Balai Taman Nasional Komodo Tertutup dan Tidak Melibatkan Masyarakat dalam RRM UNESCO dan IUCN

Siaran Pers WALHI

Balai Taman Nasional Komodo Tertutup dan Tidak Melibatkan Masyarakat dalam RRM UNESCO dan IUCN

Kupang, 21 Maret 2022–Pemerintah Indonesia melalui Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) mengundang The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) dan International Union for Conservation and Nature (IUCN) Reactive Monitoring Mission (RMM) untuk mengunjungi Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Lorentz sebagai situs warisan dunia (WHC) yang ada di Indonesia.

Agenda pertama tim UNESCO dan IUCN di Indonesia yaitu mengunjungi Taman Nasional Komodo pada 3-6 Maret 2022. Kunjungan ini bertujuan untuk menilai status pembangunan infrastruktur yang ada dan yang direncanakan akan dibangun di dalam dan di sekitar kawasan warisan dunia TN Komodo, termasuk infrastruktur pariwisata di Pulau Rinca dan Padar, serta dampak aktual dan potensial dari infrastruktur ini terhadap Outstanding Universal Value (OUV) kawasan TN Komodo. RRM terhadap Taman Nasional Komodo ini merupakan yang ketiga setelah Reactive Monitoring Mission dilakukan yang pertama pada tahun 2000 dan kedua pada tahun 2022. Sebagai State Party (Negara Pihak), Pemerintah Indonesia juga diminta untuk melakukan Periodic Reporting sebagai salah satu mekanisme pemantauan konservasi inti dari Konvensi Warisan Dunia setiap enam tahun. Namun, sejak 2003, Pemerintah Indonesia belum melakukan pelaporan berkala ini kepada UNESCO.

Dalam rilis Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) tanggal 6 Maret 2022 yang ditandatangani oleh Lukita Awang Nistyantara, S.Hut., M.Si., yang tersebar di beberapa grup WhatsApp. Ada beberapa catatan yang menurut WALHI, merupakan bagian dari upaya BTNK untuk menutupi kondisi ril di kawasan TN Komodo.

Pertama, Pihak BTNK menyatakan bahwa ada tuduhan pihak ketiga dalam laporan pihak ketiga ke UNESCO yang tidak dapat dibenarkan terkait dengan keberadaan “resort” dalam kawasan TN Komodo. BTNK mengklaim sebelumnya pihak UNESCO tidak memahami terminologi “resort”. Bagi BTNK “resort” yang dimaksudkan hanya menggambarkan pos jaga para ranger. BTNK mengklaim Resort Loh Buaya merupakan pos jaga ranger yang didesain kuat agar bisa difungsikan secara berkelanjutan tidak hanya untuk aktivitas ekowisata namun juga untuk mendukung implementasi resort-based management dalam rangka pengumpulan data ilmiah melalui berbagai kegiatan monitoring yang dilakukan oleh para ranger Balai Taman Nasional Komodo. Bagi WALHI ini menutupi kenyataan sebenarnya bahwa ada potensi pembangunan resort atau vila atau infrastruktur lainnya dengan adanya izin konsesi pariwisata untuk perusahan swasta dan BUMD milik Provinsi NTT.

Kedua, Kepala BTNK tidak terbuka terkait perubahan zonasi dalam kawasan TN Komodo. Terkait reduksi luasan zona rimba menjadi zona pemanfaatan mencapai 2/3 dari total luasan sebelumnya, Lukita Awang menyampaikan bahwa tuduhan tersebut tidaklah benar karena tidak terdapat perubahan pada zona pemanfaatan berdasarkan peta zonasi tahun 2012 dan tahun 2020. Adapun perubahan luas zona rimba pada tahun 2020 adalah menjadi zona khusus yang digunakan untuk pemasangan alat deteksi gempa bumi dan tsunami oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan penyediaan jaringan telekomunikasi oleh PT. Telkomsel. Dalam catatan WALHI, perubahan zonasi lebih untuk kepentingan mengakomodir kepentingan pariwisata skala besar dan masif di TNK. Pada 2012 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012 mengkonversi 303,9 hektar lahan di Pulau Padar menjadi zona pemanfaatan wisata darat. Berdasarkan desain tapak, zona pemanfaatan ini dibagi menjadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektar untuk ruang wisata publik. 274,13 hektar dari total 275 hektar ruang usaha diserahkan kepada perusahaan itu untuk dibangun resort-resort ekslusif.

Terkait ketidakterbukaan dan minusnya keterlibatan masyarakat dari pihak BTNK di atas, Bidong, masyarakat Pulau Komodo merasa tidak diundang atau diajak dalam RMM tersebut. “Kami juga tidak mengetahui apa agenda mereka, karena tidak bertanya apa-apa kepada kami. Tidak ada pertemuan bersama warga yang khawatir sumber penghidupan dan kelestarian Komodo akibat kebijakan pemerintah,” ujar Bidong.

