UU IKN Ingkari Konstitusi: Rakyat Minta Pembatalan Lewat Judicial Review

Siaran Pers Bersama 

UU IKN Ingkari Konstitusi: Rakyat Minta Pembatalan Lewat Judicial Review

JAKARTA/KALIMANTAN TIMUR, 1 April 2022 - Hari ini, Rakyat Indonesia mendaftarkan gugatan Judicial Review atas Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi. Seperti halnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba, proses pembentukan UU IKN ini bertentangan dengan UUD 1945 dan melabrak semua asas formil pembentukan perundang-undangan, partisipasi publik dan kedayagunaan-kehasilgunaan [1]. Regulasi hukum di rezim pemerintahan Joko Widodo dan DPR RI telah dibajak segelintir oligarki untuk mengamankan kepentingan bisnis mereka dan lagi-lagi rakyat diabaikan.

Gugatan didaftarkan oleh Busyro Muqoddas dari Muhammadiyah, Trisno Rahardjo Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ibu Dahlia dari Suku Paser Balik, Penajam Paser Utara Kalimantan Timur, Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Zenzi Suhadi dari WALHI Eksekutif Nasional.

“JR UU IKN ini merupakan satu di antara banyak regulasi hasil kerja kilat antara pemerintahan Presiden Jokowi dan DPR RI yang digugat oleh rakyat. Sebelumnya ada UU Cipta Kerja yang digugat di MK dan telah dinyatakan cacat prosedural. Begitu juga UU Minerba yang saat ini masih dalam proses persidangan. Pemerintah dan DPR benar-benar telah menghancurkan tatanan demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Muhammad Arman, Kuasa Hukum Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN).

UU IKN dibahas secara super kilat dalam 17 hari. DPR RI dan pemerintah tidak memberi ruang partisipasi publik yang baik padahal merekalah yang paling banyak menanggung implikasi dari regulasi predatoris ini. UU IKN bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Tim Kuasa Hukum ARGUMEN menilai bahwa regulasi ini tidak punya kebermanfaatan bagi rakyat banyak di situasi pandemi dan krisis ekonomi yang melanda warga. UU IKN juga telah menempatkan masyarakat adat semakin terpinggirkan sebab komunitas tidak pernah diajak bicara padahal mereka telah lama hidup di dalam wilayah yang dijadikan lokasi pemindahan ibu kota negara. Bahkan alokasi wilayah yang telah ditetapkan pemerintah untuk kawasan IKN mencapai 256.142 hektar dimana di dalamnya juga terdapat kehidupan masyarakat adat.

“Tata kelola lingkungan dan hak atas tanah di indonesia yang amburadul, menimbulkan bencana dan konflik, karena kajian kelayakan suatu usaha senantiasa dilakukan untuk melegitimasi keputusan politik penguasa, bukan untuk melihat suatu usaha layak atau tidak. Begitu juga dengan pemindahan IKN ini,” kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN menegaskan “Tidak adanya partisipasi penuh dan efektif masyarakat adat dalam pembentukan UU IKN adalah satu dari sekian banyak bentuk diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia. Pembangunan IKN tanpa persetujuan (Free Prior Informed Consent-FPIC) dari Masyarakat Adat adalah pelanggaran konstitusi sekaligus menjadi penanda suksesi yang paripurna penghancuran keberadaan Masyarakat Adat di IKN dan penegasan terhadap watak pemerintahan yg berkuasa hari ini sebagai pemerintah yang otoritarian sekaligus tunduk pada kepentingan para oligark.”

 

Catatan media:

[1] Dalam dokumen JR, Tim Penggugat dari Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN) mengatakan bahwa UU IKN ini bertentangan dengan - sedikitnya ada 8 pasal dalam UUD 1945 yang seharusnya menjadi falsafah dalam proses penyusunan hukum di negara ini. Pasal-pasal tersebut yakni:

a. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, menyatakan:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945”;

b. Pasal 22A UUD 1945, menyatakan:
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”;

c. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menyatakan:
“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

d. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”;

e. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”;

f. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”;

g. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”;

h. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”;

 

Kontak media:
Muhammad Arman, Tim Kuasa Hukum Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN), +62 812-1879-1131
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, +62 812-8985-0005
Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara -AMAN, +62 812 1060794