WALHI: Kemauan Politik Negara Menjadi Kunci Transisi Energi Berkeadilan

Siaran Pers
Aksi Global Hentikan Energi Fosil

WALHI bersama jutaan orang lainnya menjadi bagian dalam lebih dari 700 aksi yang dilakukan secara simultan di seluruh dunia pada tanggal 15 September 2023, menuntut percepatan penghentian penggunaan bahan bakar fosil dan transisi energi yang adil, bersih dan demokratis. Aksi yang dilakukan menjelang dilangsungkannya KTT Ambisi Iklim PBB pada tanggal 20 September 2023 di New York ini ditujukan untuk mendorong para pemimpin dunia bertindak cepat demi melindungi manusia dan planet ini dari ancaman krisis iklim yang semakin memburuk jika tidak segera keluar dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.

Pada tanggal 8 September lalu, laporan inventarisasi PBB menyatakan bahwa secara global pemerintahan negara-negara di dunia telah gagal mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mencapai tujuan sesuai perjanjian Paris. Laporan tersebut menyebut dengan tegas diperlukannya “penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap” dan mengingatkan bahwa saat ini “peluangnya semakin sempit” bagi pemerintah untuk bergerak lebih cepat menurunkan laju pelepasan emisi. Emisi gas rumah kaca harusnya mencapai puncak paling lambat pada tahun 2025, dan segera dikurangi setelah itu, untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5C di atas tingkat pra-industri. Namun saat ini, emisi masih terus meningkat, dan terdapat kesenjangan sebesar 20 hingga 23 gigaton CO2 antara arah kenaikan emisi dunia saat ini dengan pemotongan emisi yang harusnya dilakukan pada tahun 2030 untuk membatasi suhu global hingga 1,5C.

Aksi ini merupakan pengingat bahwa kita tidak bisa menunda-nunda lagi penghentian penggunaan bahan bakar fosil. Di Indonesia saat ini, 80% pembangkit listrik kita masih tergantung dengan bahan bakar fosil. Dampak PLTU secara nyata telah memperburuk lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitarnya. PLTU di sekitar Jakarta berdampak buruk terhadap kualitas udara, dan kita tidak ingin dampak ini memburuk dan meluas. Kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk segera keluar dari ketergantungan pada bahan bakar fosil adalah kunci untuk mewujudkan transisi energi berkeadilan.

Namun, Industri bahan bakar fosil yang bertanggungjawab terhadap krisis iklim, dan telah mendorong sistem ekonomi yang bersifat eksploitatif dan destruktif yang merugikan manusia dan planet bumi, masih terus berusaha menggunakan segala cara untuk menjaga keuntungan mereka tetap mengalir, dan bahkan mengajukan berbagai metode dan teknologi seperti perdagangan karbon, CCS/CCUS, gasifikasi, pembakaran bersama (cofiring) serta berbagai jenis solusi palsu lainnya untuk melanggengkan penguasaannya.

Saat ini berbagai solusi palsu tengah diajuan seolah-olah sebagai langkah terbaik yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis iklim, namun ini hanya upaya untuk mengakomodasi kepentingan korporasi untuk terus menggunakan bahan bakar fosil, termasuk di Indonesia. Agenda sebenarnya di balik ini adalah untuk meningkatkan kontrol korporasi atas pasar energi dengan menggunakan isu perubahan iklim sebagai peluang untuk mencapai tujuan tersebut. Krisis iklim ini telah dijadikan bisnis baru bagi para korporasi. Investasi yang masih mempertahankan penggunaan bahan bakar fosil seperti proyek amonia PLTU Suralaya di Banten atau Proyek LNG Blok Masela di Laut Arafura merupakan fase lain dari kolonialisme abad ke-21 dengan kedok transisi energi.

Negara-negara maju yang secara historis memiliki tanggung jawab yang besar terhadap krisis iklim,seharusnya menjadi penggerak utama penghapusan bahan bakar fosil secara cepat, bersih dan adil, dan bukannya jatuh dalam jebakan solusi-solusi palsu, yang bukan saja tidak menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan, namun juga mengancam keselamatan lingkungan dan masyarakat. Transisi energi harus didukung oleh transformasi sistem ekonomi, dari bentuk-bentuk ekonomi ekstraktif, menjadi ekonomi regeneratif yang mengutamakan keadilan sekaligus menjaga hak-hak pekerja dan kelompok rentan.

Harapan mengatasi krisis iklim secara efektif dan menyelamatkan planet ini bukan terletak pada solusi teknologi. Krisis Iklim adalah buah dari akumulasi ekonomi ekstraktif. Dari hal itu dibutuhkan upaya untuk membangun kembali masyarakat dan bentuk ekonomi yang berdasarkan paradigma, prinsip dan nilai-nilai baru. Tentu saja hal itu harus memastikan keberlanjutan lingkungan dan kehidupan, memprioritaskan realisasi hak-hak rakyat dan melindungi mata pencaharian dan wilayah kelola mereka.

Pada tahun politik ini, Walhi juga menyerukan kepada seluruh pihak yang berkontestasi di Politik elektoral 2024 untuk membawa terobosan dan agenda-agenda dalam mendorong transisi energi yang demokratis dan berkeadilan. Saat ini, Walhi belum melihat terobosan-terobosan dari para kandidat dalam berbicara transisi energi yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan demokratis. Agenda–agenda transisi energi yang berkeadilan dan demokratis harus diikuti dengan keseriusan komitmen politik dalam menghentikan penggunaan energi fosil, seperti gas dan batubara, termasuk menutup PLTU-PLTU tua di Indonesia.

Aksi bersama tuntut percepatan penghentian penggunaan bahan bakar fosil dan transisi energi yang adil, bersih dan merata di Indonesia dilaksanakan di beberapa wilayah yang telah lama menjadi korban penggunaan energi fosil dan masih terus berjuang menghentikan ekspansi bahan bakar fosil, yakni: Jakarta, Jambi, Jawa Barat, dan Papua.

 

Narahubung:
Dwi Sawung (08156104606)