Ancaman Tambang dan Perampasan Tanah Adat dalam Perda Riau Nomor 10/2015 dibatalkan Mahkamah Agung

PEKANBARU, 23 Agustus 2018 — Tiga orang Masyarakat Hukum Adat Talang Mamak dan Masyarakat Adat Batu Songgan menang dalam perkara uji materil Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (Perda Nomor 10/2015). Dalam Putusan Mahkamah Agung yang diputus pada 31 Mei 2018 dengan Nomor 13 P/HUM/2018, Gubernur Riau dan Ketua DPRD Provinsi Riau diperintahkan untuk mencabut Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 16 ayat (1) Perda Nomor 10/2015 yang merugikan kepentingan Masyarakat Hukum Adat. Kedua Pasal Perda Nomor 10/2015 yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung tersebut bertentangan dengan beberapa aturan yang lebih tinggi dan memberikan ancaman nyata terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan hak ulayatnya. Pada Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) memberikan pengecualian terhadap penguasaan dan pengelolaan bahan tambang oleh masyarakat hukum adat dan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan investasi. Selain bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, ketentuan Perda juga bertentangan secara teknis dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. “Pencabutan ketentuan tersebut oleh Mahkamah Agung, paling tidak mempertegas posisi Masyarakat Hukum Adat terhadap tanah adatnya. Sehingga, ancaman eksploitasi tambang yang mengancam masyarakat hukum adat bisa dicegah atau setidaknya diminimalisir,” ujar Riko Kurniawan Direktu WALHI Riau. Terkait dengan pembatalan Pasal 16 ayat (1) Perda Nomor 10/2015 yang juga dibatalkan oleh Mahkamah Agung yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bertentangan dengan aturan lebih tinggi karena tidak menjamin kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan tanah ulayat sebagai sumber kehidupannya. Pun pada prinsipnya, terdapat permasalahan substansial serupa dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

 width=

Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan WALHI Nasional menyebutkan bahwa pembatalan Pasal 16 ayat (1) Perda Nomor 10/2015 tidak kian memperparah permasalahan terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang sering abai terhadap kepentingan HAM dan lingkungan hidup. “Kepentingan daerah dalam ketentuan Perda apabila diterapkan berpotensi disalahgunakan untuk aktivitas perampasan hak ataupun tanah masyarakat hukum adat dengan dalil kepentingan daerah. Pembatalan perluasan pemaknaan kepentingan umum dalam Perda Nomor 10/2015, merupakan suatu yang sangat tepat, karena Mahkamah Agung melihat secara substansi ketentuan Perda yang mengancam hak yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat,” sebut Even. Dalam proses uji materil terhadap Perda 10/2015 diinisiasi oleh WALHI Riau namun menyadari keterbatasan hak gugat organisasinya, maka WALHI Riau bersama LBH Pekanbaru selaku penerima kuasa memutuskan bahwa keterlibatan Masyarakat Hukum Adat selaku pemohon lebih relevan sebagai pihak yang berpotensi atau mengalami kerugian secara langsung. Aditia Bagus Santoso, Direktur LBH Pekanbaru yang juga sekaligus Kuasa Para Pemohon menyatakan bahwa mengapresiasi putusan Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Majelis bersama-sama dengan Is Sudaryono, S.H., M.H., dan Dr. Irfan Fachrudin, S.H., C.N., sebagai Hakim Anggota. “Walaupun tidak keseluruhan permintaan dalam permohonan uji materiil tersebut dikabulkan, terdapat dua Pasal yang dicabut yang merupakan ketentuan utama yang menjadi ancaman sekaligus pereduksian makna pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat,” tegas Adit, biasa ia disapa. Selanjutnya, Riko Kurniawan menambahkan bahwa Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan tiga orang Masyarakat Hukum Adar ini harus segera dilaksanakan secara serta merta oleh Gubernur dan DPRD Provinsi Riau. “Selain itu, Putusan ini juga harus dijadikan komitmen bagi Pemerintah Daerah Riau untuk menginisiasi Perda khusus yang secara ekspilisit mengatur tata cara pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Riau, karena Perda yang ada saat ini belum cukup lengkap untuk memberikan hal tersebut,” sebut Riko. Terkait dengan putusan ini, WALHI Riau dan LBH Pekanbaru juga berencana untuk segera mungkin untuk memfasilitasi Para Pemohon Perda 10/2015 untuk bertemu dengan Gubernur dan DPRD Riau untuk membahas tindak lanjut Putusan Mahkamah Agung dan menyampaikan urgensitas proses legislasi daerah terkait Perda khusus mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Riau. Putusan :

  Narahubung:

  • Riko Kurniawan 081371302269
  • Aditia Bagus Santoso 081277741836
  • Even Sembiring 085271897255