Lebih lanjut Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur Eksekutif WALHI NTT menegaskan bahwa pemerintah tertutup untuk melibatkan partisipasi publik. “Ada apa dengan BTNK, UNESCO dan WHC? Ini kan persoalan publik luas. Mengapa kedatangan UNESCO dan WHC tidak dipublikasikan? Mengapa tiba-tiba BTNK mengeluarkan rilis hasil RMM dengan UNESCO? BTNK seolah-olah main petak umpet dengan publik yang hari ini resah dengan kelestarian Komodo dan kesejahteraan rakyat di Kawasan TNK,” ungkap Umbu Wulang.

Umbu Wulang juga menyoroti siaran pers dari pihak BTNK yang dianggap mengabaikan kekhawatiran publik selama ini. Hal ini terlihat bahwa BTNK alergi terhadap kritikan atau pengawasan publik atas kinerja mereka, “Bagaimana mungkin, BTNK mengklaim bahwa kekhawatiran publik itu tidak terbukti, lalu bagaimana dengan protes masyarakat di Pulau Komodo? Bagaimana dengan izin investasi yang diberikan kepada 3 perusahaan swasta untuk membangun infrastruktur pariwisata? Pemerintah jelas hanya berkepentingan untuk mengeksploitasi TNK untuk kepentingan pariwisata skala besar dan berbasis investor saja,” tambah Umbu Wulang.

Saat ini terdapat tiga perusahaan swasta yang telah diberikan ‘karpet merah’ melalui izin konsesi dengan skema Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA). IPPA adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan pariwisata alam di areal suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Dalam skema IPPA ini, dibagi menjadi dua izin yaitu, Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) dan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA). Izin tersebut terbit setelah pemerintah mengeluarkan berbagai produk kebijakan yang memperlancar masuknya investasi dalam kawasan, salah satunya perubahan zonasi yang sudah disebutkan diatas. Ketiga perusahaan tersebut adalah:

  • Segara Komodo Lestari (SKL), sebagai perusahaan pertama yang menerima IUPSWA seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 5.557/Menhut/II/2013
  • PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Komodo dan Pulau Padar dengan izin IUPSWA, yang terdiri dari 274,81 hektar (19,6% dari luas Pulau Padar) dan 154,6 Ha (3,8% dari luas Pulau Komodo).
  • PT Synergindo Niagatama (PT SN) di Pulau Tatawa. Pada tahun 2014, KLHK memberikan konsesi kepada PT Synergindo Niagatama di atas lahan seluas 6.490 hektar di Pulau Tatawa. Pada 2018, pemerintah mengubah desain situs zona pemanfaatan di Pulau Tatawa. Perubahan site plan ini mengurangi ruang publik menjadi hanya 3.447 hektar dan meningkatkan ruang usaha menjadi 17.497 hektar.

Bentang alam di TNK yang terdiri dari perairan dan pulau-pulau kecil dengan bukit terjal memiliki fungsi ekologis yang tinggi. Untuk itu, pengelolaan Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan banyak aspek. Cara pengelolaan pemerintah Indonesia yang yang sekarang menimbulkan pertanyaan bagaimana pemerintah memprioritaskan konservasi, apakah konservasi alam akan digadaikan atas nama investasi?

Atas berbagai fakta tersebut di atas, WALHI mengecam tindakan BTNK dan menyampaikan beberapa hal berikut:

  • Meminta BTNK untuk berhenti menjadi bumper untuk kepentingan investasi pariwisata skala besar di TNK. BTNK harus fokus untuk meningkatkan kinerja dalam konteks mewujudkan idealisme cagar biosfer, yakni alam, satwa, budaya lestari, masyarakat sejahtera dengan ekonomi ramah lingkungan.
  • Meminta UNESCO dan WHC sebagai lembaga internasional untuk menolak segala bentuk eksploitasi dalam bentuk investasi skala besar di Kawasan TNK untuk mencegah kehancuran salah satu warisan dunia ini. UNESCO wajib mendorong penguatan ekonomi berbasis kerakyatan, ramah ekosistem Komodo dan berkeadilan ekologis.
  • Meminta DPR-RI untuk memberikan teguran kepada KLHK karena telah mengabaikan partisipasi masyarakat dalam RMM ini.
  • Meminta publik luas untuk tetap mengawal upaya penyelamatan Kawasan TNK dari kepentingan bisnis pariwisata yang berpotensi menghancurkan ekosistem Komodo dan perampasan struktural pada ruang penghidupan rakyat di Kawasan TNK.

 

Narahubung:

Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur Eksekutif WALHI NTT (0813-2424-0024)
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI (0812-3745-4623)