaikan makna secara utuh. Meski demikian, substansi dan kekuatan utama buku ini tidak semata berasal dari proses redaksional, melainkan berakar pada pengalaman empiris yang dihimpun langsung dari lapangan. Kontribusi berupa laporan, catatan, dan analisis kritis telah diberikan oleh kawan-kawan Eksekutif Daerah WALHI: WALHI DKI Jakarta (Suci F. Tanjung), WALHI Jambi (Oscar Anugrah), WALHI Jawa Tengah (Fahmi Bastian), WALHI Kalimantan Selatan (Raden Rafiq), WALHI Maluku Utara (Faizal Ratuela), WALHI Yogyakarta (Gandar), Abdullah Direktur Eksekutif Daerah Jambi periode 2021-2025 dan Kisworo Dwi Cahyono Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan periode 2016-2024.
Mereka adalah garda terdepan advokasi ekologis di wilayah masing-masing. Tanpa laporan lapangan, observasi jangka panjang, serta kesaksian langsung dari komunitas terdampak, buku ini tak akan memiliki kedalaman yang layak. Ia akan jadi angka, bukan narasi; statistik, bukan sikap. Tapi karena pengalaman-pengalaman itu hidup dan dibawa ke dalam tulisan ini, buku ini menjadi dokumen politik dan ekologis yang otentik: bukan netral, karena kami memang tidak berniat netral di hadapan ketidakadilan.
Maka buku ini kami persembahkan untuk semua yang menolak melupakan. Untuk mereka yang berdiri di barisan paling depan melawan tambang, pabrik, proyek jalan, dan segala bentuk perampasan atas nama pembangunan. Untuk para petani, nelayan, masyarakat adat, warga kota, dan generasi muda yang tak mau lagi dibohongi oleh narasi “kemajuan” yang menghancurkan tanah pijakan mereka sendiri. Kami percaya bahwa perubahan tidak dimulai dari gedung tinggi, tetapi dari kesadaran yang tumbuh di akar. Dari kata yang ditulis dengan jujur. Dari keberanian untuk menyebut bencana sebagai akibat, bukan nasib. Dan dari keyakinan bahwa keadilan ekologis bukan warisan, tapi hasil perjuangan.
Selengkapnya, silahkan unduh dokumen berikut:
Buku Bencana Ekologis; Mereduksi Risiko, Memulihkan Indonesia